Catatan Kesederhanaan - Kekejaman Densus kembali berulang.Meskipun berulang melakukan kekekajaman dan salah tangkap, Densus 88 tampaknya seperti superbody yang kebal hukum. Seperti yang dilansir portal .viva.co.id, dua warga Solo menjadi korban salah tangkap dalam operasi penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Atas kejadian tersebut, dua orang yang bernama Ayom Penggalih dan Nur Syawaludin meminta kepada Kapolri untuk merehabilitasi nama baiknya bahwa tidak tersangkut jaringan teroris manapun.
Dalam kesaksiannya, salah satu korban salah tangkap, Ayom Penggalih, menceritakan bahwa proses penangkapan terhadap dirinya dilakukan secara sadis. Saat akan hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat zuhur tiba-tiba sepeda motor yang dikendarainya langsung dipepet oleh beberapa mobil Innova.
“Saat itu siapa tidak takut melihat rombongan orang keluar dari mobil mengeluarkan pistol. Padahal saya mau ke masjid, tapi karena kaget saya langsung lari dan dihadang mobil Innova. Karena bisa menghindar, kemudian ada mobil Innova lagi yang menghadang di depannya dan menabrak,” kata Ayom di Masjid Baitussalam, Tipes, Kota Solo pada Rabu 30 Desember 2015.
Setelah itu, pria yang akrab disapa Galih ini pun mengaku terpental ketika motor yang dinaikinya terjatuh. Mencoba lari, kemudian ia pun terjatuh. Setelah itu langsung ditekan keras di atas aspal.
Kedua tangannya ditarik di belakang terus diborgol. Sedangkan wajahnya ditutupi dengan sweater oleh anggota Densus.
“Kemudian saya dimasukkan ke dalam mobil. Tapi tidak duduk di kursi, namun ditaruh di lantai mobil. Mereka juga menekan-nekan kepala saya ke lantai mobil,” ujar warga Panularan Laweyan ini.
Selanjutnya Galih pun dibawa ke Mapolsek Laweyan untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Ia mengaku dimasukkan ke sebuah ruangan dan ditanyai apakah mengenal nama Hamzah, yakni salah seorang terduga teroris yang ditangkap Densus 88 pada hari yang sama, Selasa kemarin.
“Saya ditanyain kenal dengan Hamzah. Saya jawab tidak (kenal), karena memang tidak kenal. Selain itu, ketika di dalam mobil juga ditanyai ‘Kamu Nur, kamu Nur ya (Nur Rohman)’. Saya jawab tidak,” kata dia menirukan ucapan anggota Densus.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh teman Galih, Nur Syawaludin. Saat itu mereka berdua sedang bertemu untuk membicarakan jual beli motor. Seperti diketahui bahwa Galih memiliki sebuah showroomjual beli motor di depan SMA Al Islam Solo.
Diceritakan Nur Syawaludin bahwa penangkapan terhadap dirinya itu dilakukan saat keluar dari showroom dan akan berangkat menuju masjid untuk menunaikan shalat zuhur. Tetapi saat keluar dengan sepeda motor itu mobil yang berpenumpang anggota Densus 88 langsung menghadang dan keluar dari mobil.
“Setelah mereka keluar langsung mengeluarkan pistol dan menodongnya. Selain itu, mereka juga bilang berasal dari Densus 88. Mengetahui seperti itu saya pun pasrah,” ujar dia.
Nur Syawaludin langsung dimasukkan ke mobil dengan kondisi tangan diborgol serta wajahnya ditutupi dengan kaos. Warga Jalan Pattimura, Serengan, Solo, itu pun dilarang untuk melihat ke arah jalan, lantas kepalanya ditekan oleh anggota Densus supaya menunduk.
“Setelah ditangkap dan dimasukkan mobil, kemudian saya dibawa ke Polsek Laweyan dan dimasukkan ke sel. Nah, setelah itu ada anggota Densus datang dan menanyai saya apakah kenal dengan Hamzah. Saya jawab tidak,” kata dia menirukan ucapan anggota Densus.
Selama di sel, ia pun mengaku tersiksa karena borgol tidak boleh dilepas. Padahal, dirinya ingin melakukan buang hajat serta wudhu dan shalat. “Petugas polsek tidak berani melepas borgolnya karena di sini titipan Densus. Ya sudah saya berusaha melepas celana dengan kondisi tangan diborgol,” keluhnya.
Setelah mengetahui bahwa dua orang yang ditangkap bukan merupakan target penangkapan jaringan terorisme, kemudian mereka berdua pun dilepas di Polsek Laweyan. “Saya dan Mas Galih dilepas sekitar pukul 14.16 WIB. Sedangkan penangkapannya sendiri berlangsung sekitar pukul 12.00 WIB,” sebut dia.
Sementara itu Ketua Islamic Study and Action Centre (ISAC) Muhamad Kurniawan, yang menjadi kuasahukum keduanya mengatakan bahwa cara penangkapan yang dilakukan Densus 88 tidak sesuai prosedural. Justru cara seperti itu malah mengarah penculikan kepada dua orang korban salah tangkap itu.
“Penangkapan tidak disertai oleh prosedur surat penangkapan dan surat izin lainnya. Selain itu, penangkapan cara seperti itu juga merampas hak seperti hak untuk melakukan salat Zuhur, hak untuk berbicara dan hak untuk membela jelas tidak ada,” tegasnya.
Kemudian, Kurniawan pun menambahkan bahwa proses penangkapan dilakukan dengan cara sadir dan tidak manusiawi. Bahkan, salah satu korban salah tangkap, Galih setelah ditangkap langsung dimasukkan ke dalam mobil dan diletakkan di lantai mobil serta badannya diinjak-injak.
“Kalau seperti itu kan seperti orang yang baru beli ayam dan ditaruh di bawah. Hal inilah yang membuat kita sangat prihatin. Belum lagi, saat di Polsek Laweyan, Si Nur malah dimasukkan ke jeruji besi dengan tangan di borgol,” ucapnya.
Atas kejadian tersebut, lanjut dia, pihaknya pun menuntut kepada anggota Densus 88 untuk bersikap profesional dalam melakukan penangkapan. Sedangkan tuntutan yang kedua adanya rehabilitasi nama baik karena namanya seolah terlibat jaringan terorisme akibat kasus salah tangkap orang yang dilakukan Densus.
“Sekiranya harus ada rehabilitasi nama. Kapolri harus merehabilitasi nama jika orang-orang tersebut tidak terlibat dalam perkara terorisme. Nama baik dua orang tersebut harus kembalikan,” ujar dia.
Posting Komentar