Headlines News :
Home » » ADAB-ADAB BEKERJA

ADAB-ADAB BEKERJA

Written By catatan kesederhanaan on Kamis, 20 Maret 2014 | 01.17


ADAB-ADAB BEKERJA


                Islam telah menggariskan sejumlah adab-adab bekerja yang harus diperhatikan oleh seorang muslim.   Adab-adab ini ditetapkan agar seseorang mendapatkan keberkahan dan keutamaan tatkala sedang berusaha atau bekerja.   Diantara adab-adab bekerja adalah sebagai berikut:

1.       Amanah Dalam Bekerja
                Seseorang harus memperhatikan dan memenuhi semua aqad yang berhubungan dengan pekerjaannya, mulai dari waktu, tempat, jenis pekerjaan, kompensasi, dan lain sebagainya.   Sebab, bekerja adalah aqad yang disertai dengan sejumlah konsekuensi.    
                Jika seseorang harus masuk kerja jam 07.00 pagi, maka ia harus datang tepat pada waktunya.   Keterlambatan tanpa ada udzur syar'iy dianggap telah melanggar aqad, alias tidak amanah.  Jika seseorang harus menyelesaikan suatu pekerjaan dalam jangka waktu sekian, dan dengan kualitas pekerjaan sekian, maka ia harus memenuhi dan menunaikannya sesuai dengan perjanjian kontrak kerjanya. Ia tidak boleh melanggar atau menyimpang dari aqad yang telah ditetapkan.  Ini bisa dimengerti karena, menunaikan aqad adalah amanah yang harus dijunjung tinggi oleh seorang muslim.   
                Perintah untuk memenuhi aqad-aqad telah disebutkan di dalam al-Quran dan sunnah.  Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
               
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
                "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." [al-Maidah:1]
                "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa`at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."[al-Israa':34]
                "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."[al-Baqarah:177]
                "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."[al-Nahl:91]
                "Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya."[al-Ma'aarij:32]
                Sebaliknya, Allah mencela orang-orang yang suka melanggar dan merusak janjinya.  Allah swt berfirman:
                "Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)".[al-Ra'd:25]
                "Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih."[Ali Imran:77]
                Kewajiban memenuhi amanah dan janji juga disebutkan di dalam sunnah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
                "Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu,"Bila berkata ia dusta, bila berjanji ia menyelisihi, dan bila dipercaya ia berkhianat."[HR. Bukhari dan Muslim]

2.       Tidak Berlaku Curang atau Khianat
                Seseorang tidak boleh berlaku curang dan khianat ketika diserahi suatu usaha atau pekerjaan tertentu.  Larangan ini bersifat umum, mencakup orang yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Hamid al-Sa'diy, bahwasanya ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا فَلَأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ

                "Nabi saw telah mengangkat Ibnu al-Atabiyyah sebagai Amil untuk mengurusi zakat Bani Sulaim.  Tatkala ia menghadap Rasulullah saw, beliau saw menanyainya, dan ia menjawab, "Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini merupakan hadiah yang telah dihadiahkan kepadaku.  Beliau saw bersabda,"Mengapa engkau tidak duduk di rumah bapak dan ibumu, sampai hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika engkau memang jujur".  Rasulullah kemudian berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia, memuji Allah dan mengagungkanNya, lalu bersabda, "'Amma ba'du.  Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian sebagai Amil untuk mengurusi urusan-urusan yang telah diserahkan Allah kepadakuKemudian, salah seorang di antara kalian itu datang dan mengatakan, " Ini untukmu, dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku."  Apakah tidak sebaiknya dia duduk saja di rumah ayat dan rumah ibunya sampai hadiah itu datang sendiri kepadanya, jika dia memang benar-benar jujur. Demi Allah, salah seorang diantara kalian tidak boleh mengambil harta tersebut dengan cara yang tidak benar, kecuali kelak pada hari kiamat dia pasti akan menghadap Allah dengan memikulnya.  Ketahuilah, pasti akan aku saksikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, seseorang dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, dan kambing yang mengembik. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya hingga aku melihat ketiaknya yang putih, seraya berkata, "Perhatikanlah, bukankah telah aku sampaikan."[HR. Bukhari dan Muslim]
                Imam Abu Dawud mengetengahkan sebuah riwayat dari 'Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
               

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
                "Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan kami telah memberikan upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah suatu kecurangan."[HR. Abu Dawud]
                Seseorang yang mengambil selain apa yang telah ditetapkan kepadanya, maka ia telah berbuat kecurangan.  Salah satu bentuk kecurangan adalah membuat laporan palsu, proposal yang dimark-up, mengeruk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan instansi atau tempat kerjanya, korupsi, manipulasi, kolusi dan lain sebagainya.
                Rasulullah saw telah mengancam para pengkhianat dengan ancaman yang sangat keras.   Dari Abu Hurairah ra diriwayatkan, bahwasanya Nabi saw bersabda:
                "Allah swt berfirman, "Ada tiga kelompok yang nanti pada hari kiamat akan Aku musuhi, yaitu; seorang yang berjanji dengan menybut namaKu kemudian ia berkhianat; seseorang yang menjual orang merdeka (bukan budak) kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seseorang yang mempekerjakan seorang buruh, kemudian buruh tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak mau memberikan upahnya."[HR. Bukhari]
                Dari Abu Sa'id al-Khudriy ra diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
                "Nabi saw bersabda: "Kelak di hari kiamat, setiap pengkhianat memiliki  bendera yang ditancapkan di pantatnya, lantas dengan bendera itu ia ditarik ke atas sesuai dengan pengkhianatannya.  Ingatlah tiada pengkhianat yang lebih jahat melebihi pemimpin rakyat yang berkhianat."[HR. Muslim]        
               
3.       Tidak Merampas Hak Orang Lain
                Pada dasarnya, harta dan darah seorang muslim adalah terjaga.  Seorang muslim tidak boleh merampas harta maupun kehormatan saudara muslimnya yang lain.    Jika seseorang berprofesi atau melakukan suatu pekerjaan yang berakibat pada terampasnya harta atau kehormatan saudaranya yang lain, maka ia telah berbuat kedzaliman.   Di dalam banyak hadits, Rasulullah saw telah mengingatkan kaum muslim untuk tidak menganiaya atau merampas hak orang lain.  
                Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
                "Seorang Muslim terhadap Muslim yang lain adalah haram, dalam hartanya, kehormatannya, dan jiwanya."[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]
                "Barangsiapa mengambil harta saudaranya dengan tangan kanannya (kekuatan atau kekuasaannya) ia akan dimasukkan ke dalam neraka dan diharamkan masuk surga".  Seorang shahabat bertanya,"Ya, Rasulullah, bagaimanakah kalau hanya sedikit?"  Beliau menjawab, "Walaupun sekecil kayu arak ."[HR. Muslim]
                Rasulullah saw juga mengingatkan orang-orang yang profesinya suka menggusur maupun merampas tanah orang lain. 

مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
                “Barangsiapa yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi.”[HR. Bukhari dan Muslim]
                Tidak cukup itu saja, Rasulullah saw juga memerintahkan kepada perampas untuk mengembalikan apa yang dirampasnya kepada pemiliknya.  Dalam sebuah riwayat juga dituturkan bahwa Rasulullah saw berujar:
                "Tangan yang telah mengambil sesuatu tanpa hak, berkewajiban mengembalikannya."[HR. Ahmad, dan Abu Dawud].   Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda:

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنْ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
                 “Sungguh kamu sekalian nanti pada hari kiamat diperintahkan untuk mengembalikan semua hak kepada yang berhak.  Sampai-sampai kambing yang tidak bertanduk (yang sewaktu di dunia pernah ditanduk) diberi hak untuk membalas kambing yang bertanduk.”[HR. Muslim]

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
                “Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri maupaun sesuatu yang berhubungan dengan harta benda, maka hendaklah dihalalkan (ia minta maaf) sekarang juga, sebelum datangnya saat dimana dinar dan dirham tidak berguna, dimana bila mempunyai amal shalih, maka amal itu akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaannya.  Bila ia tidak mempunyai kebaikan, maka kejahatan orang yang dianiayanya itu diambilnya dan dibebankan kepadanya.”[HR. Bukhari]
                Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
                “Tahukah kamu sekalian, siapakah orang yang sangat miskin?’  Para shahabat menjawab, “Orang yang sangat miskin diantara kami adalah orang yang tidak mempunyai uang dan tidak mempunyai harta benda.”  Beliau lantas berkata,”Sesungguhnya orang yang sangat miskin dari ummatku yaitu orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa sholat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga mencaci maki ini dan itu, menuduh ini dan itu, menumpahkan daerah ini dan itu, serta memukul ini dan itu.  Kemudian diberikanlah,”Ini kebaikannya dan ini kebaikannya.” Bila kebaikannya telah habis, sedangkan kesalahan-kesalahannya belum terbayar semua, maka ia dilemparkan ke tengah-tengah orang-orang yang pernah dianiayanya dan akhirnya dilemparkan ke dalam neraka.”[HR. Muslim]
                Betapa banyak orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berakibat pada terampasnya hak orang lain.  
                Orang yang berprofesi sebagai pengukur tanah, seringkali berbuat aniaya dengan cara memanipulasi hasil pengukurannya.  Akibatnya, sebagian tanah milik orang lain terampas.   Orang yang berprofesi sebagai pelawak, seringkali dalam gurauan-gurauannya menyinggung, atau bahkan melecehkan kehormatan orang lain.   Kedzaliman juga sering dilakukan para wartawan foto yang suka mencuri-curi foto seseorang, hingga privasi orang tersebut terganggu.  
                Pemilik pabrik yang tidak mengindahkan lingkungan sekitar, membuang limbah berbahaya sembarangan, memasang cerobong asap terlalu rendah,  menggunakan air raksa terlalu berlebihan hingga mencemari udara dan air, dan lain sebagainya; sesungguhnya ia telah melakukan kedzaliman dan kelaliman kepada orang lain.
                Bankir-bankir mangkir yang melarikan uang nasabah, juga termasuk orang-orang yang dzalim dan aniaya.   Jika ia hendak bertaubat kepada Allah swt, ia wajib menyerahkan kembali uang nasabah yang dilarikannya.    
                Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang juga tidak luput dari tindak kedzaliman.  Seringkali mereka menggunakan kekuasaannya untuk memenjarakan orang yang tidak bersalah, atau untuk merampas hak milik orang lain.  Pemilik super market atau mall seringkali merampas uang pembeli dengan cara memasang harga yang menutup kemungkinan bagi pembelinya untuk mendapatkan uang kembaliannya dengan utuh.  Misalnya, ia memasang harga sebuah barang Rp. 547, 31.  Padahal, tidak ada uang rupiah yang pecahannya hingga Rp. 1, 00, atau Rp. 0,5.  Lantas, bagaimana mungkin pembeli mendapatkan kembaliannya secara utuh?  Akhirnya, terjadilah pembulatan harga yang berakibat pada kurangnya kembalian.  Sesungguhnya, harga semacam ini termasuk dalam kategori kedzaliman.   Tentunya, perbuatan orang tersebut terkategori kedzaliman dan kelaliman. 
                Masih banyak lagi contoh-contoh kedzaliman yang dilakukan oleh seseorang tatkala ia bekerja.  Seorang muslim yang baik, tentunya tidak terbersit untuk berlaku aniaya atau dzalim kepada orang lain tatkala bekerja maupun berusaha.  

4.       Tidak Menipu dan Berdusta
                Adab bekerja yang lain adalah tidak menipu dan berdusta dalam pekerjaan.   Adab ini tampaknya sangat ringan dan sepele.  Namun demikian, banyak orang yang tidak bisa keluar dari kebiasaan menipu dan berdusta, lebih-lebih lagi, tatkala seseorang dituntut untuk menyelesaikan pekerjaannya, sementara itu, ia tidak mungkin bisa menyelesaikannya tepat waktu.   Dalam kondisi semacam ini, berdusta dan menipu menjadi semacam alternatif, bahkan keharusan untuk menyelamatkan diri.    Karyawan yang telat masuk kantor seringkali tidak luput dari dusta dan bohong.  Pedagang, demi keuntungan yang tidak seberapa, rela menipu dan berdusta.  Ia mengatakan, bahwa barangnya bermutu tinggi, dibeli dengan harga sekian, begini dan begitu.   Padahal, apa yang dikatakannya itu adalah kebohongan dan kedustaan belaka. 
                Akuntan publik, pegawai publik, pengacara, jaksa, polisi, tentara dan lain sebagainya juga tidak bisa menghindar dari kedustaan dan kebohongan demi profesi dan kredibilitasnya di depan majikan dan publik.   Padahal, Rasulullah saw telah mencela orang-orang yang suka berbohong dan berdusta.
                Dari Ibnu Mas'ud ra dikisahkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
                "Sesungguhnya berdusta itu membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu membawa ke neraka; orang yang suka berdusta itu akan selalu bohong sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta."[HR. Bukhari dan Muslim].  Di dalam riwayat lain dituturkan:

وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
                ”Saya tidak pernah mendengar Rasulullah saw memperbolehkan berdusta dalam setiap perkataan yang diucapkan kecuali dalam tiga hal, dalam peperangan, mendamaikan persengketaan orang lain, serta pembicaraan suami kepada isterinya dan pembicaraan isteri kepada suaminya.”[HR. Muslim]
                Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ وَمَنْ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الْآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
                “Barangsiapa mengaku bermimpi sesuatu padahal sebenarnya ia tidak bermimpi sesuatu itu, maka ia akan dituntut untuk menyambung dua biji gandum, padahal ia tidak mungkin bisa melaksanakannya.  Barangsiapa yang mendengarkan pembicaraan sekelompok orang, dimana sebenarnya yang bersangkutan tidak senang bila pembicaraannya itu didengar, maka kelak di hari kiamat akan dituangkan ke dalam telinganya lelehan timah.  Barangsiapa menggambar suatu benda yang hidup (bernyawa), maka nanti ia akan disiksa dan dituntut untuk meniupkan ruh ke dalam gambar itu, padahal ia tidak akan mampu meniupkannya.”[HR. Bukhari]
                Dalam riwayat lain dinyatakan, sesungguhnya berdusta itu termasuk salah satu sifat dari kemunafikan. Rasulullah saw bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
                 “Ada empat sifat, dimana bila seseorang memiliki sifat-sifat itu, maka ia benar-benar munafik, dan barangsiapa memiliki sebagian dari keempat sifat itu, maka ia memiliki sebagian sifat dari sifat-sifat kemunafikan hingga ia meninggalkannya; yaitu: bila dipercaya berkhianat, bila berkata dusta, bila berjanji tidak menepati, dan bila berdebat keterlaluan.”[HR. Bukhari dan Muslim]
                Riwayat-riwayat di atas rasanya sudah cukup untuk mengingatkan para pekerja dan karyawan untuk tidak berdusta dan berbohong tatkala menjalankan profesinya.  Sebab, meskipun dusta dan bohong itu seringkali dianggap remeh, akan tetapi, konsekuensinya sangatlah berat. 

5.       Tidak Bersumpah Palsu
                Untuk menyakinkan atasan, klien, dan rekan kerjanya, seorang karyawan tidak jarang bersumpah palsu, hanya untuk menutupi kesalahan, atau untuk meraih tujuan-tujuannya.   Seseorang yang berprofesi sebagai pedagang juga tidak luput dari sumpah palsu.   Betapa banyak pedagang yang dengan enteng bersumpah palsu untuk melariskan dagangannya.   Lebih dari itu, sumpah palsu tidak jarang digunakan oleh seseorang untuk merampas pekerjaan, harta, maupun kehormatan orang lain. 
                Sumpah palsu termasuk perbuatan yang dimurkai Allah swt.  Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari al-Asy'ats bin Qais, bahwasanya ia berkata:
                "Antara aku dan seorang laki-laki terdapat persengketaan dalam hal sumur.  Lalu kami meminta keadilan kepada Rasulullah saw.  Beliau bersabda,"Dua orang saksi darimu atau sumpah darinya."  Aku menjawab, "Dia bersumpah dan tidak menghiraukan selainnya."  Beliau bersabda,"Barangsiapa melakukan sumpah yang dengannya dia mendapatkan sebagian dari harta seorang muslim, maka dia akan bertemu dengan Allah, sedang Dia murka kepadanya."[HR. Bukhari dan Muslim]
               
6.       Tidak Mengambil Suap
                Suap, uang amplop, angpo, pelicin,  dan lain sebagainya seakan-akan telah membudaya di hampir instansi-instansi pemerintah maupun swasta.   Biasanya, suap dilakukan untuk memangkas birokrasi, menghindari sanksi atau denda, mendapatkan tender, dan lain sebagainya.  
                Suap adalah perbuatan haram, baik yang menerima maupun yang melakukannya.   Imam Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
                "Allah melaknat penyuap dan penerima suap di dalam pemerintahan."[HR. Abu Dawud]
                Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
                "Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap."[HR. Turmudziy dari 'Abdullah bin 'Amr].
                Orang yang menyaksikan penyuapan juga terkena keharaman suap.   Imam Ahmad, Thabaraniy, al-Bazar, dan al-Hakim mengetengahkan sebuah riwayat, bahwasanya Tsauban ra pernah berkata:
                "Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan orang yang menyaksikan penyuapan."[HR. Ahmad]
                Hadits-hadits ini melarang dengan tegas perbuatan suap menyuap.  
                Suap sendiri adalah imbalan yang diberikan kepada, atau yang diminta oleh seorang pejabat atas suatu keputusan, dan pelayanan tertentu yang semestinya wajib diputuskan atau diurusnya mesti tanpa harus menerima imbalan.  Sebab, negara telah memberikan imbalan atau gaji atas pekerjaan yang telah mereka lakukan.  Oleh karena itu, seorang pejabat atau pegawai negara tidak boleh menarik atau menerima imbalan tatkala menunaikan tugas untuk kepentingan masyarakat, baik berupa uang dan lain sebagainya.  Seorang pegawai administrasi kantor yang bertugas melayani pencatatan tidak boleh memungut imbalan tatkala melayani urusan pencatatan.   Sebab, ia telah mendapatkan gaji dari pemerintah atas pekerjaan pencatatan tersebut.  Jika ia memungut atau menerima imbalan atas pekerjaannya itu, maka ia telah terjatuh ke dalam suap.  Seorang hakim yang bertugas memberikan keputusan hukum tidak boleh memungut imbalan tatkala memutuskan kasus persengketaan seseorang.  Sebab, ia telah digaji pemerintah untuk tugas-tugas tersebut.   Apabila ia menarik imbalan atas keputusannya maka ia telah melakukan suap. 
                Dalam riwayat-riwayat lain telah dijelaskan, bahwa imbalan yang diambil dari selain gaji yang telah ditetapkan oleh penguasa terkategori kecurangan.   Imam Abu Dawud mengetengahkan sebuah riwayat dari 'Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
               

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
                "Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan kami telah memberikan upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah suatu kecurangan."[HR. Abu Dawud].
                Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang telah digaji oleh pemerintah untuk suatu tugas tertentu, tidak boleh mengambil imbalan selain dari gaji saat ia menjalankan tugas tersebut. 
                Seringkali, suap dilakukan agar pegawai negara, atau penguasa tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.  Suap semacam ini mesti dihindari oleh pegawai atau pejabat negara.   Dalam sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yassar dikisahkan, bahwasanya Rasulullah saw mengutus 'Abdullah bin Rawahah ke Khaibar untuk menaksir hasil buah kurma.  Hasil buah kurma itu kemudian dibagi dua, separoh untuk orang Yahudi dan separohnya untuk kaum Muslim.  Tatkala, 'Abdullah bin Rawahah menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi menemuinya dengan membawa perhiasan yang mereka kumpulkan dari isteri mereka masing-masing.  Mereka berkata, "Perhiasan ini untuk anda, maka, ringankanlah kepada kami dan berikan kepada kami bagian lebih dari separoh."  'Abdullah bin Rawahah menjawab,"Hai orang-orang Yahudi, kalian adalah manusia yang paling aku benci.  Apa yang kalian perbuat itu, semakin mendorong diriku untuk lebih menghinakan kalian, dan kami kaum Muslim tidak akan memakannya!".  Mendengar jawabab tersebut mereka menyahut,"Karena itulah langit dan bumi tetap tegak."[HR. Imam Malik dalam kitab al-Muwatha', hadits no.1450]

7.       Tidak Mengeksploitasi Kecantikan dan Ketampanan
                Pada dasarnya Islam telah melarang seseorang mempekerjakan orang lain untuk dieksploitasi kecantikan dan ketampanannya.   Seorang mesti dipekerjakan berdasarkan kemampuan kerjanya.   Diriwayatkan dari Rafi' bin Rifa'ah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

نَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْأَمَّةِ إِلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدَيْهَا وَقَالَ : هَكَذَا بِاَصَابِعِهِ نَحْوِ الْخُـبْزِ وَالْغُزْلِ وَالنَّقْشِ
                "Rasulullah saw telah melarang kami mempekerjakan budak-budak perempuan kami, kecuali apa yang dihasilkan oleh kedua tangannya.   Rafi' berkata, "Yang dikerjakan tangannya misalnya adalah membuat roti, mencuci, dan memahat."
                Larangan mengeksploitasi kecantikan juga didasarkan pada kaedah ushul fiqh:
أَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الحْـَرَامِ مُحَرَّمٌ
                "Wasilah menuju keharaman adalah haram".    Seseorang dilarang melakukan suatu pekerjaan yang bisa menjadi wasilah bagi perbuatan haram.  Di dalam kaedah ushul fiqh lain juga disebutkan:

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْأَمْرِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حُرِمَتْ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ الْأَمْرُ مُبَاحًا         
                "Setiap perkara dari perkara-perkara mubah, jika mengandung madlarat (bahaya) atau mengantarkan kepada kepada kemudlaratan (bahaya), maka perkara mubah itu diharamkan, sedangkan perkara itu tetap dalam hukum kemubahan."   
                Berdasarkan kaedah ushul fiqh ini, seorang laki-laki maupun perempuan dilarang bekerja pada profesi yang secara pasti bisa menjatuhkan umat, atau dirinya kepada keharaman atau kemudlaratan.  
                Sekarang ini, banyak sekali profesi yang mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan seseorang.  Misalnya, pramugari di pesawat terbang, bintang iklan yang menonjolkan seksualitas, dan lain sebagainya.   Contoh lain adalah, wanita-wanita cantik yang dipekerjakan di showroom mobil, atau anak-anak yang bertampang tampan dan cantik yang dipekerjakan di rumah-rumah makan, hotel, wanita yang bekerja di klub-klub malam, bilyard, dan lain sebagainya.  Profesi-profesi semacam ini pada dasarnya, kebanyakan menjadikan kecantikan wanita dan ketampanan laki-laki sebagai bahan eksploitasi.  Oleh karena itu, seseorang dilarang bekerja atau mempekerjakan orang lain dalam profesi-profesi semacam ini, baik profesi yang mengeksploitasi seksualitas, kecantikan, dan ketampanan, maupun profesi yang bisa mengantarkan kepada kemudlaratan umat dan dirinya sendiri. 

8.       Tidak Mengghibah
                Seseorang tidak menjadikan ghibah sebagai lahan untuk mencari nafkah.  Sebab, ghibah adalah perbuatan keji dan menjijikkan.   Sayangnya, ghibah sering dianggap remeh, dan elah dijadikan profesi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.  Padahal Allah dan RasulNya telah mengharamkan ghibah.
Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
                “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing (ghibah) sebagian yang lain.   Sukakah,  salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya sendiri yang telah mati?  Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.  Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”[al-Hujurat:12]
                Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubiy menyatakan, “Allah swt telah melarang ghibah, yakni menceritakan suatu hal yang ada pada diri seseorang.  Adapun jika seseorang menceritakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri seseorang, maka ia sedang berdusta.  Definisi ghibah telah dijelaskan dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.  Rasulullah bersabda:”Tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan ghibah?”  Para shahabat menjawab, “Allah dan RasulNya lebih tahu.” Rasulullah saw berkata, ““Kamu menyebut sesuatu dari kawanmu yang ia sangat benci jika dikatakan.” Para shahabat bertanya, “ Bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang memang terjadi pada saudaraku.’  Rasulullah saw menjawab, “Jika engkau menceritakan apa yang terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya; dan apabila engkau menderitakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu, maka engkau telah membohongkannya.”[HR. Muslim].[1]
                Al-Hasan menyatakan, “Ghibah itu ada tiga sisi.  Semuanya telah disebutkan di dalam Kitabullah; yakni al-ghibah (menggunjing), al-ifki (ngerumpi), dan al-buhtaan (berdusta).   Ghibah adalah anda menceritakan sesuatu yang memang ada pada saudaranya.  Sedangkan al-ifki (gosip) adalah anda menceritakan  sesuatu berita tentang saudara anda, dimana saudara anda itu tidak pernah menyampaikan berita tersebut kepada anda (secara langsung). Sedangkan al-buhtan adalah anda menceritakan sesuatu yang tidak ada pada saudaranya.” [2]
                AL-Hafidz al-Suyuthi, dalam Tafsir Jalalain menjelaskan,”Janganlah anda menceritakan sesuatu yang dibenci oleh saudaranya, meskipun sesuatu itu ada pada dirinya."[3]
                ‘Ubaid ra, bekas budak Nabi saw yang telah dimerdekakan mengisahkan,  bahwasanya ada seseorang datang dan mengabarkan kepada Nabi saw tentang dua orang wanita yang berpuasa dan sekarat karena kehausan.  Nabi saw berpaling tanpa bicara dan menolak mengijinkan wanita-wanita itu berbuka.  Lalu, orang tersebut memohon kembali dengan menggambarkan wanita-wanita itu telah hampir mati.  Nabi saw berkata:
                “Bawa mereka kepadaku dan bawa pula sebuah mangkuk.”  Ketika mereka telah menghadap, beliau menghadap ke salah seorang wanita itu dan memerintahkannya untuk muntah ke dalam mangkuk.  Ia melaksanakannya dan mengeluarkan campuran darah, nanah, muntah dan dagung busuk yang memenuhi setengah mangkuk.  Beliau segera berpaling kepada yang lain dan memerintahkan hal yang sama.   Setelah mangkuk tersebut penuh, beliau bersabda, “Sesungguhnya kedua orang ini telah berpuasa menahan diri dari apa yang dihalalkan Allah, dan membatalkan puasa mereka dengan apa yang diharamkan Allah.  Mereka menghabiskan waktu puasanya dengan memakan daging bangkai orang lain.”[HR. Imam Ahmad]
                Riwayat ini telah menjelaskan, betapa hina dan menjijikkannya ghibah itu. 
                Pada dasarnya tidak ada perbuatan yang lebih menjijikkan daripada memakan daging, nanah, serta darah dari bangkai saudaranya.  Perbuatan semacam ini hanya dilakukan oleh orang yang tidak waras, dan berbudi pekerti rendah.  Anehnya, betapa banyak orang suka melakukan ghibah, bahkan menjadikannya sebagai profesi untuk mendapatkan harta.   Misalnya, para pekerja yang bergulat di bidang infotainment.  Seringkali mereka membuat program acara yang penuh dengan pergunjingan, dan gosip-gosip murahan.  Acara ini dikemas sedemikian rupa sehingga sangat diminati oleh pemirsa.  Padahal, acara-acara semacam ini telah menjatuhkan siapa saja, pengelola acaranya, maupun yang menyaksikannya ke dalam lembah dosa.  

9.       Tidak Berkhalwat  dan  Tabarruj
                Banyak pekerjaan yang menuntut adanya interaksi antara laki-laki dan wanita.   Keadaan tersebut tentunya memberikan celah yang sangat lebar bagi laki-laki dan wanita untuk melakukan ikhthilath, tabarruj, dan khalwat.  Padahal, Islam telah melarang dengan tegas tiga aktivitas tersebut.   
                Khalwat.  Khalwat adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan orang lain untuk bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya. Contohnya adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di rumah, kantor, atau di tempat sunyi yang jauh dari jalan dan keramaian orang.  Dengan kata lain, khalwat adalah berkumpulnya dua orang dengan menyendiri sehingga tidak ada orang lain bersama keduanya.   Rasulullah saw bersabda:
                "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah tidak melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai dengan mahram-nya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan."
                Seringkali, seorang direktur berkhalwat dengan sekretarisnya di kantor.   Tidak jarang juga sesama karyawan berkhalwat, tatkala mereka bekerja lembur di kantor.   Mereka menganggapnya sebagai hal yang lumrah dan biasa.  Padahal, mereka telah terjatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah swt.
                Tabarruj.  Islam melarang kaum wanita untuk bertabarruj, sebagaimana firman Allah Swt:
                "Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (ber-tabarruj)." (QS an-Nûr :60)
                Ayat ini merupakan larangan bagi wanita tua yang melakukan tabarruj, saat mereka diperbolehkan melepaskan jilbab (baju luar) yang dikenakannya. Mafhum muwafaqahnya adalah, jika wanita tua saja dilarang tabarruj tatkala menanggalkan pakaian luarnya, lebih-lebih lagi wanita-wanita yang masih muda. Allah Swt. berfirman:
                Janganlah mereka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS an-Nûr : 31)
                Makna tabarruj adalah, menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada orang-orang yang bukan mahram.   Walhasil, tatkala seorang wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya terhadap orang yang bukan mahramnya, maka ia telah melakukan tabarruj.  
                Banyak riwayat melarang tabarruj.  Abû Mûsâ al-Asy‘arî menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
                "Siapa pun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah melakukan zina".
                . Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
                "Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya tidak pernah aku duga, yaitu: sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia serta wanita yang membuka auratnya seraya berpakaian tipis merangsang, berlenggak-lenggok, dan banyak lagak. Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak dapat mencium baunya, padahal bau surga dapat tercium dari jarak yang jauh."
                Riwayat-riwayat di atas menunjukkan larangan untuk melakukan tabarruj. Setiap upaya mengenakan perhiasan yang tidak lazim, yang akan memancing pandangan kaum lelaki, dan dapat memperlihatkan kecantikan wanita, adalah termasuk tindakan tabarruj.  Contohnya adalah memakai wangi-wangian, memoles wajah dengan warna-warna tertentu, memakai topi tanpa berkerudung, dan memakai celana panjang tanpa jilbab, jika semua itu dikenakan tatkala keluar di tengah-tengah kehidupan umum.
                Sayangnya, di dalam kehidupan yang serba materialistik ini, banyak profesi yang menuntut kaum wanita untuk melakukan tabarruj.  Mereka disuruh berpakain dan bersolek sedemikian rupa hingga bisa menarik perhatian orang banyak.   Salesgirl, gadis-gadis showroom, pegawai kantor pemerintah, pegawai bank, dan lain sebagainya dituntut untuk berdandan dan bersolek agar "menarik" orang banyak.  Padahal,   seorang muslim dilarang melakukan tabarruj.

10.    Tidak Memata-matai
                Ada sebagian profesi yang tidak bisa lepas dari tindakan memata-matai.  Misalnya, spionase (intelejen) baik yang dilakukan negara maupun swasta, detektif, paparazi, dan lain sebagainya.   Sesungguhnya, profesi-profesi yang mengharuskan adanya aktivitas memata-matai terkategori profesi yang diharamkan Allah swt.   Allah swt berfirman:
                Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12].
                Imam Qurthubiy, mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang tampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah swt menutupnya [auratnya].”
                Dalam sunnah, Nabi saw bersabda, “..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan….”[Hr. Ibnu Majah dari Abu Hurairah]
                Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Hadits ini berisikan larangan bagi negara untuk memata-matai rakyatnya. Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia.  Rasulullah saw bersabda:               “Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidziy dalam shahih al-Tirmidziy].
                Rasulullah saw juga bersabda, “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].
                Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, artinya, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam al-Kabir].
                Rasulullah saw bersabda, artinya,“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Bukhariy  dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]
                Hadits-hadits di atas merupakan larangan tegas bagi aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraan orang lain.  Aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya.  Untuk itu, aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.
                Islam juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat.  Orang-orang kafir barat biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang [electronic surveillance].    
                Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan.  Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya.  Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya."
                Inilah beberapa adab yang mesti diperhatikan oleh seorang muslim tatkala menjalankan profesinya.   Jika adab-adab ini dilanggar, maka pekerjaannya tidak akan membawa keberkahan dan akan menyeret dirinya ke dalam lembah dosa dan kehinaan.   Lebih dari itu, profesinya akan berakibat buruk bagi dirinya dan orang lain.   Sebaliknya, jika adab-adab ini dijaga dan dijunjung tinggi,  seseorang akan memperoleh keberkahan dan keutamaan, dan pekerjaannya benar-benar bisa dijadikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah swt.  



[1]  Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-Hujurat ayat 12
[2] ibid, surat al-Hujurat : 12
[3] Al-Hafidz al-Suyuthi, Tafsir Jalalain, surat al-Hujurat : 12
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Candra Hernawan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger