Headlines News :
Home » » NAFKAH YANG HALAL DAN BAIK

NAFKAH YANG HALAL DAN BAIK

Written By catatan kesederhanaan on Kamis, 20 Maret 2014 | 01.09

NAFKAH YANG HALAL DAN BAIK

  
Menafkahi Keluarga Dengan Nafkah Yang Halal dan Baik

                Islam telah mewajibkan kaum muslim untuk menafkahi keluarga maupun orang-orang yang berada di bawah tanggungannya dengan nafkah yang baik dan halal.[1]  Seorang muslim dilarang menafkahi dirinya sendiri, keluarga, maupun orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya dengan nafkah yang diperoleh dari jalan yang menyimpang dari ketentuan Islam.   Allah swt telah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."[al-Baqarah:267]

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah".[al-Nahl:114]

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
"…Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka."[al-A'raaf:157]

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."[al-Maidah:88]
                Pada dasarnya, yang dimaksud dengan "al-aklu" (makan) pada ayat-ayat di atas adalah memanfaatkan (al-intifaa').  Memanfaatkan di sini tidak hanya terbatas pada mengkonsumsinya saja, akan tetapi juga mencakup memakai, menikmati, mendiami, menyedekahkan, dan lain sebagainya.[2] 
                Madzhab Malikiyyah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan "al-thayyibaat" adalah "al-muhallalaat" (yang dihalalkan)." Seakan-akan Allah swt mensifati sesuatu yang halal dengan "al-thayyib" (baik)."   Sebab, kata "al-thayyibaat" mengandung pujian dan keluhuran.   Atas dasar itu, kami menyatakan bahwa al-khabaaits adalah "al-muharramaat" (yang diharamkan).  Ibnu 'Abbas berkata, "Al-Khabaaits adalah daging babi, riba, dan sebagainya. Imam Malik sendiri menghalalkan binatang-binatang yang menjijikkan, seperti ular, serangga, dan lain sebagainya.[3]
                Madzhab Syafi'iy berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan "al-thayyibaat" adalah semua hal yang berhubungan dengan makanan.   Akan tetapi, menurut Imam Syafi'iy, lafadz "al-thayyibaat" di sini tidak bersifat umum.  Sebab, jika lafadz ini berlaku umum, maka khamer dan babi adalah halal.  Lafadz ini hanya berlaku khusus untuk makanan yang dihalalkan oleh syara'.[4]  Beliau berpendapat, bahwa kata "al-khabaaits" di dalam ayat itu mencakup benda yang diharamkan oleh syara' maupun yang menjijikkan.  Oleh karena itu, beliau mengharamkan hewan-hewan yang menjijikkan, seperti halnya, serangga, ular, dan lain sebagainya.[5]
                Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah Allah swt kepada orang-orang beriman agar memanfaatkan dan mensyukuri rejeki Allah swt yang halal dan baik.  Sebab, rejeki yang baik adalah kenikmatan yang bisa menjadi sarana untuk beribadah kepada Allah swt.[6]
                Imam Thabariy menyatakan, bahwa Allah swt telah memerintahkan kaum muslim untuk memakan rejeki yang halal, dan melarang kaum muslim menghalalkan apa yang diharamkan, dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah swt[7]
                Ali Al-Shabuniy, dalam Shafwaat al-Tafaasiir mengatakan,"Makanlah apa yang dihalalkan bagi kalian, serta rejeki baik (thayyib) yang telah diberikan Allah kepada kalian.  Di dalam kitab al-Tashiil dinyatakan, "Nikmatilah makanan serta isteri yang halal, dan lain sebagainya.  Khusus untuk kata "al-aklu" (makanan) selalu disebutkan dalam bentuk mudzakkar.  Sebab, makanan adalah sesuatu yang paling dibutuhkan oleh manusia."[8] 
                Imam al-Baghawiy, dalam tafsir al-Baghawiy,  menyatakan, "Menurut 'Abdullah ibn al-Mubarak, yang dimaksud halal adalah semua rejeki yang diperoleh berdasarkan tuntunan Allah swt."[9]
                Nafkah yang halal dan baik akan memberikan keberkahan dan kenikmatan hidup.  Sebab, Allah swt tidak menerima sesuatu dari hambaNya kecuali yang baik (thayyibat).   Allah swt juga tidak akan mendengarkan doa seseorang jika ia mengkonsumsi makanan yang haram, meminum minuman yang haram, mengenakan pakaian yang haram, dan lain sebagainya.   Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
                "Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik (thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana halnya Ia memerintah para Rasul.  Kemudian, Ia berfirman, "Wahai para Rasul, makanlah dari rejeki yang baik-baik, dan berbuat baiklah kalian.  Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang engkau ketahui."  Selanjutnya, beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu.   Laki-laki itu lantas menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, "Ya Tuhanku, Ya Tuhanku..", sementara itu makanan yang dimakannya adalah haram, minuman yang diminumnya adalah haram, dan pakaian yang dikenakannya adalah haram; dan ia diberi makanan dengan makanan-makanan yang haram.  Lantas, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?.".  [HR. Muslim]
            Al-Qadliy berkata, "Hadits ini merupakan salah satu pilar agama Islam dan tonggak dari hukum-hukum Islam.  Ada 40 hadits yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hadits ini.  Di dalam hadits ini ada perintah kepada kaum muslim untuk berinfak dengan yang rejeki halal, serta larangan untuk berinfak dengan rejeki yang haram.   Hadits ini juga menerangkan, bahwa minuman, makanan, pakaian, dan lain-lain harus halal dan terjauh dari  syubhat; dan siapa saja yang hendak berdoa hendaknya ia memenuhi syarat-syarat tersebut, dan menjauhi minuman, makanan, dan pakaian yang haram."[10]
          Imam al-Hafidz Abu al-'Ala al-Mubarakfuriy, dalam Tuhfat al-Ahwadziy, menyatakan bahwa makna hadits ini adalah, Allah swt suci dari noda, dan tidak akan menerima dan tidak boleh mendekatkan diri kepadaNya, kecuali sejalan dengan makna hadits tersebut.[11]

Nafkah Dari Hasil Usaha Sendiri
                Sebaik-baik nafkah adalah apa-apa yang diperoleh dari usaha sendiri.   Dari Abu 'Abdullah al-Zubair bin al-'Awwam dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ فَيَجِئَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَسْتَغْنِيَ بِثَمَنِهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
                "Sungguh, sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mengambil seutas tali kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya dimana dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia baik mereka memberi ataupun tidak memberinya."[HR. Bukhari]
                Imam al-Sanadiy, dalam Syarah Sunan Ibnu Majah, mengatakan, bahwa apa yang diperoleh manusia dengan cara yang terhormat, yakni bekerja keras di kehidupan dunia lebih baik dibandingkan apa yang diperolehnya dengan cara meminta-minta meskipun ia bekerja keras untuk kehidupan akheratnya.[12]         
                Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari al-Miqdam bin Ma'dariba ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
                "Tidak ada seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as makan dari hasil usahanya sendiri."[HR. Bukhari]
                Hadits ini juga menerangkan, bahwa sebaik-baik makanan adalah apa yang diusahakan dari jerih payahnya sendiri, tanpa harus bergantung kepada orang lain[13].
                Dari Abu Hurairah dikisahkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
                "Sungguh sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mencari kayu bakar dan dipikulnya ikatan kayu itu, maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak memberinya."[HR. Bukhari dan Muslim]

Larangan Menjadi Peminta-minta
                Pada dasarnya, Islam telah melarang seorang muslim menjadi peminta-minta (pengemis), atau meminta dengan cara mendesak.   Allah swt berfirman:
                "Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.  Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak."[al-Baqarah:273]
                 "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi mereka berada di tengah-tengah antara yang demikian itu."
                Imam Muslim mengetengahkan sebuah riwayat dari 'Abdurrahman bin Mu'awiyah bin Abu Sofyan Shakr bin Hazb ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لَا تُلْحِفُوا فِي الْمَسْأَلَةِ فَوَاللَّهِ لَا يَسْأَلُنِي أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا فَتُخْرِجَ لَهُ مَسْأَلَتُهُ مِنِّي شَيْئًا وَأَنَا لَهُ كَارِهٌ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتُهُ
                "Janganlah kamu sekalian mendesak dalam meminta-minta.  Demi Allah, tidak ada salah seorang diantara kamu sekalian meminta sesuatu kepadaku, kemudian aku dengan rasa terpaksa memberikan sesuatu itu kepadanya kok akan mendapatkan barakah di dalam apa yang aku berikan itu."[HR. Muslim]
                Dari Hakim bin Hizam ra diriwayatkan, bahwasanya ia berkata:
               
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تُوُفِّيَ
"Saya meminta kepada Rasulullah saw, lantas beliau memberi kepada saya; kemudian saya meminta lagi kepada beliau dan beliau saw pun memberi kepadanya saya.  Lalu, beliau saw bersabda, "Wahai Hakim sesungguhnya harta itu memang manis dan mempesonakan.  Barangsiapa mendapatkannya dengan kemurahan jiwa, maka ia akan memperoleh berkah, tetapi barangsiapa yang mendapatkannya dengan mengharap-harapkan (meminta-minta atau mengemis-ngemis) maka ia tidak akan memperoleh berkah; dan ia seperti orang yang makan namun tidak pernah merasa kenyang.  Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah.  Hakim berkata, "Saya pun berkata, "Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutus tuan dengan kebenaran, saya tidak akan menerima sesuatu apapun dari seseorang setelah pemberian tuan ini sampai saya meninggal dunia."  Abu Bakar pernah memanggil Hakim untuk memberikan sesuatu kepadanya, tetapi ia enggan untuk menerimanya.  'Umar pun pernah memanggil Hakim untuk memberikan sesuatu, tetapi ia enggan untuk menerimanya, maka 'Umar berkata,"Wahai sekalian ummat Islam, saya mempersaksikan kepadamu, bahwa saya telah menawarkan bagian harta rampasan yang menjadi haknya si Hakim, sebagaimana yang telah diatur Allah tetapi ia enggan untuk mengambilnya."  Hakim tetap tidak mau menerima pemberian dari seseorang setelah pemberian dari Nabi saw, hingga ia meninggal dunia."[HR. Bukhari]
                Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Hakim bin Hizam ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
                "Tangan yang di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu.  Sebaik-baik sedekah adalah apa yang dikeluarkan dari orang yang mempunyai kelebihan.  Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa dirinya cukup, maka Allah akan mencukupkannya."[HR. Bukhari dan Muslim]
                Larangan meminta-minta adalah larangan yang bersifat pasti (jazm).  Ini menunjukkan, bahwa hukum meminta-minta adalah haram. 
                Imam Muslim menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
                "Barangsiapa meminta-minta (mengemis) kepada sesama manusia dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya."[HR. Muslim]
                Ibnu 'Umar berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
                "Seseorang di antara kamu sekalian akan selalu meminta-minta hinga ia menghadap Allah swt sedangkan mukanya tidak memiliki daging sama sekali."[HR. Bukhari dan Muslim]
                Imam Nawawiy dalam Syarah Shahih Muslim, dengan mengutip pendapat al-Qadliy, menyatakan, bahwa orang yang meminta-minta akan menghadap Allah swt dengan penuh kehinaan, dan tanpa daging di wajahnya.   Ini menunjukkan bahwa orang tersebut sedang disiksa oleh Allah swt akibat kemaksiyatannya; yakni meminta-minta kepada orang lain tidak dalam kondisi darurat.[14]
                Dari Samurah bin Jundub diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
                "Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa."[HR. Turmidziy]
                Sebaliknya, Rasulullah saw telah menjanjikan surga kepada siapa saja yang tidak pernah meminta-minta kepada manusia.   Dari Tsauban ra dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

-مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا فَكَانَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا
                "Siapa yang berani menjaminkan dirinya kepadaku untuk tidak meminta sesuatu kepada sesama manusia, aku akan menjaminkan surga kepada dirinya."  Saya menjawab, "Saya".  Sejak saat itu, Tsauban ra tidak pernah meminta sesuatu apapun kepada manusia."[HR. Abu Dawud]

Keadaan Yang Membolehkan Seseorang Meminta-minta
                Seseorang dibolehkan meminta-minta jika ia berada dalam tiga keadaan. Pertama, seseorang yang menanggung utang yang sangat berat karena mendamaikan dua pihak yang bersengketa, atau karena alasan syar'iy yang lain.  Kedua, seseorang yang tertimpa kecelakaan (musibah) yang menyebabkan harta bendanya ludes.  Ketiga, seseorang yang sangat miskin sehingga ada tiga orang bijaksana dari kaumnya yang mengatakan, "Si fulan ini memang benar-benar miskin."    Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.    Dari Abu Bisyr Qabishash al-Mukhariq ra dikisahkan, bahwasanya ia berkata:

تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا قَالَ ثُمَّ قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
                "Saya adalah orang yang menanggung beban yang sangat berat, maka saya datang kepada Rasulullah saw untuk meminta bantuan guna meringankan beban itu.  Kemudian beliau bersabda,"Tunggulah sampai ada zakat datang ke sini, nanti kami suruh si amil memberi bagian kepadamu".  Kemudian beliau saw bersabda,"Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu diantara tiga sebab; yaitu,"Seseorang yang menanggung beban yang sangat berat, maka ia boleh meminta-minta sehingga bisa memperingan bebannya, kemudian ia mengekang dirinya dengan tidak meminta-minta lagi; seseorang yang tertimpa kecelakaan yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta sehingga bisa memperoleh kehidupan yang layak; dan seseorang yang sangat miskin sehingga ada tiga orang bijaksana diantara kaumnya yang mengatakan, "Si fulan itu benar-benar miskin; maka ia boleh meminta-minta hingga bisa memperoleh kehidupan yang layak.  Wahai Qabishah, meminta-minta selain karena tiga sebab di atas, maka itu adalah usaha yang haram, dan orang yang memakannya berarti memakan barang haram."[HR. Muslim]
                Imam Nawawiy menyatakan, bahwa seseorang yang menanggung hutang yang sangat berat  akibat mendamaikan dua pihak yang bersengketa, diperbolehkan meminta-minta dan berhak mendapatkan zakat dengan syarat ia tidak berhutang karena melakukan maksiyat.   Adapun orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta-minta hingga memperoleh kehidupan yang layak.   Sedangkan orang miskin yang diperbolehkan meminta-minta harus didukung oleh tiga orang saksi adil yang menyatakan bahwa ia memang benar-benar miskin.  Ini adalah pendapat madzhab Syafi'iy, sekaligus dipegang oleh Imam Nawawiy.  'Ulama-'ulama lain tidak mensyarakatkan tiga orang saksi, akan tetapi cukup dua orang saksi yang adil, sebagaimana kesaksian-kesaksian yang lain[15].
                Abu Hurairah ra menyatakan, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
                "Orang miskin itu bukanlah orang yang tidak memperoleh sesuap dua suap makanan; atau tidak memperoleh sebutir dan dua butir korma (karena meminta-minta).  Akan tetapi, orang miskin adalah orang yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan tidak pernah terfikirkan untuk diberi sedekah serta ia tidak mau pergi untuk meminta-minta kepada sesama manusia."[HR. Bukhari dan Muslim]
                Berdasarkan hadits ini, kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang berprofesi sebagai pengemis tidak terkategori sebagai orang miskin.  Sebab, yang dimaksud orang miskin adalah orang yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan tidak berharap-harap diberi sedekah, atau pergi untuk meminta-minta.  Untuk itu, seorang muslim hendaknya tidak menyerahkan zakatnya kepada orang-orang yang berprofesi sebagai pengemis.   



[1]  Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no.1686; Imam al-Hafidz Mohammad Abu al-'Ala, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits no. 2722
[2]  Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 2/215
[3] Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-Maidah 88
[4] Bandingkan juga dengan Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 7/12
[5]  Ibid, sural al-Maidah 88
[6] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Nahl:114. lihat juga Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 3/424
[7] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 7/54
[8]  Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasiir, juz 1/362.  Lihat juga, al-Tashiil, hal.186, Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 6/263
[9]  al-Baghawiy, Tafsiir al-Baghawiy, juz 2/59, lihat juga Imam Syaukani, Fath al-Qadiir, juz 2/70.
[10]  Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1686
[11]  Tuhfat al-Ahwadziy bi Syarh Jaami' al-Tirmidziy, hadits no. 2722
[12]  Imam al-Sanadiy, Syarah Sunan Ibnu Majah, hadits 1826
[13]  al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, hadits no. 1930
[14]  Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1724
[15]  Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1730
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Candra Hernawan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger