ADAB-ADAB BEKERJA
Islam telah menggariskan
sejumlah adab-adab bekerja yang harus diperhatikan oleh seorang muslim. Adab-adab ini ditetapkan agar seseorang
mendapatkan keberkahan dan keutamaan tatkala sedang berusaha atau bekerja. Diantara adab-adab bekerja adalah sebagai
berikut:
1.
Amanah Dalam Bekerja
Seseorang harus memperhatikan dan
memenuhi semua aqad yang berhubungan dengan pekerjaannya, mulai dari waktu,
tempat, jenis pekerjaan, kompensasi, dan lain sebagainya. Sebab, bekerja adalah aqad yang disertai
dengan sejumlah konsekuensi.
Jika seseorang harus masuk kerja
jam 07.00 pagi, maka ia harus datang tepat pada waktunya. Keterlambatan tanpa ada udzur syar'iy
dianggap telah melanggar aqad, alias tidak amanah. Jika seseorang harus menyelesaikan suatu
pekerjaan dalam jangka waktu sekian, dan dengan kualitas pekerjaan sekian, maka
ia harus memenuhi dan menunaikannya sesuai dengan perjanjian kontrak kerjanya.
Ia tidak boleh melanggar atau menyimpang dari aqad yang telah ditetapkan. Ini bisa dimengerti karena, menunaikan aqad
adalah amanah yang harus dijunjung tinggi oleh seorang muslim.
Perintah untuk memenuhi
aqad-aqad telah disebutkan di dalam al-Quran dan sunnah. Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
"Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." [al-Maidah:1]
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfa`at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."[al-Israa':34]
"Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."[al-Baqarah:177]
"Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."[al-Nahl:91]
"Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya."[al-Ma'aarij:32]
Sebaliknya, Allah mencela
orang-orang yang suka melanggar dan merusak janjinya. Allah swt berfirman:
"Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam)".[al-Ra'd:25]
"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat
bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka
dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih."[Ali Imran:77]
Kewajiban memenuhi amanah dan
janji juga disebutkan di dalam sunnah. Dalam sebuah riwayat dituturkan,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu,"Bila berkata ia dusta,
bila berjanji ia menyelisihi, dan bila dipercaya ia berkhianat."[HR.
Bukhari dan Muslim]
2.
Tidak Berlaku Curang atau Khianat
Seseorang tidak boleh berlaku
curang dan khianat ketika diserahi suatu usaha atau pekerjaan tertentu. Larangan ini bersifat umum, mencakup orang
yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Hamid al-Sa'diy, bahwasanya ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ
بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ
لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ
فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ
صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ
النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي
أَسْتَعْمِلُ رِجَالًا مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي
أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلَّا
جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ
كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ
هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَلَا فَلَأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى
رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
"Nabi saw telah mengangkat Ibnu al-Atabiyyah sebagai Amil untuk
mengurusi zakat Bani Sulaim. Tatkala ia
menghadap Rasulullah saw, beliau saw menanyainya, dan ia menjawab, "Ini
untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini merupakan hadiah yang telah dihadiahkan
kepadaku. Beliau saw
bersabda,"Mengapa engkau tidak duduk di rumah bapak dan ibumu, sampai
hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika engkau memang jujur". Rasulullah kemudian berdiri dan berkhutbah di
hadapan manusia, memuji Allah dan mengagungkanNya, lalu bersabda, "'Amma
ba'du. Aku telah mengangkat seseorang di
antara kalian sebagai Amil untuk mengurusi urusan-urusan yang telah diserahkan
Allah kepadaku. Kemudian, salah seorang di antara kalian itu datang dan mengatakan,
" Ini untukmu, dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku." Apakah tidak sebaiknya dia duduk saja di
rumah ayat dan rumah ibunya sampai hadiah itu datang sendiri kepadanya, jika
dia memang benar-benar jujur. Demi Allah, salah seorang diantara kalian tidak
boleh mengambil harta tersebut dengan cara yang tidak benar, kecuali kelak pada
hari kiamat dia pasti akan menghadap Allah dengan memikulnya. Ketahuilah, pasti akan aku saksikan apa yang
telah ditetapkan oleh Allah, seseorang dengan membawa unta yang bersuara, atau
sapi yang melenguh, dan kambing yang mengembik. Beliau lantas mengangkat kedua
tangannya hingga aku melihat ketiaknya yang putih, seraya berkata, "Perhatikanlah,
bukankah telah aku sampaikan."[HR. Bukhari dan Muslim]
Imam Abu Dawud mengetengahkan
sebuah riwayat dari 'Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى
عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
"Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan
kami telah memberikan upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah suatu
kecurangan."[HR. Abu Dawud]
Seseorang yang mengambil selain
apa yang telah ditetapkan kepadanya, maka ia telah berbuat kecurangan. Salah satu bentuk kecurangan adalah membuat
laporan palsu, proposal yang dimark-up, mengeruk keuntungan pribadi dengan
mengatasnamakan instansi atau tempat kerjanya, korupsi, manipulasi, kolusi dan
lain sebagainya.
Rasulullah saw telah mengancam
para pengkhianat dengan ancaman yang sangat keras. Dari Abu Hurairah ra diriwayatkan,
bahwasanya Nabi saw bersabda:
"Allah swt berfirman, "Ada tiga kelompok yang nanti pada hari
kiamat akan Aku musuhi, yaitu; seorang yang berjanji dengan menybut namaKu
kemudian ia berkhianat; seseorang yang menjual orang merdeka (bukan budak)
kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seseorang yang mempekerjakan
seorang buruh, kemudian buruh tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya, tetapi
ia tidak mau memberikan upahnya."[HR. Bukhari]
Dari Abu Sa'id al-Khudriy ra
diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Nabi saw bersabda: "Kelak di hari kiamat, setiap pengkhianat
memiliki bendera yang ditancapkan di
pantatnya, lantas dengan bendera itu ia ditarik ke atas sesuai dengan
pengkhianatannya. Ingatlah tiada pengkhianat
yang lebih jahat melebihi pemimpin rakyat yang berkhianat."[HR. Muslim]
3.
Tidak Merampas Hak Orang Lain
Pada dasarnya, harta dan darah
seorang muslim adalah terjaga. Seorang
muslim tidak boleh merampas harta maupun kehormatan saudara muslimnya yang
lain. Jika seseorang berprofesi atau melakukan
suatu pekerjaan yang berakibat pada terampasnya harta atau kehormatan
saudaranya yang lain, maka ia telah berbuat kedzaliman. Di dalam banyak hadits, Rasulullah saw telah
mengingatkan kaum muslim untuk tidak menganiaya atau merampas hak orang
lain.
Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Seorang Muslim terhadap Muslim yang lain adalah haram, dalam hartanya,
kehormatannya, dan jiwanya."[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]
"Barangsiapa mengambil harta saudaranya dengan tangan kanannya (kekuatan
atau kekuasaannya) ia akan dimasukkan ke dalam neraka dan diharamkan masuk
surga". Seorang shahabat
bertanya,"Ya, Rasulullah, bagaimanakah kalau hanya sedikit?" Beliau menjawab, "Walaupun sekecil kayu
arak ."[HR. Muslim]
Rasulullah saw juga mengingatkan
orang-orang yang profesinya suka menggusur maupun merampas tanah orang
lain.
مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ
أَرَضِينَ
“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain,
walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi.”[HR.
Bukhari dan Muslim]
Tidak
cukup itu saja, Rasulullah saw juga memerintahkan kepada perampas untuk
mengembalikan apa yang dirampasnya kepada pemiliknya. Dalam sebuah riwayat juga dituturkan bahwa
Rasulullah saw berujar:
"Tangan yang telah mengambil sesuatu tanpa
hak, berkewajiban mengembalikannya."[HR. Ahmad, dan Abu Dawud]. Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنْ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Sungguh
kamu sekalian nanti pada hari kiamat diperintahkan untuk mengembalikan semua
hak kepada yang berhak. Sampai-sampai
kambing yang tidak bertanduk (yang sewaktu di dunia pernah ditanduk) diberi hak
untuk membalas kambing yang bertanduk.”[HR. Muslim]
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ
مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ
مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang pernah menganiaya
saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri maupaun sesuatu yang
berhubungan dengan harta benda, maka hendaklah dihalalkan (ia minta maaf)
sekarang juga, sebelum datangnya saat dimana dinar dan dirham tidak berguna,
dimana bila mempunyai amal shalih, maka amal itu akan diambil sesuai dengan
kadar penganiayaannya. Bila ia tidak
mempunyai kebaikan, maka kejahatan orang yang dianiayanya itu diambilnya dan
dibebankan kepadanya.”[HR. Bukhari]
Dari
Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ
قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ
وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ
دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ
مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kamu sekalian, siapakah orang yang
sangat miskin?’ Para shahabat menjawab,
“Orang yang sangat miskin diantara kami adalah orang yang tidak mempunyai uang
dan tidak mempunyai harta benda.” Beliau
lantas berkata,”Sesungguhnya orang yang sangat miskin dari ummatku yaitu orang
yang datang pada hari kiamat dengan membawa sholat, puasa, dan zakat, tetapi ia
juga mencaci maki ini dan itu, menuduh ini dan itu, menumpahkan daerah ini dan
itu, serta memukul ini dan itu. Kemudian
diberikanlah,”Ini kebaikannya dan ini kebaikannya.” Bila kebaikannya telah
habis, sedangkan kesalahan-kesalahannya belum terbayar semua, maka ia
dilemparkan ke tengah-tengah orang-orang yang pernah dianiayanya dan akhirnya
dilemparkan ke dalam neraka.”[HR. Muslim]
Betapa
banyak orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berakibat pada terampasnya hak
orang lain.
Orang
yang berprofesi sebagai pengukur tanah, seringkali berbuat aniaya dengan cara
memanipulasi hasil pengukurannya. Akibatnya,
sebagian tanah milik orang lain terampas.
Orang yang berprofesi sebagai pelawak, seringkali dalam
gurauan-gurauannya menyinggung, atau bahkan melecehkan kehormatan orang
lain. Kedzaliman juga sering dilakukan
para wartawan foto yang suka mencuri-curi foto seseorang, hingga privasi orang
tersebut terganggu.
Pemilik
pabrik yang tidak mengindahkan lingkungan sekitar, membuang limbah berbahaya
sembarangan, memasang cerobong asap terlalu rendah, menggunakan air raksa terlalu berlebihan
hingga mencemari udara dan air, dan lain sebagainya; sesungguhnya ia telah
melakukan kedzaliman dan kelaliman kepada orang lain.
Bankir-bankir
mangkir yang melarikan uang nasabah, juga termasuk orang-orang yang dzalim dan
aniaya. Jika ia hendak bertaubat kepada
Allah swt, ia wajib menyerahkan kembali uang nasabah yang dilarikannya.
Orang
yang memiliki kekuasaan atau wewenang juga tidak luput dari tindak
kedzaliman. Seringkali mereka menggunakan
kekuasaannya untuk memenjarakan orang yang tidak bersalah, atau untuk merampas
hak milik orang lain. Pemilik super
market atau mall seringkali merampas uang pembeli dengan cara memasang harga
yang menutup kemungkinan bagi pembelinya untuk mendapatkan uang kembaliannya
dengan utuh. Misalnya, ia memasang harga
sebuah barang Rp. 547, 31. Padahal,
tidak ada uang rupiah yang pecahannya hingga Rp. 1, 00, atau Rp. 0,5. Lantas, bagaimana mungkin pembeli mendapatkan
kembaliannya secara utuh? Akhirnya,
terjadilah pembulatan harga yang berakibat pada kurangnya kembalian. Sesungguhnya, harga semacam ini termasuk
dalam kategori kedzaliman. Tentunya, perbuatan
orang tersebut terkategori kedzaliman dan kelaliman.
Masih
banyak lagi contoh-contoh kedzaliman yang dilakukan oleh seseorang tatkala ia
bekerja. Seorang muslim yang baik,
tentunya tidak terbersit untuk berlaku aniaya atau dzalim kepada orang lain
tatkala bekerja maupun berusaha.
4.
Tidak Menipu dan Berdusta
Adab bekerja yang lain adalah tidak
menipu dan berdusta dalam pekerjaan.
Adab ini tampaknya sangat ringan dan sepele. Namun demikian, banyak orang yang tidak bisa
keluar dari kebiasaan menipu dan berdusta, lebih-lebih lagi, tatkala seseorang dituntut
untuk menyelesaikan pekerjaannya, sementara itu, ia tidak mungkin bisa
menyelesaikannya tepat waktu. Dalam
kondisi semacam ini, berdusta dan menipu menjadi semacam alternatif, bahkan keharusan
untuk menyelamatkan diri. Karyawan
yang telat masuk kantor seringkali tidak luput dari dusta dan bohong. Pedagang, demi keuntungan yang tidak
seberapa, rela menipu dan berdusta. Ia
mengatakan, bahwa barangnya bermutu tinggi, dibeli dengan harga sekian, begini
dan begitu. Padahal, apa yang
dikatakannya itu adalah kebohongan dan kedustaan belaka.
Akuntan publik, pegawai publik, pengacara,
jaksa, polisi, tentara dan lain sebagainya juga tidak bisa menghindar dari
kedustaan dan kebohongan demi profesi dan kredibilitasnya di depan majikan dan
publik. Padahal, Rasulullah saw telah
mencela orang-orang yang suka berbohong dan berdusta.
Dari Ibnu Mas'ud ra dikisahkan, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya berdusta itu membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya
kejahatan itu membawa ke neraka; orang yang suka berdusta itu akan selalu
bohong sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta."[HR.
Bukhari dan Muslim]. Di dalam riwayat
lain dituturkan:
وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ
إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ
امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
”Saya tidak pernah mendengar Rasulullah saw
memperbolehkan berdusta dalam setiap perkataan yang diucapkan kecuali dalam
tiga hal, dalam peperangan, mendamaikan persengketaan orang lain, serta
pembicaraan suami kepada isterinya dan pembicaraan isteri kepada suaminya.”[HR.
Muslim]
Imam
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ
شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ وَمَنْ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ
كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الْآنُكُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا
وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Barangsiapa mengaku bermimpi sesuatu padahal
sebenarnya ia tidak bermimpi sesuatu itu, maka ia akan dituntut untuk
menyambung dua biji gandum, padahal ia tidak mungkin bisa melaksanakannya. Barangsiapa yang mendengarkan pembicaraan
sekelompok orang, dimana sebenarnya yang bersangkutan tidak senang bila
pembicaraannya itu didengar, maka kelak di hari kiamat akan dituangkan ke dalam
telinganya lelehan timah. Barangsiapa
menggambar suatu benda yang hidup (bernyawa), maka nanti ia akan disiksa dan
dituntut untuk meniupkan ruh ke dalam gambar itu, padahal ia tidak akan mampu
meniupkannya.”[HR. Bukhari]
Dalam
riwayat lain dinyatakan, sesungguhnya berdusta itu termasuk salah satu sifat
dari kemunafikan. Rasulullah saw bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ
فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى
يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada
empat sifat, dimana bila seseorang memiliki sifat-sifat itu, maka ia
benar-benar munafik, dan barangsiapa memiliki sebagian dari keempat sifat itu,
maka ia memiliki sebagian sifat dari sifat-sifat kemunafikan hingga ia
meninggalkannya; yaitu: bila dipercaya berkhianat, bila berkata dusta, bila
berjanji tidak menepati, dan bila berdebat keterlaluan.”[HR. Bukhari dan
Muslim]
Riwayat-riwayat
di atas rasanya sudah cukup untuk mengingatkan para pekerja dan karyawan untuk
tidak berdusta dan berbohong tatkala menjalankan profesinya. Sebab, meskipun dusta dan bohong itu seringkali
dianggap remeh, akan tetapi, konsekuensinya sangatlah berat.
5.
Tidak Bersumpah Palsu
Untuk menyakinkan atasan, klien, dan
rekan kerjanya, seorang karyawan tidak jarang bersumpah palsu, hanya untuk
menutupi kesalahan, atau untuk meraih tujuan-tujuannya. Seseorang yang berprofesi sebagai pedagang
juga tidak luput dari sumpah palsu.
Betapa banyak pedagang yang dengan enteng bersumpah palsu untuk
melariskan dagangannya. Lebih dari itu,
sumpah palsu tidak jarang digunakan oleh seseorang untuk merampas pekerjaan,
harta, maupun kehormatan orang lain.
Sumpah palsu termasuk perbuatan
yang dimurkai Allah swt. Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari al-Asy'ats bin Qais, bahwasanya ia
berkata:
"Antara aku dan seorang laki-laki terdapat persengketaan dalam hal
sumur. Lalu kami meminta keadilan kepada
Rasulullah saw. Beliau
bersabda,"Dua orang saksi darimu atau sumpah darinya." Aku menjawab, "Dia bersumpah dan tidak
menghiraukan selainnya." Beliau
bersabda,"Barangsiapa melakukan sumpah yang dengannya dia mendapatkan
sebagian dari harta seorang muslim, maka dia akan bertemu dengan Allah, sedang
Dia murka kepadanya."[HR. Bukhari dan Muslim]
6.
Tidak Mengambil Suap
Suap, uang amplop, angpo, pelicin, dan lain
sebagainya seakan-akan telah membudaya di hampir instansi-instansi pemerintah
maupun swasta. Biasanya, suap dilakukan
untuk memangkas birokrasi, menghindari sanksi atau denda, mendapatkan tender, dan
lain sebagainya.
Suap adalah perbuatan haram,
baik yang menerima maupun yang melakukannya.
Imam Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Allah melaknat penyuap dan penerima suap di dalam pemerintahan."[HR.
Abu Dawud]
Dalam riwayat lain disebutkan,
bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap."[HR. Turmudziy
dari 'Abdullah bin 'Amr].
Orang yang menyaksikan penyuapan
juga terkena keharaman suap. Imam
Ahmad, Thabaraniy, al-Bazar, dan al-Hakim mengetengahkan sebuah riwayat,
bahwasanya Tsauban ra pernah berkata:
"Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan orang yang
menyaksikan penyuapan."[HR. Ahmad]
Hadits-hadits ini melarang
dengan tegas perbuatan suap menyuap.
Suap sendiri adalah imbalan yang
diberikan kepada, atau yang diminta oleh seorang pejabat atas suatu keputusan,
dan pelayanan tertentu yang semestinya wajib diputuskan atau diurusnya mesti
tanpa harus menerima imbalan. Sebab,
negara telah memberikan imbalan atau gaji atas pekerjaan yang telah mereka
lakukan. Oleh karena itu, seorang
pejabat atau pegawai negara tidak boleh menarik atau menerima imbalan tatkala
menunaikan tugas untuk kepentingan masyarakat, baik berupa uang dan lain
sebagainya. Seorang pegawai administrasi
kantor yang bertugas melayani pencatatan tidak boleh memungut imbalan tatkala
melayani urusan pencatatan. Sebab, ia
telah mendapatkan gaji dari pemerintah atas pekerjaan pencatatan tersebut. Jika ia memungut atau menerima imbalan atas
pekerjaannya itu, maka ia telah terjatuh ke dalam suap. Seorang hakim yang bertugas memberikan
keputusan hukum tidak boleh memungut imbalan tatkala memutuskan kasus
persengketaan seseorang. Sebab, ia telah
digaji pemerintah untuk tugas-tugas tersebut.
Apabila ia menarik imbalan atas keputusannya maka ia telah melakukan
suap.
Dalam riwayat-riwayat lain telah
dijelaskan, bahwa imbalan yang diambil dari selain gaji yang telah ditetapkan
oleh penguasa terkategori kecurangan.
Imam Abu Dawud mengetengahkan sebuah riwayat dari 'Abdullah bin
Buraidah, dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى
عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
"Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan
kami telah memberikan upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah suatu
kecurangan."[HR. Abu Dawud].
Hadits ini menjelaskan, bahwa
orang yang telah digaji oleh pemerintah untuk suatu tugas tertentu, tidak boleh
mengambil imbalan selain dari gaji saat ia menjalankan tugas tersebut.
Seringkali, suap dilakukan agar
pegawai negara, atau penguasa tidak menjalankan kewajiban sebagaimana
mestinya. Suap semacam ini mesti
dihindari oleh pegawai atau pejabat negara.
Dalam sebuah riwayat dari Sulaiman bin Yassar dikisahkan, bahwasanya
Rasulullah saw mengutus 'Abdullah bin Rawahah ke Khaibar untuk menaksir hasil
buah kurma. Hasil buah kurma itu
kemudian dibagi dua, separoh untuk orang Yahudi dan separohnya untuk kaum
Muslim. Tatkala, 'Abdullah bin Rawahah
menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi menemuinya dengan membawa perhiasan
yang mereka kumpulkan dari isteri mereka masing-masing. Mereka berkata, "Perhiasan ini untuk anda, maka, ringankanlah kepada kami dan berikan
kepada kami bagian lebih dari separoh." 'Abdullah bin Rawahah menjawab,"Hai orang-orang Yahudi, kalian adalah manusia
yang paling aku benci. Apa yang kalian
perbuat itu, semakin mendorong diriku untuk lebih menghinakan kalian, dan kami
kaum Muslim tidak akan memakannya!".
Mendengar jawabab tersebut mereka menyahut,"Karena itulah langit
dan bumi tetap tegak."[HR. Imam Malik dalam kitab al-Muwatha', hadits
no.1450]
7.
Tidak Mengeksploitasi Kecantikan dan Ketampanan
Pada dasarnya Islam telah melarang
seseorang mempekerjakan orang lain untuk dieksploitasi kecantikan dan
ketampanannya. Seorang mesti
dipekerjakan berdasarkan kemampuan kerjanya.
Diriwayatkan dari Rafi' bin Rifa'ah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
نَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْأَمَّةِ إِلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدَيْهَا
وَقَالَ : هَكَذَا بِاَصَابِعِهِ نَحْوِ الْخُـبْزِ وَالْغُزْلِ وَالنَّقْشِ
"Rasulullah saw telah melarang kami mempekerjakan budak-budak perempuan
kami, kecuali apa yang dihasilkan oleh kedua tangannya. Rafi' berkata, "Yang dikerjakan
tangannya misalnya adalah membuat roti, mencuci, dan memahat."
Larangan mengeksploitasi kecantikan juga didasarkan pada kaedah ushul
fiqh:
أَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الحْـَرَامِ مُحَرَّمٌ
"Wasilah menuju keharaman adalah haram". Seseorang dilarang melakukan suatu pekerjaan
yang bisa menjadi wasilah bagi perbuatan haram.
Di dalam kaedah ushul fiqh lain juga disebutkan:
كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ
الْأَمْرِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حُرِمَتْ
ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ الْأَمْرُ مُبَاحًا
"Setiap perkara dari perkara-perkara mubah, jika mengandung madlarat
(bahaya) atau mengantarkan kepada kepada kemudlaratan (bahaya), maka perkara
mubah itu diharamkan, sedangkan perkara itu tetap dalam hukum kemubahan."
Berdasarkan kaedah ushul fiqh
ini, seorang laki-laki maupun perempuan dilarang bekerja pada profesi yang
secara pasti bisa menjatuhkan umat, atau dirinya kepada keharaman atau
kemudlaratan.
Sekarang ini, banyak sekali
profesi yang mengeksploitasi kecantikan dan ketampanan seseorang. Misalnya, pramugari di pesawat terbang,
bintang iklan yang menonjolkan seksualitas, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah, wanita-wanita cantik
yang dipekerjakan di showroom mobil, atau anak-anak yang bertampang tampan dan
cantik yang dipekerjakan di rumah-rumah makan, hotel, wanita yang bekerja di
klub-klub malam, bilyard, dan lain sebagainya.
Profesi-profesi semacam ini pada dasarnya, kebanyakan menjadikan
kecantikan wanita dan ketampanan laki-laki sebagai bahan eksploitasi. Oleh karena itu, seseorang dilarang bekerja
atau mempekerjakan orang lain dalam profesi-profesi semacam ini, baik profesi
yang mengeksploitasi seksualitas, kecantikan, dan ketampanan, maupun profesi
yang bisa mengantarkan kepada kemudlaratan umat dan dirinya sendiri.
8.
Tidak Mengghibah
Seseorang tidak menjadikan
ghibah sebagai lahan untuk mencari nafkah.
Sebab, ghibah adalah perbuatan keji dan menjijikkan. Sayangnya, ghibah sering dianggap remeh, dan
elah dijadikan profesi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Padahal Allah dan RasulNya telah mengharamkan
ghibah.
Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing (ghibah) sebagian yang lain.
Sukakah, salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya sendiri yang
telah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”[al-Hujurat:12]
Dalam
menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubiy menyatakan, “Allah swt telah melarang ghibah, yakni menceritakan suatu hal yang ada
pada diri seseorang. Adapun jika
seseorang menceritakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri seseorang,
maka ia sedang berdusta. Definisi ghibah
telah dijelaskan dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:”Tahukah kalian, apa yang
dimaksud dengan ghibah?” Para shahabat
menjawab, “Allah dan RasulNya lebih tahu.” Rasulullah saw berkata, ““Kamu menyebut
sesuatu dari kawanmu yang ia sangat benci jika dikatakan.” Para shahabat
bertanya, “ Bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang memang terjadi pada
saudaraku.’ Rasulullah saw menjawab,
“Jika engkau menceritakan apa yang terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah
menggunjingnya; dan apabila engkau menderitakan apa yang sebenarnya tidak
terjadi pada saudaramu, maka engkau telah membohongkannya.”[HR. Muslim].[1]
Al-Hasan
menyatakan, “Ghibah itu ada tiga
sisi. Semuanya telah disebutkan di dalam
Kitabullah; yakni al-ghibah (menggunjing), al-ifki (ngerumpi), dan al-buhtaan
(berdusta). Ghibah adalah anda
menceritakan sesuatu yang memang ada pada saudaranya. Sedangkan al-ifki (gosip) adalah anda
menceritakan sesuatu berita tentang
saudara anda, dimana saudara anda itu tidak pernah menyampaikan berita tersebut
kepada anda (secara langsung). Sedangkan al-buhtan adalah anda menceritakan
sesuatu yang tidak ada pada saudaranya.” [2]
AL-Hafidz
al-Suyuthi, dalam Tafsir Jalalain menjelaskan,”Janganlah anda menceritakan sesuatu yang dibenci oleh saudaranya,
meskipun sesuatu itu ada pada dirinya."[3]
‘Ubaid
ra, bekas budak Nabi saw yang telah dimerdekakan mengisahkan, bahwasanya ada seseorang datang dan
mengabarkan kepada Nabi saw tentang dua orang wanita yang berpuasa dan sekarat
karena kehausan. Nabi saw berpaling
tanpa bicara dan menolak mengijinkan wanita-wanita itu berbuka. Lalu, orang tersebut memohon kembali dengan
menggambarkan wanita-wanita itu telah hampir mati. Nabi saw berkata:
“Bawa mereka kepadaku dan bawa pula sebuah
mangkuk.” Ketika mereka telah menghadap,
beliau menghadap ke salah seorang wanita itu dan memerintahkannya untuk muntah
ke dalam mangkuk. Ia melaksanakannya dan
mengeluarkan campuran darah, nanah, muntah dan dagung busuk yang memenuhi
setengah mangkuk. Beliau segera
berpaling kepada yang lain dan memerintahkan hal yang sama. Setelah mangkuk tersebut penuh, beliau
bersabda, “Sesungguhnya kedua orang ini telah berpuasa menahan diri dari apa
yang dihalalkan Allah, dan membatalkan puasa mereka dengan apa yang diharamkan
Allah. Mereka menghabiskan waktu
puasanya dengan memakan daging bangkai orang lain.”[HR. Imam Ahmad]
Riwayat ini telah
menjelaskan, betapa hina dan menjijikkannya ghibah itu.
Pada
dasarnya tidak ada perbuatan yang lebih menjijikkan daripada memakan daging,
nanah, serta darah dari bangkai saudaranya.
Perbuatan semacam ini hanya dilakukan oleh orang yang tidak waras, dan
berbudi pekerti rendah. Anehnya, betapa banyak
orang suka melakukan ghibah, bahkan menjadikannya sebagai profesi untuk
mendapatkan harta. Misalnya, para pekerja
yang bergulat di bidang infotainment. Seringkali
mereka membuat program acara yang penuh dengan pergunjingan, dan gosip-gosip
murahan. Acara ini dikemas sedemikian
rupa sehingga sangat diminati oleh pemirsa.
Padahal, acara-acara semacam ini telah menjatuhkan siapa saja, pengelola
acaranya, maupun yang menyaksikannya ke dalam lembah dosa.
9.
Tidak Berkhalwat dan Tabarruj
Banyak pekerjaan yang menuntut
adanya interaksi antara laki-laki dan wanita.
Keadaan tersebut tentunya
memberikan celah yang sangat lebar bagi laki-laki dan wanita untuk melakukan ikhthilath,
tabarruj, dan khalwat.
Padahal, Islam telah melarang dengan tegas tiga aktivitas tersebut.
Khalwat. Khalwat adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu
tempat yang tidak memberikan kemungkinan orang lain untuk bergabung dengan
keduanya, kecuali dengan izin keduanya. Contohnya adalah berkumpulnya seorang
pria dan seorang wanita di rumah, kantor, atau di tempat sunyi yang jauh dari
jalan dan keramaian orang. Dengan kata
lain, khalwat adalah berkumpulnya dua
orang dengan menyendiri sehingga tidak ada orang lain bersama keduanya. Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah
tidak melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai dengan mahram-nya,
karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan."
Seringkali, seorang direktur
berkhalwat dengan sekretarisnya di kantor.
Tidak jarang juga sesama karyawan berkhalwat, tatkala mereka bekerja
lembur di kantor. Mereka menganggapnya
sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Padahal, mereka telah terjatuh ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah
swt.
Tabarruj. Islam melarang kaum wanita untuk bertabarruj, sebagaimana firman Allah
Swt:
"Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid dan
kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan
pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (ber-tabarruj)."
(QS an-Nûr :60)
Ayat ini merupakan larangan bagi wanita
tua yang melakukan tabarruj, saat mereka diperbolehkan melepaskan jilbab (baju
luar) yang dikenakannya. Mafhum muwafaqahnya adalah, jika wanita tua saja
dilarang tabarruj tatkala menanggalkan pakaian luarnya, lebih-lebih lagi
wanita-wanita yang masih muda. Allah Swt. berfirman:
Janganlah mereka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. (QS an-Nûr : 31)
Makna tabarruj adalah, menampakkan
perhiasan dan kecantikannya kepada orang-orang yang bukan mahram. Walhasil, tatkala seorang wanita menampakkan
perhiasan dan kecantikannya terhadap orang yang bukan mahramnya, maka ia telah
melakukan tabarruj.
Banyak riwayat melarang
tabarruj. Abû Mûsâ al-Asy‘arî menuturkan,
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Siapa pun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu
kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah melakukan zina".
. Dalam riwayat lain disebutkan,
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya
tidak pernah aku duga, yaitu: sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti
ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia serta wanita yang membuka
auratnya seraya berpakaian tipis merangsang, berlenggak-lenggok, dan banyak
lagak. Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak dapat mencium baunya, padahal
bau surga dapat tercium dari jarak yang jauh."
Riwayat-riwayat di atas
menunjukkan larangan untuk melakukan tabarruj. Setiap upaya mengenakan
perhiasan yang tidak lazim, yang akan memancing pandangan kaum lelaki, dan
dapat memperlihatkan kecantikan wanita, adalah termasuk tindakan tabarruj. Contohnya adalah memakai wangi-wangian,
memoles wajah dengan warna-warna tertentu, memakai topi tanpa berkerudung, dan
memakai celana panjang tanpa jilbab, jika semua itu dikenakan tatkala keluar di
tengah-tengah kehidupan umum.
Sayangnya, di dalam kehidupan
yang serba materialistik ini, banyak profesi yang menuntut kaum wanita untuk
melakukan tabarruj. Mereka disuruh berpakain
dan bersolek sedemikian rupa hingga bisa menarik perhatian orang banyak. Salesgirl, gadis-gadis showroom, pegawai
kantor pemerintah, pegawai bank, dan lain sebagainya dituntut untuk berdandan
dan bersolek agar "menarik" orang banyak. Padahal,
seorang muslim dilarang melakukan tabarruj.
10.
Tidak Memata-matai
Ada sebagian profesi yang tidak
bisa lepas dari tindakan memata-matai. Misalnya,
spionase (intelejen) baik yang dilakukan negara maupun swasta, detektif,
paparazi, dan lain sebagainya. Sesungguhnya,
profesi-profesi yang mengharuskan adanya aktivitas memata-matai terkategori profesi
yang diharamkan Allah swt. Allah swt berfirman:
”Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12].
Imam Qurthubiy, mengartikan firman
Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal
yang tampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah
seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui
auratnya, setelah Allah swt menutupnya [auratnya].”
Dalam sunnah, Nabi saw bersabda, “..Janganlah kalian saling memata-matai,
janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan,
janganlah kalian saling berbuat kerusakan….”[Hr. Ibnu Majah dari Abu Hurairah]
Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia
memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Hadits ini berisikan larangan bagi negara untuk
memata-matai rakyatnya. Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut
campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Rasulullah saw bersabda: “Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia
meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidziy
dalam shahih al-Tirmidziy].
Rasulullah saw juga bersabda, “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu,
lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas
perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw,
artinya, “Orang yang menyadap pembicaraan
orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah
mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada
hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam
al-Kabir].
Rasulullah saw bersabda, artinya,“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR.
Bukhariy dari Hudzaifah, Imam Muslim,
Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]
Hadits-hadits di atas merupakan larangan tegas bagi
aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan
mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraan orang lain. Aktivitas-aktivitas ini merupakan bagian
terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya. Untuk itu, aktivitas memata-matai seorang
muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.
Islam
juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi
hukum barat. Orang-orang kafir barat
biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal
dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang
menyimpang [electronic surveillance].
Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang
didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang
pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari
al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada
Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak,
kita akan menggunakannya."
Inilah beberapa
adab yang mesti diperhatikan oleh seorang muslim tatkala menjalankan profesinya.
Jika adab-adab ini dilanggar, maka
pekerjaannya tidak akan membawa keberkahan dan akan menyeret dirinya ke dalam
lembah dosa dan kehinaan. Lebih dari
itu, profesinya akan berakibat buruk bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya, jika adab-adab ini dijaga dan
dijunjung tinggi, seseorang akan
memperoleh keberkahan dan keutamaan, dan pekerjaannya benar-benar bisa
dijadikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah swt.
Posting Komentar