NAFKAH YANG HALAL DAN BAIK
Menafkahi Keluarga Dengan Nafkah Yang Halal dan Baik
Islam telah mewajibkan kaum
muslim untuk menafkahi keluarga maupun orang-orang yang berada di bawah
tanggungannya dengan nafkah yang baik dan halal.[1] Seorang muslim dilarang menafkahi dirinya
sendiri, keluarga, maupun orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya
dengan nafkah yang diperoleh dari jalan yang menyimpang dari ketentuan Islam. Allah swt telah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا
الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا
فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
"Hai orang-orang
yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."[al-Baqarah:267]
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
"Maka makanlah
yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan
syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah".[al-Nahl:114]
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
"…Dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka."[al-A'raaf:157]
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا
اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
"Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."[al-Maidah:88]
Pada
dasarnya, yang dimaksud dengan "al-aklu" (makan) pada
ayat-ayat di atas adalah memanfaatkan (al-intifaa'). Memanfaatkan di sini tidak hanya terbatas
pada mengkonsumsinya saja, akan tetapi juga mencakup memakai, menikmati,
mendiami, menyedekahkan, dan lain sebagainya.[2]
Madzhab
Malikiyyah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan "al-thayyibaat"
adalah "al-muhallalaat" (yang dihalalkan)." Seakan-akan Allah
swt mensifati sesuatu yang halal dengan "al-thayyib" (baik)." Sebab, kata "al-thayyibaat"
mengandung pujian dan keluhuran. Atas
dasar itu, kami menyatakan bahwa al-khabaaits adalah "al-muharramaat"
(yang diharamkan). Ibnu 'Abbas berkata,
"Al-Khabaaits adalah daging babi, riba, dan sebagainya. Imam Malik sendiri
menghalalkan binatang-binatang yang menjijikkan, seperti ular, serangga, dan
lain sebagainya.[3]
Madzhab Syafi'iy berpendapat, bahwa yang
dimaksud dengan "al-thayyibaat" adalah semua hal yang
berhubungan dengan makanan. Akan
tetapi, menurut Imam Syafi'iy, lafadz "al-thayyibaat" di sini
tidak bersifat umum. Sebab, jika lafadz
ini berlaku umum, maka khamer dan babi adalah halal. Lafadz ini hanya berlaku khusus untuk makanan
yang dihalalkan oleh syara'.[4] Beliau berpendapat, bahwa kata "al-khabaaits"
di dalam ayat itu mencakup benda yang diharamkan oleh syara' maupun yang
menjijikkan. Oleh karena itu, beliau
mengharamkan hewan-hewan yang menjijikkan, seperti halnya, serangga, ular, dan
lain sebagainya.[5]
Imam Ibnu
Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan
perintah Allah swt kepada orang-orang beriman agar memanfaatkan dan mensyukuri rejeki
Allah swt yang halal dan baik. Sebab,
rejeki yang baik adalah kenikmatan yang bisa menjadi sarana untuk beribadah
kepada Allah swt.[6]
Imam Thabariy
menyatakan, bahwa Allah swt telah memerintahkan kaum muslim untuk memakan
rejeki yang halal, dan melarang kaum muslim menghalalkan apa yang diharamkan,
dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah swt[7].
Ali
Al-Shabuniy, dalam Shafwaat al-Tafaasiir mengatakan,"Makanlah
apa yang dihalalkan bagi kalian, serta rejeki baik (thayyib) yang telah
diberikan Allah kepada kalian. Di dalam
kitab al-Tashiil dinyatakan, "Nikmatilah makanan serta isteri yang halal,
dan lain sebagainya. Khusus untuk kata
"al-aklu" (makanan) selalu disebutkan dalam bentuk mudzakkar. Sebab, makanan adalah sesuatu yang paling
dibutuhkan oleh manusia."[8]
Imam al-Baghawiy, dalam tafsir al-Baghawiy,
menyatakan, "Menurut
'Abdullah ibn al-Mubarak, yang dimaksud halal adalah semua rejeki yang diperoleh
berdasarkan tuntunan Allah swt."[9]
Nafkah yang halal dan baik akan memberikan
keberkahan dan kenikmatan hidup. Sebab,
Allah swt tidak menerima sesuatu dari hambaNya kecuali yang baik (thayyibat). Allah swt juga tidak akan mendengarkan doa
seseorang jika ia mengkonsumsi makanan yang haram, meminum minuman yang haram,
mengenakan pakaian yang haram, dan lain sebagainya. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا
طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ
أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ
وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ
بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
"Wahai
manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik
(thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana
halnya Ia memerintah para Rasul.
Kemudian, Ia berfirman, "Wahai para Rasul, makanlah dari rejeki
yang baik-baik, dan berbuat baiklah kalian.
Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang engkau ketahui." Selanjutnya, beliau bercerita tentang
seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga
pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki
itu lantas menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, "Ya
Tuhanku, Ya Tuhanku..", sementara itu makanan yang dimakannya adalah
haram, minuman yang diminumnya adalah haram, dan pakaian yang dikenakannya
adalah haram; dan ia diberi makanan dengan makanan-makanan yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya
dikabulkan?.". [HR. Muslim]
Al-Qadliy berkata, "Hadits ini merupakan salah satu pilar agama
Islam dan tonggak dari hukum-hukum Islam. Ada 40 hadits yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari hadits ini. Di dalam hadits
ini ada perintah kepada kaum muslim untuk berinfak dengan yang rejeki halal,
serta larangan untuk berinfak dengan rejeki yang haram. Hadits ini juga menerangkan, bahwa minuman,
makanan, pakaian, dan lain-lain harus halal dan terjauh dari syubhat; dan siapa saja yang hendak berdoa
hendaknya ia memenuhi syarat-syarat tersebut, dan menjauhi minuman, makanan,
dan pakaian yang haram."[10]
Imam al-Hafidz Abu al-'Ala al-Mubarakfuriy, dalam Tuhfat
al-Ahwadziy, menyatakan bahwa makna hadits ini adalah, Allah swt suci dari
noda, dan tidak akan menerima dan tidak boleh mendekatkan diri kepadaNya,
kecuali sejalan dengan makna hadits tersebut.[11]
Nafkah Dari Hasil Usaha Sendiri
Sebaik-baik
nafkah adalah apa-apa yang diperoleh dari usaha sendiri. Dari Abu 'Abdullah al-Zubair bin al-'Awwam
dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ
فَيَجِئَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَسْتَغْنِيَ
بِثَمَنِهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
"Sungguh,
sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mengambil seutas tali kemudian
pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya
dimana dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, maka itu lebih
baik baginya daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia baik mereka
memberi ataupun tidak memberinya."[HR. Bukhari]
Imam
al-Sanadiy, dalam Syarah Sunan Ibnu Majah, mengatakan, bahwa apa yang
diperoleh manusia dengan cara yang terhormat, yakni bekerja keras di kehidupan
dunia lebih baik dibandingkan apa yang diperolehnya dengan cara meminta-minta
meskipun ia bekerja keras untuk kehidupan akheratnya.[12]
Imam Bukhari
meriwayatkan sebuah hadits dari al-Miqdam bin Ma'dariba ra, bahwa Rasulullah
saw bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
"Tidak
ada seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya
sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as makan dari hasil usahanya
sendiri."[HR. Bukhari]
Hadits ini
juga menerangkan, bahwa sebaik-baik makanan adalah apa yang diusahakan dari
jerih payahnya sendiri, tanpa harus bergantung kepada orang lain[13].
Dari Abu
Hurairah dikisahkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ
مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
"Sungguh
sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mencari kayu bakar dan
dipikulnya ikatan kayu itu, maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada
ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak
memberinya."[HR. Bukhari dan Muslim]
Larangan Menjadi Peminta-minta
Pada
dasarnya, Islam telah melarang seorang muslim menjadi peminta-minta (pengemis),
atau meminta dengan cara mendesak.
Allah swt berfirman:
"Berinfaklah
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang
kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak."[al-Baqarah:273]
"Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi
mereka berada di tengah-tengah antara yang demikian itu."
Imam Muslim
mengetengahkan sebuah riwayat dari 'Abdurrahman bin Mu'awiyah bin Abu Sofyan
Shakr bin Hazb ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا تُلْحِفُوا فِي الْمَسْأَلَةِ فَوَاللَّهِ لَا يَسْأَلُنِي
أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا فَتُخْرِجَ لَهُ مَسْأَلَتُهُ مِنِّي شَيْئًا وَأَنَا
لَهُ كَارِهٌ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتُهُ
"Janganlah
kamu sekalian mendesak dalam meminta-minta.
Demi Allah, tidak ada salah seorang diantara kamu sekalian meminta
sesuatu kepadaku, kemudian aku dengan rasa terpaksa memberikan sesuatu itu
kepadanya kok akan mendapatkan barakah di dalam apa yang aku berikan itu."[HR.
Muslim]
Dari Hakim
bin Hizam ra diriwayatkan, bahwasanya ia berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ
قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ
يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ
الدُّنْيَا فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى
الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ
إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ
عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ
حَكِيمٌ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى تُوُفِّيَ
"Saya meminta
kepada Rasulullah saw, lantas beliau memberi kepada saya; kemudian saya meminta
lagi kepada beliau dan beliau saw pun memberi kepadanya saya. Lalu, beliau saw bersabda, "Wahai Hakim
sesungguhnya harta itu memang manis dan mempesonakan. Barangsiapa mendapatkannya dengan kemurahan
jiwa, maka ia akan memperoleh berkah, tetapi barangsiapa yang mendapatkannya
dengan mengharap-harapkan (meminta-minta atau mengemis-ngemis) maka ia tidak
akan memperoleh berkah; dan ia seperti orang yang makan namun tidak pernah
merasa kenyang. Tangan yang di atas itu
lebih baik daripada tangan yang di bawah.
Hakim berkata, "Saya pun berkata, "Wahai Rasulullah, demi Dzat
yang mengutus tuan dengan kebenaran, saya tidak akan menerima sesuatu apapun
dari seseorang setelah pemberian tuan ini sampai saya meninggal
dunia." Abu Bakar pernah memanggil
Hakim untuk memberikan sesuatu kepadanya, tetapi ia enggan untuk
menerimanya. 'Umar pun pernah memanggil
Hakim untuk memberikan sesuatu, tetapi ia enggan untuk menerimanya, maka 'Umar
berkata,"Wahai sekalian ummat Islam, saya mempersaksikan kepadamu, bahwa
saya telah menawarkan bagian harta rampasan yang menjadi haknya si Hakim,
sebagaimana yang telah diatur Allah tetapi ia enggan untuk mengambilnya." Hakim tetap tidak mau menerima pemberian dari
seseorang setelah pemberian dari Nabi saw, hingga ia meninggal dunia."[HR.
Bukhari]
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Hakim bin Hizam ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ
تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ
اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
"Tangan
yang di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan
dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu.
Sebaik-baik sedekah adalah apa yang dikeluarkan dari orang yang
mempunyai kelebihan. Barangsiapa yang
menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang
merasa dirinya cukup, maka Allah akan mencukupkannya."[HR. Bukhari dan
Muslim]
Larangan meminta-minta adalah larangan yang
bersifat pasti (jazm). Ini
menunjukkan, bahwa hukum meminta-minta adalah haram.
Imam Muslim
menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ
جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
"Barangsiapa
meminta-minta (mengemis) kepada sesama manusia dengan tujuan untuk memperbanyak
kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah
ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya."[HR. Muslim]
Ibnu 'Umar
berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ
وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
"Seseorang
di antara kamu sekalian akan selalu meminta-minta hinga ia menghadap Allah swt
sedangkan mukanya tidak memiliki daging sama sekali."[HR. Bukhari dan
Muslim]
Imam Nawawiy
dalam Syarah Shahih Muslim, dengan mengutip pendapat al-Qadliy,
menyatakan, bahwa orang yang meminta-minta akan menghadap Allah swt
dengan penuh kehinaan, dan tanpa daging di wajahnya. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut sedang
disiksa oleh Allah swt akibat kemaksiyatannya; yakni meminta-minta kepada orang
lain tidak dalam kondisi darurat.[14]
Dari Samurah
bin Jundub diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا
أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
"Sesungguhnya,
meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri,
kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat
memaksa."[HR. Turmidziy]
Sebaliknya,
Rasulullah saw telah menjanjikan surga kepada siapa saja yang tidak pernah
meminta-minta kepada manusia. Dari
Tsauban ra dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
-مَنْ
يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ
فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا فَكَانَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا
"Siapa
yang berani menjaminkan dirinya kepadaku untuk tidak meminta sesuatu kepada
sesama manusia, aku akan menjaminkan surga kepada dirinya." Saya menjawab, "Saya". Sejak saat itu, Tsauban ra tidak pernah
meminta sesuatu apapun kepada manusia."[HR. Abu Dawud]
Keadaan Yang Membolehkan Seseorang Meminta-minta
Seseorang dibolehkan meminta-minta jika ia
berada dalam tiga keadaan. Pertama, seseorang yang menanggung utang yang
sangat berat karena mendamaikan dua pihak yang bersengketa, atau karena alasan
syar'iy yang lain. Kedua,
seseorang yang tertimpa kecelakaan (musibah) yang menyebabkan harta bendanya
ludes. Ketiga, seseorang yang
sangat miskin sehingga ada tiga orang bijaksana dari kaumnya yang mengatakan,
"Si fulan ini memang benar-benar miskin." Ketentuan semacam ini didasarkan pada
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dari Abu Bisyr Qabishash al-Mukhariq ra
dikisahkan, bahwasanya ia berkata:
تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا
الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا قَالَ ثُمَّ قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ
الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً
فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ
أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ
فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ
أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا
مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ
يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
"Saya adalah orang yang menanggung beban
yang sangat berat, maka saya datang kepada Rasulullah saw untuk meminta bantuan
guna meringankan beban itu. Kemudian
beliau bersabda,"Tunggulah sampai ada zakat datang ke sini, nanti kami
suruh si amil memberi bagian kepadamu".
Kemudian beliau saw bersabda,"Wahai Qabishah, sesungguhnya
meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu diantara tiga
sebab; yaitu,"Seseorang yang menanggung beban yang sangat berat, maka ia
boleh meminta-minta sehingga bisa memperingan bebannya, kemudian ia mengekang
dirinya dengan tidak meminta-minta lagi; seseorang yang tertimpa kecelakaan
yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga bisa
memperoleh kehidupan yang layak; dan seseorang yang sangat miskin sehingga ada
tiga orang bijaksana diantara kaumnya yang mengatakan, "Si fulan itu
benar-benar miskin; maka ia boleh meminta-minta hingga bisa memperoleh
kehidupan yang layak. Wahai Qabishah,
meminta-minta selain karena tiga sebab di atas, maka itu adalah usaha yang
haram, dan orang yang memakannya berarti memakan barang haram."[HR. Muslim]
Imam Nawawiy
menyatakan, bahwa seseorang yang menanggung hutang yang sangat berat akibat mendamaikan dua pihak yang bersengketa,
diperbolehkan meminta-minta dan berhak mendapatkan zakat dengan syarat ia tidak
berhutang karena melakukan maksiyat. Adapun
orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh
meminta-minta hingga memperoleh kehidupan yang layak. Sedangkan orang miskin yang diperbolehkan
meminta-minta harus didukung oleh tiga orang saksi adil yang menyatakan bahwa
ia memang benar-benar miskin. Ini adalah
pendapat madzhab Syafi'iy, sekaligus dipegang oleh Imam Nawawiy. 'Ulama-'ulama lain tidak mensyarakatkan tiga
orang saksi, akan tetapi cukup dua orang saksi yang adil, sebagaimana
kesaksian-kesaksian yang lain[15].
Abu Hurairah
ra menyatakan, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
"Orang
miskin itu bukanlah orang yang tidak memperoleh sesuap dua suap makanan; atau
tidak memperoleh sebutir dan dua butir korma (karena meminta-minta). Akan tetapi, orang miskin adalah orang yang
tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan tidak pernah terfikirkan untuk diberi
sedekah serta ia tidak mau pergi untuk meminta-minta kepada sesama
manusia."[HR. Bukhari dan Muslim]
Berdasarkan
hadits ini, kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang berprofesi sebagai
pengemis tidak terkategori sebagai orang miskin. Sebab, yang dimaksud orang miskin adalah
orang yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan tidak berharap-harap diberi
sedekah, atau pergi untuk meminta-minta.
Untuk itu, seorang muslim hendaknya tidak menyerahkan zakatnya kepada
orang-orang yang berprofesi sebagai pengemis.
[1] Imam Nawawiy, Syarah
Shahih Muslim, hadits no.1686; Imam al-Hafidz Mohammad Abu al-'Ala, Tuhfat
al-Ahwadziy, hadits no. 2722
[6] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Nahl:114. lihat
juga Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 3/424
[8] Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasiir, juz
1/362. Lihat juga, al-Tashiil, hal.186,
Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 6/263
Posting Komentar