KABUPATEN KUNDUR KEPULAUAN
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indo-nesia Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, pemekaran daerah adalah
pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Merujuk
pada Peraturan Pemerintah ini maka dapat disimpulkan pemekaran daerah adalah
membentuk daerah baru yang otonom atau terpisah dari daerah induk baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Sejarah
era pemekaran daerah di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat fase yaitu era perjuangan
kemerdekaan (1945-1950), era demokrasi terpimpin dan orde lama (1950-1966), era
orde baru (1966 -1998) dan era reformasi (1999-sekarang). (Said Saile, 2009 :
24-27) Pasca tumbang rezim
otoritarian yang dipimpin oleh Soeharto pada tahun 1998 fenomena pemekaran
daerah di Indonesia semakin berkembang. Sejak tahun 1999 sampai tahun 2011,
untuk tingkat provinsi telah terbentuk sebanyak 7 provinsi baru dan tingkat
kabupaten/kota terbentuk 142 kabupaten/kota. (Bappeda Prov. Riau, 2011) Meskipun
adanya moratorium pemekaran daerah hingga tahun 2025, namun hingga kini masih
banyak daerah di Indonesia yang
berniat membentuk daerah otonom baru. Seperti yang terjadi di Provinsi
Kepulauan Riau yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel
1
Wacana Pemekaran Daerah di Provinsi Kepulauan
Riau
No
|
Kab/Kota Induk
|
Wacana/Gerakan
|
|
Pemekaran
|
|||
1
|
Bintan
|
Bintan Utara
|
|
2
|
Karimun
|
Kepulauan
Kundur
|
|
3
|
Lingga
|
Dabo Singkep
|
|
4
|
Natuna
|
Pulau Tujuh
|
|
Sumber: Data olahan Tahun 2012
Sebagai
perbandingan kondisi yang sama juga terjadi di Provinsi Riau, dimana masih
terdapat daerah yang terus berjuang untuk memekarkan diri menjadi daerah otonom
baru. Gerakan tersebut terus bergulir ditengah-tengah masyarakat. Berikut akan
ditampilkan beberapa gerakan pemekaran daerah di Provinsi Riau.
Rekonstruksi Nilai-nilai
Masyarakat Lokal dalam Semangat Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum
Nasion
Tabel
2
Gerakan
Pemekaran Daerah di Provinsi Riau
No
|
Kab/Kota Induk
|
Wacana/Gerakan
Pemekaran
|
1
|
Kabupaten
Bengkalis
|
Kabupaten Mandau
|
2
|
Kampar
|
Kampar Kiri dan Tapung
|
3
|
Rokan Hulu
|
Rokan Darussalam
|
4
|
Indragiri Hilir
|
Indargiri
Hilir Selatan dan Kota Tembilahan
|
Sumber
: Data Olahan
Penjelasan
dilatar belakang ini sudah meng-gambarkan bahwa jumlah pemekaran daerah di
Indo-nesia pasca reformasi terus meningkat. Berbagai daerah di Indonesia terus
berupaya untuk menjadi daerah otonom baru. Berbicara lebih dalam tentang
pemekaran daerah tentunya terdapat pihak yang pro dan kontra. Sikap pro dan
kontra yang ditunjukkan di berbagai kalangan, perdebatan antara manfaat dan
kerugian yang ditimbulkan oleh pemekaran wilayah.
Secara normatif adanya upaya daerah yang ingin
memisahkan diri dari daerah induk untuk membentuk daerah otonom baru adalah hal
yang wajar dan secara prinsip dibenarkan sepanjang sesuai dengan
meka-nisme/prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kajian
akademik pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur ini dilakukan secara ilmiah,
diharapkan dapat menghasilkan analisis yang obyektif dan akuntabel, sehingga
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai rencana
pembentukan calon kabupaten baru ini.
B.
Tujuan Kajian
Kajian
akademik pembentukan Kabupaten Kepuluan Kundur ini bertujuan ;
1.
Menganalisis potensi wilayah
calon Kabupaten Kepulauan Kundur.
2.
Menganalisis kemungkinan
pembentukan Kabu-paten Kepulauan Kundur sesuai dengan indikator dalam PP No. 78
Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
3.
Menganalisis kelayakan
pemekaran pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur dari sisi biaya dan manfaat.
C.
Tinjauan Teoritis
C.1.
Otonomi Daerah
Secara
etimologi istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos
(sendiri) dan nomos (pemerintahan) atau undang-undang. Oleh karena itu, otonomi berarti peraturan
sendiri. Dengan demikian pengertian secara istilah “otonomi daerah” adalah “wewenang/kekuasaan
pada suatu wilayah/ daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah/daerah masya-rakat itu sendiri.
Otonomi Daerah dapat
diartikan sebagai pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya menurut prakarsa dan aspirasinya dengan
menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. (
Haryo Sasongko, 2001 : 12)
Pada
dasarnya tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyeleng-garaan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk dapat melaksanakan
tujuan tersebut maka kepada daerah perlu diberikan kewenangan-kewenangan untuk
melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.
Keberadaan otonomi daerah
diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu otonomi daerah diorientasikan
untuk menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat agar bisa meningkatkan
pendayagunaan potensi daerah secara optimal. (Syaukani, 2000 : 78)
Perjalanan otonomi daerah di
Indonesia sudah dimulai sejak bangsa ini merdeka tahun 1945, hal ini tertuang
dalam Undang-undang No 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah. Di mana dalam Undang-undang ini mengamanat ada pembentukan
Komite Nasional Daerah di berbagai daerah di Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh
Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1903 telah mempelopori Undang-undang tentang
Desentralisasi. (B.N Marbun, 2010)
Undang-undang yang mengatur
tentang otonomi daerah yang pernah berlaku di Indonesia berikutnya adalah UU
Nomor 22 tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1959, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU 5 tahun 1974, UU Nomor
5 Tahun 1979, UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32 tahun 2004. Perjalan otonomi
daerah di Indonesia sangat tergantung pada kepada keputusan yang di ambil oleh
rezim yang berkuasa.
C.2. Konsep dan Pengertian Pemekaran Daerah
Sebelum
masuk pada defenisi pemekaran daerah perlu ditetapkan terlebih dahulu tentang penggunaan istilah
pemekaran daerah dan pemekaran wilayah untuk menjelaskan tentang terbentuknya
daerah otonom baru di Indonesia. Karena ada yang menyebut istilah pemekaran
wilayah dan disebagian referensi lainnya menggunakan istilah pemekaran daerah.
Dalam kajian ini menggunakan istilah pemekaran daerah sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah tersebut pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau
kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Dalam hal pemekaran ini dapat
berupa pembentukan daerah yaitu pemberian status pada wilayah tertentu sebagai
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota. Peng-hapusan daerah yaitu
pencabutan status sebagai daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota dan
penggabungan daerah yang merupakan penyatuan daerah yang dihapus ke dalam
daerah lain yang bersandingan.
Kajian Akademik Pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur Provinsi
Kepulauan Riau
Menurut
HR. Makagansa istilah pemekaran lebih cocok untuk mengekspresikan proses
terjadinya daerah-daerah baru yang tidak lain adalah proses pemisahan diri dari
suatu bagian wilayah tertentu dari sebuah daerah otonom yang sudah ada dengan
niat hendak mewujudkan status administrasi baru daerah otonom. (Makagansa,
2008)
Pendapat lain dikemukan oleh Arif Roesman
Effendy, yang mengatakan pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian
wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan
dan mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat
menciptakan kemandirian daerah. (Roesman Effendy, USAID)
Kajian tentang pemaknaan pemekaran daerah pernah
dilakukan Syafarudin pada tahun 2009, dalam kajian tersebut dikumpulkan
berbagai makna politik tentang pemekaran daerah yang dilakukan oleh berbagai
peneliti sebelumnya, makna politik dari berbagai kajian tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini: (Syafaruddin, 2009)
Tabel
3
Makna
Politik Pemekaran Daerah
No
|
Aneka Makna Politik
|
Uraian Penjelasan
|
||
1
|
Politik memecah belah
|
Pemekaran daerah merupakan upaya pemerint ah pusat (disokong juga
|
||
konsentrasi
|
oleh elite daerah) untuk memisahkan atau memecah
|
belah
konsentrasi,
|
||
separatis
|
sisa-sisa, dan bibit sparatis yang mungkin ada
dan akan muncul. Politik
|
|||
model ini ditengarai para peneliti diterapkan di daerah Aceh
dan Papua.
|
||||
2
|
Politik percepatan
|
Pemekaran daerah merupakan upaya (pusat dan
daerah) untuk melakukan
|
||
pembangunan
|
percepatan pembangunan yakni meningkatkan
kesejahteraan, layanan
|
|||
publik, infrastruktur, dan pertumbuhan perekonomian. Politik
model ini
|
||||
mengacu kepada tujuan pemekaran yang diatur dalam PP 129/2000 dan
|
||||
PP 78/2007.
|
||||
3
|
Politik desentralisasi
|
Pemekaran daerah merupakan upaya (pusat dan
daerah) untuk
|
||
melaksanakan dan menduplikasi
|
politik desentralisasi. Politik
|
|||
desentralisasi bermakna penyerahan kewenangan
dari pusat ke daerah
|
||||
dan juga bermakna ”pembagian kewenangan” daerah
induk ke daerah
|
||||
pemekaran baru. Politik desentralisasi di sini belum bermakna
pelibatan
|
||||
civil society
dan economic society
|
untuk ikut mengelola pemerintahan
|
|||
secara seimbang.
|
||||
4
|
Politik menjaga integrasi
|
Pemekaran daerah merupakan instrumen pusat
(yang didukung daerah)
|
||
NKRI
|
untuk menjaga agar NKRI tetap utuh. Pemekaran
daerah pada intinya
|
|||
menata hubungan ekonomi dan politik antara pusat dan daerah.
Pusat
|
||||
setuju asalkan daerah jangan minta merdeka.
Politik model ini ditengarai
|
||||
para peneliti diterapkan di daerah kaya sumber
daya alam khusunya di
|
||||
daerah Aceh dan Papua.
|
||||
5
|
Politik peningkatan
|
Pemekaran daerah merupakan upaya (pusat dan
daerah) untuk
|
||
kesejahteraan
|
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Politik model ini
|
mengacu
kepada
|
||
salah satu tujuan pemekaran daerah yang diatur
dalam PP 129/2000 dan
|
||||
PP 78/2007.
|
6
|
Politik peningkatan layanan
|
Pemekaran daerah merupakan upaya (pusat dan daerah) untuk
|
||
publik
|
meningkatkan layanan publik bagi masyarakat. Layanan publik
ters
|
ebut
|
||
berwujud barang atau jasa. Politik model ini mengacu kepada
salah satu
|
||||
tujuan
pemekaran daerah yang diatur dalam PP 129/2000 dan PP 78/2007
|
||||
7
|
Politik
desentralisasi
|
Penjelasannya
sama dengan nomor 3.
|
||
8
|
Politik mengatasi rentang
|
Pemekaran dae rah
merupakan upaya (pusat dan daerah) untuk
|
||
kendali
|
mendekatkan jarak pemerintah daerah dengan rakyat. Dengan
demikian
|
|||
diharapkan
pemerintah lebih respon dan tanggap terhadap persoalan dan
|
||||
kebutuhan rakyat. Politik model ini mengacu kepada salah satu
tujuan
|
||||
pemekaran
daerah yang diatur dalam PP 129/2000 dan PP 78/2007.
|
||||
9
|
Politik pembangunan wilayah
|
Penjelasannya hampir sama dengan penjelasan nomor 2. Namun,
makna
|
||
ini lebih ditekankan kepada pembangun wilayah di luar pulau
Jawa,
|
||||
termasuk
pembangunan wilayah di daerah-daerah terpencil di perbatasan.
|
||||
10
|
Politik percepatan
|
Penjelasannya sama dengan nomor 2.
|
||
pembangunan
|
||||
11
|
Politik kelembagaan
|
Pemekaran daerah merupakan bentuk perwuju dan dari penyerapan
dan
|
||
(aspirasi forum desa)
|
pelaksanaan aspirasi forum -forum desa yang mengusulkan
pemekaran
|
|||
daerah.
Hal ini sebenarnya sesuai dengan prosedur pemekaran yang
|
||||
diatur dalam PP 78/2007 yang menjelaskan bahwa usulan
pemekaran
|
||||
harus
berasal dari level desa yakni keputusan BPD.
|
||||
12
|
Politik identitas etnis
|
Maraknya tuntuta n dan pemekaran daerah (pertahun rata -rata terbentuk
|
||
20-25 daerah otonomi baru) merupakan wujud mengentalkan
identitas
|
||||
etnis di sebuah wilayah. Etnis tersebut, bisa meliputi etnis
asli, etnis
|
||||
pendatang, etnis tua, dan etnis muda. Masin
|
-masing
etnis membent uk
|
|||
wilayah
administrasi sendiri.
|
||||
13
|
Politik identitas agama
|
Pemekaran daerah (pembentukan daerah otonomi baru) merupakan
upaya
|
||
untuk memunculkan kejelasan identitas
agama dominan dalam sebuah
|
||||
wilayah administrasi. Politik model ini ditengarai peneliti
mar ak dilakukan di
|
||||
daerah
Maluku dan Poso.
|
||||
14
|
Politik kontestasi elite lokal
|
Pemekaran daerah merupakan dampak kontestasi elite lokal.
Elite lokal
|
||
yang
kalah bersaing di pilkada, tidak mendapat kursi di DPRD, dan
|
||||
15
|
Politik pengembalian
|
Pemekaran daerah merupakan upaya mengembalikan kejayaan
sejarah
|
||
kejayaan
sejarah
|
daerah tersebut. Kasus ini terjadi di Pemekaran Sambas.
Elite Sambas
|
Berdasarkan
tabel di atas, kajian makna politik pemekaran daerah yang dilakukan oleh
Syafarudin hasil identifikasi, inventarisasi, pemetaan, dan penjelasannya, maka
makna politik yang dominan mengenai pemekaran daerah adalah (a) politik
percepatan pembangunan; (b) politik identitas etnis/agama; dan (c) politik
kontestasi elite lokal. Sedangkan makna politik yang dorman (minoritas)
mengenai pemekaran adalah (a) politik integrasi; (b) politik uang; dan (c)
politik partai memenangkan pemilu.
Penjelasan
ini menunjukkan bahwa secara politik pemekaran daerah ada yang
memaknai secara positif tetapi ada juga yang memaknainya secara negatif. Tetapi
secara prinsip tujuan daerah dimekarkan itu adalah untuk mempercepat proses
pembangunan, memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, melakukan
pemberdayaan masyarakat dan lain sebagainya. Makna politik pemekaran daerah
cendrung negatif disebabkan oleh perilaku sebagian elit daerah.
Kajian
yang dilakukan oleh Syafarudin juga memetakan aneka makna politik pemekaran
daerah ke dalam tujuh regional. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel
4
Pemetaaan Regional Aneka Makna Politik Pemekaran Daerah
Kajian Akademik Pembentukan Kabupaten Kepulauan
Kundur
Provinsi Kepulauan Riau
Sumber
: dalam Syafarudin, 2009
Dari pemetaan tersebut terlihat seluruh Regional/
Wilayah Kepulauan di Indonesia makna politik pemekaran daerah di Indonesia dua
teratias semuanya memaknai politik percepatan pembangunan dan politik
desentralisasi. Data ini menunjukkan trend yang posistif dari pemekaran daerah
di Indonesia.
C.3.
Tinjauan Kajian Tentang Pemekaran Daerah
Banyak
hasil kajian yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga/institusi baik
pemerintah maupun swasta tentang pelaksanaan pemekaran daerah di In-donesia.
Mulai dari pertimbangan atau alasan daerah meminta untuk dimekarkan hinga
dampak dari pemekaran daerah itu sendiri.
Beberapa
faktor penyebab terjadinya pemekaran diantaranya adalah (a) faktor-faktor
pendorong seperti
(1) faktor kesejarahan, (2)
faktor tidak meratanya pembangunan, (3) rentang kendali pelayanan publik yang
jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi politik dan (b) faktor
penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang
memfalisilitasi munculnya pemekaran di antaranya adalah: (1) Proses persiapan
untuk mekar, (2) Political crafting oleh para elite; (3) Kondisi
perpolitikan nasional; dan (4) faktor tuntutan keamanan daerah perbatasan.
(Murtir Jeddawi, 2009 : 115)
279
Menurut
Muhtar Haboddin, dkk booming desen-tralisasi di masa reformasi adalah
terjadinya proses pemekaran terutama di luar Pulau Jawa dan Madura. Di antara teritorial
reform yaitu pemekaran, peng-gabungan dan penghapusan daerah, pemekaran
daerah lebih menarik karena dampak dari pemekaran daerah banyak membuka peluang
bagi masuknya pejabat-pejabat baru, ataupun jabatan politik. Alasan utama dari
pemekaran daerah di antaranya, peningkatan kese-jahteraan, peningkatan
pelayanan publik yang sering kali mengemuka dan menutupi motif-motif lain, terutama
motif politik yang menjadi kunci utama dari pemekaran daerah. (Retnaningsih,
2008)
Berbicara
tentang pemekaran daerah ada dampak positif dan negatif dari pemekaran. Dampak
positif secara normatif adanya pemekaran daerah otonom, dari pendekatan lokal,
akses percepatan pelayanan masyarakat akan dapat semakin cepat, karena lebih
dekat dengan masyarakat. Dampak positif lainnya, alokasi dana dari daerah induk
dan pemerintah pusat senantiasa ada (walaupun dari pandangan daerah induk dan
pemerintah pusat dianggap sebagai beban) kalau dikelola dengan baik oleh daerah
baru maka akan memberikan implikasi positif bagi masyarakat.
Dampak
negatif dari pemekaran daerah, banyak pihak menyimpulkan bahwa kebijakan
pemekaran
daerah otonom di era
reformasi mengalami kegagalan, antara lain karena pemekaran daerah tidak dapat
menjawab kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Menurut Eko Prasojo (2009)
persoalan pemekaran bukan hanya dominasi kepentingan politik, akan tetapi akibat
inkonsistensi pemerintah pusat dalam penerapan mengenai pemekaran.
C.4.Kriteria dan Syarat
Pemekaran dan Penggabungan Wilayah
Secara
terperinci proses pemekaran daerah di In-donesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Berkaitan dengan pemekaran
kabupaten dalam Pasal 4 ditegaskan bahwa pembentukan daerah kabupaten/kota
harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Adapun
syarat adminis-tratif pembentukan daerah kabupaten/kota yang harus dipenuhi
meliputi:
a)
Keputusan DPRD
kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
b)
Keputusan Bupati/Walikota
induk tentang perse-tujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
c)
Keputusan DPRD provinsi
tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
d)
Keputusan Gubernur tentang
persetujuan pemben-tukan calon kabupaten/kota; dan rekomendasi Menteri.
e)
Keputusan DPRD
kabupaten/kota diproses berda-sarkan aspirasi sebagian besar masyarakat
setempat.
Sedangkan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas
daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan
masya-rakat, dan rentang kendali penyelenggaraan peme-rintahan daerah. Syarat
fisik kewilayahan bagi calon daerah pemekaran meliputi cakupan wilayah, lokasi
calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Pembentukan kabupaten paling
sedikit 5 (lima) kecamatan. Adapun tahapan pembentukan daerah baru di Indonesia
adalah sebagai berikut:
a)
Aspirasi sebagian besar
masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi
Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan;
b)
Keputusan DPRD
kabupaten/kota berdasarkan
Kajian Akademik Pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur Provinsi
Kepulauan Riau
aspirasi
sebagian besar masyarakat setempat;
c)
Bupati/Walikota dapat
memutuskan untuk menye-tujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada
huruf a dalam bentuk keputusan Bupati/ Walikota berdasarkan hasil kajian
daerah;
d)
Keputusan masing-masing
Bupati/Walikota sebagai-mana dimaksud pada huruf c disampaikan kepada Gubernur
dengan melampirkan:
1.
Dokumen aspirasi masyarakat;
dan
2.
Keputusan DPRD
kabupaten/kota dan keputusan Bupati/Walikota;
a)
Dalam hal Gubernur
menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh
Bupati/Walikota dan berda-sarkan hasil kajian daerah, usulan pem-bentukan
provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi;
b)
Setelah adanya keputusan
persetujuan dari DPRD provinsi, Gubernur menyampaikan usulan pembentukan
provinsi kepada Pre-siden melalui Menteri dengan melampirkan:
1.
Hasil kajian daerah;
2.
Peta wilayah calon provinsi;
3.
Keputusan DPRD
kabupaten/kota dan keputusan Bupati/Walikota;
4.
Keputusan DPRD provinsi.
Berkaitan
dengan penghapusan dan penggabungan daerah di Indonesia secara yuridis
ketentuannya adalah sebagai berikut:
a)
Daerah otonom dapat dihapus,
apabila daerah yang bersangkutan dinyatakan tidak mampu menyeleng-garakan
Otonomi Daerah;
b)
Penghapusan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah melalui proses evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan
mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya
saing daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c) Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digabungkan dengan daerah lain yang bersandingan
berdasarkan hasil kajian.
Kajian penyusunan naskah akademik Pembentukan
Kabupaten Kepuluan Kudur Provinsi Kepulauan Riau ini berpijak pada Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah. Berdasarkan peraturan ini ada penilaian syarat teknis yang
terdiri dari 11 faktor dan 35 indikator. Secara terperinci dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
281
|
|||||||
Provinsi Kepulauan Riau
|
|||||||
Tabel
5
|
|||||||
Faktor
dan Indikator Dalam Rangka Pembentukan Daerah Otonom Baru
|
|||||||
FAKTOR
|
INDIKATOR
|
||||||
1.
|
Kependudukan
|
1.
|
Jumlah penduduk.
|
||||
2.
|
Kepadatan penduduk.
|
||||||
2.
|
Kemampuan Ekonomi
|
3.
|
PDRB non migas perkapita.
|
||||
4.
|
Pertumbuhan ekonomi.
|
||||||
5.
|
Kontribusi PDRB non migas.
|
||||||
3.
|
Potensi daerah
|
6.
|
Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per.
10.000 penduduk.
|
||||
7.
|
Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk.
|
||||||
8.
|
Rasio pasar per 10.000 penduduk
|
||||||
9.
|
Rasio sekolah SD per penduduk usia SD.
|
||||||
10.
|
Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP.
|
||||||
11.
|
Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA.
|
||||||
12.
|
Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk.
|
||||||
13.
|
Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk.
|
||||||
14.
|
Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor
|
||||||
15.
|
atau perahu atau perahu motor atau kapal motor.
|
||||||
Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga.
|
|||||||
16.
|
Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor.
|
||||||
17.
|
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA te rhadap
|
||||||
18.
|
penduduk usia 18 tahun ke atas.
|
||||||
Persentase pekerja yang
|
berpendidikan minimal S-1 terhadap
|
||||||
19.
|
penduduk usia 25 tahun ke atas.
|
||||||
Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk
|
|||||||
4.
|
Kemampuan Keuangan
|
20.
|
Jumlah PDS.
|
||||
21.
|
Rasio PDS terhadap jumlah penduduk.
|
||||||
22.
|
Rasio PDS terhadap PDRB non migas.
|
||||||
5.
|
Sosial Budaya
|
23.
|
Rasio sarana peribadatan per 10,000 penduduk.
|
||||
24.
|
Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk.
|
||||||
25.
|
Jumlah balai pertemuan.
|
||||||
6.
|
Sosial Politik
|
26.
|
Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif
penduduk yang
|
||||
27.
|
mempunyai hak pilih.
|
||||||
Jumlah organisasi kemasyarakatan.
|
|||||||
7.
|
Luas Daerah
|
28.
|
Luas wilayah keseluruhan.
|
||||
29.
|
Luas wilayah, efektif yang dapat dimanfaatkan
|
||||||
8.
|
Pertahanan
|
30.
|
Rasio jumlah personil aparat pertahanan
terhadap luas wilayah.
|
||||
31.
|
Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.
|
||||||
9.
|
Keamanan
|
32.
|
Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah
penduduk.
|
||||
10.
|
Tingkat Kesejahteraan
|
33.
|
Indeks Pembangunan Manusia.
|
||||
masyarakat
|
|||||||
11.
|
Rentang Kendali
|
34.
|
Rata -rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan
ke pusat
|
||||
35.
|
pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota)
|
||||||
Rata -rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan
|
|||||||
ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten / kota).
|
Sumber : Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
Setiap faktor dan indikator
yang menjadi penilian teknis tersebut di hitung dengan cara yang sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.
Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda
sesuai dengan perannya dalam pembentukan daerah otonom.
Kajian Akademik
Pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur
|
||||||
Provinsi Kepulauan Riau
|
||||||
Tabel
6
|
||||||
Bobot
Masing-Masing Faktor Dan Indikator
|
||||||
No
|
Faktor Dan Indikator
|
Bobot
|
||||
1
|
Kependudukan
|
20
|
||||
1.
|
Jumlah penduduk.
|
15
|
||||
2.
|
Kepadatan
penduduk.
|
5
|
||||
2
|
Kemampuan
Ekonomi
|
15
|
||||
1.
|
PDRB non migas perkapita.
|
5
|
||||
2.
|
Pertumbuhan ekonomi.
|
5
|
||||
3.
|
Kontribusi
PDRB non migas.
|
5
|
||||
3
|
Potensi
daerah
|
15
|
||||
1.
|
Rasio
bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk.
|
2
|
||||
2.
|
Rasio
kelompok pertokoan per 10.000 penduduk.
|
1
|
||||
3.
|
Rasio
pasar per 10.000 penduduk
|
1
|
||||
4.
|
Rasio
sekolah SD per penduduk usia SD.
|
1
|
||||
5.
|
Rasio
sekolah SLTP per penduduk usia SLTP.
|
1
|
||||
6.
|
Rasio
sekolah SLTA per penduduk usia SLTA.
|
1
|
||||
7.
|
Rasio
fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk.
|
1
|
||||
8.
|
Rasio
tenaga medis per 10.000 penduduk.
|
1
|
||||
9.
|
Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau
perahu
|
1
|
||||
atau
perahu motor atau kapal motor.
|
||||||
10.
|
Persentase
pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga.
|
1
|
||||
11.
|
Rasio
panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor.
|
1
|
||||
12.
|
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap
penduduk
|
1
|
||||
usia
18 tahun ke atas.
|
||||||
13.
|
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap
penduduk usia
|
1
|
||||
25
tahun ke atas.
|
||||||
14.
|
Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk.
|
1
|
||||
4
|
Kemampuan Keuangan
|
15
|
||||
1.
|
Jumlah
PDS.
|
5
|
||||
2.
|
Rasio PDS terhadap jumlah penduduk.
|
5
|
||||
3.
|
Rasio
PDS terhadap PDRB non migas.
|
5
|
||||
5
|
Sosial
Budaya
|
5
|
||||
1.
|
Rasio
sarana peribadatan per 10,000 penduduk.
|
2
|
||||
2.
|
Rasio
fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk.
|
2
|
||||
3.
|
Jumlah balai pertemuan.
|
1
|
D. Hasil Penelitian
D.1. Rekapitulasi Penghitungan Indikator Rencana
Pemekaran
Kabupaten Kepulauan Kundur
Selanjutnya gambaran calon
Kabupaten Kepulauan Kundur dengan merujuk pada variabel- variabel dan
indikator-indikator PP No.78 Tahun 2007 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel
8
Gambaran
Kondisi Calon Kabupaten Kepulauan Kundur Berdasarkan Data Olahan
Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
No
|
Faktor
|
Indikator
|
Nilai Calon Kabupaten
|
||
Kundur Kepulauan
|
|||||
1.
|
Kependudukan
|
Jumlah
Penduduk
|
90.423
|
||
Kepadatan Penduduk
|
67,86/Km²
|
||||
2.
|
Kemampuan
Ekonomi
|
PDRB
Non Migas Perkapita
|
20171810,82
|
||
Pertumbuhan
Ekonomi
|
7,88 %
|
||||
Kontribusi PDRB
Non Migas
|
2,69 %
|
||||
3.
|
Potensi
Daerah
|
Rasio
Bank dan lembaga keuangan non bank
|
3,21
|
||
per
10.000 penduduk
|
134,7024
|
||||
Rasio Kelompok
Pertokoan per 10.000
|
|||||
penduduk
|
0,8884730
|
||||
Rasio
pasar per 10.000 penduduk
|
|||||
Rasio
sekolah SD per penduduk usia SD
|
0,006763
|
||||
Rasio sekolah SLTP
per penduduk usia SLTP
|
0,006490
|
||||
Rasio sekolah SLTA
per penduduk usia SLTA
|
0,003781
|
||||
Rasio fasilitas
kesehatan per 10.000 penduduk
|
27,094870
|
||||
Rasio tenaga medis
per 10.000 penduduk
|
32,84562
|
||||
Persentase
rumah tangga yang mempunyai
|
78,71
|
||||
kendaraan
bermotor atau perahu atau perahu
|
|||||
motor atau kapal
motor
|
81,28
|
||||
Persentase
pelanggan listrik terhadap jumlah
|
|||||
rumah tangga
|
12,41056 Km
|
||||
Rasio
panjang jalan terhadap jumlah kendaraan
|
|||||
bermotor
|
11,3660062
|
||||
Persentase pekerja
yang berpendidikan minimal
|
|||||
SLTA terhadap
penduduk usia 18 tahun ke atas
|
1,5912
|
||||
Persentase
pekerja yang berpendidikan minimal
|
|||||
S-1 terhadap
penduduk usia 25 tahun ke atas
|
148,19238
|
||||
Rasio pegawai
negeri sipil terhadap penduduk
|
|||||
4.
|
Kemampuan
Keuangan
|
Jumlah
PDS
|
191,318,726,392
|
||
Rasio
PDS terhadap jumlah penduduk
|
2.115.819,28
|
||||
Rasio PDS terhadap
PDRB non migas
|
9.484,46
|
||||
5.
|
Sosial
Budaya
|
Rasio
sarana peribadatan per 10.000 penduduk
|
29,85965
|
||
Rasio
fasilitas lapangan ola
|
hraga
per 10.000
|
17,14165
|
|||
penduduk
|
|||||
Jumlah balai
pertemuan
|
163
|
||||
6.
|
Sosio
Politik
|
Rasio
penduduk yang ikut pemilu legislatif
|
0,993613
|
||
penduduk
yang mempunyai hak pilih
|
|||||
Jumlah organisasi
kemasyarakatan
|
19 Buah
|
||||
7.
|
Luas
Daerah
|
Luas
wilayah keseluruhan
|
5.844,62 Km²
|
||
Luas wilayah
efektif yang dapat dimanfaatkan
|
266,5 ha
|
||||
8.
|
Pertahanan
|
Rasio
jumlah personil aparat pertahanan
|
0,010950
|
||
terhadap luas
wilayah
|
|||||
Karakteristik
wilayah, dilihat dari sudut
|
1
|
||||
pandang pertahanan
|
|||||
9.
|
Keamanan
|
Rasio
jumlah personil keamanan terhadap
|
7,96257
|
||
jumlah penduduk
|
|||||
10.
|
Tingkat
Kesejahteraan
|
Indeks
Pembangunan Manusia
|
73,15
|
||
Manusia
|
|||||
11.
|
Rentang
Kendali
|
Rata-rata
jarak kabupaten/kota atau kecamatan
|
42,498
|
||
ke pusat
pemerintahan (provinsi atau
|
|||||
kabupaten/kota)
|
|||||
Rata-rata waktu
perjalanan
|
dari kabupaten/kota
|
65 menit
|
|||
atau kecamatan ke
pusat pemerintahan (provinsi
|
|||||
atau
kabupaten/kota)
|
Sumber Data : Hasil Penelitian 2012
D.2. Penilaian Kelayakan Rencana Pemekaran
Kabupaten
Kepulauan Kundur
Berdasarkan
PP No. 78 Tahun 2007 disebutkan bahwa penilaian atau proses scoring terhadap
indikator dilakukan dengan dua cara yaitu melalui metode kuota dan metode
rata-rata, yaitu membandingkan nilai daerah induk dan calon daerah baru
terhadap rata-rata daerah
selevel di sekitarnya. Untuk
menilai calon Kabupaten Kepulauan Kundur data -data tentang indikator-indikator
Kabupaten Kepulauan Kundur dan kabupaten induk Kabupaten Karimun dibandingkan
dengan rata-rata nilai dari dua kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau.
Hasil
dari penilaian tersebut dapat dilihat pada tabel 4.38 dan tabel 4.39 di bawah
ini, yang menggambarkan hasil penilaian berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007.
Tabel
9
Rekapitulasi
Penghitungan Indikator
Rencana
Pemekaran Kabupaten Kepulauan Kundur
No
|
Faktor Dan Indikator
|
Bobot
|
Skor
|
Bobot X
|
|
Skor
|
|||||
1.
|
Kependudukan
|
||||
Jumlah Penduduk
|
15
|
5
|
75
|
||
Kepadatan Penduduk
|
5
|
5
|
25
|
||
Subtotal Skor Faktor
Kependudukan
|
100
|
||||
2.
|
Kemampuan Ekonomi
|
||||
PDRB Non Migas Perkapita
|
5
|
5
|
25
|
||
Pertumbuhan Ekonomi
|
5
|
5
|
25
|
||
Kontribusi PDRB Non Migas
|
5
|
5
|
25
|
||
Subtotal Skor Faktor
Kemampuan Ekonomi
|
75
|
||||
3.
|
Potensi Daerah
|
||||
Rasio Bank dan lembaga keuangan non bank
per 10.000 penduduk
|
2
|
5
|
10
|
||
Rasio Kelompok Pertokoan per 10.000 penduduk
|
1
|
5
|
5
|
||
Rasio pasar per 10.000 penduduk
|
1
|
5
|
5
|
||
Rasio sekolah SD per penduduk usia SD
|
1
|
5
|
5
|
||
Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP
|
1
|
5
|
5
|
||
Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA
|
1
|
4
|
4
|
||
Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk
|
1
|
5
|
5
|
||
Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk
|
1
|
5
|
5
|
||
Persentase rumah tangga yang mempunyai
kendaraan bermotor atau
|
1
|
5
|
5
|
||
perahu atau perahu motor atau kapal motor
|
|||||
Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga
|
1
|
5
|
5
|
||
Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor
|
1
|
5
|
5
|
||
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap
|
1
|
3
|
3
|
||
penduduk usia 18 tahun ke atas
|
|||||
287
|
|
Provinsi Kepulauan Riau
|
Sumber
: Data Penelitian 2012
Dari
tabel di atas kita lihat bahwa skor total calon Kabupaten Kepulauan Kundur
sementara berdasarkan data terakhir yang diperoleh adalah sebesar 411 (masuk
kategori mampu), dengan perolehan total nilai per indikator sebagai berikut:
1.
Faktor kependudukan sebesar
100
2.
Faktor ekonomi sebesar 75
3.
Faktor potensi daerah
sebesar 64
4.
Faktor kemampuan keuangan
sebesar 35
5.
Faktor sosial budaya sebesar
25
6.
Faktor sosial politik
sebesar 15
7.
Faktor luas daerah sebesar
25
8.
Faktor pertahanan sebesar 25
9.
Faktor keamanan sebesar 10
10.
Faktor tingkat kesejahteraan
sebesar 25
11.
Faktor rentang kendali
sebesar 15
Berdasarkan data di atas skor total calon
Kabupaten Kepulauan Kundur berjumlah 411, masuk kategori Mampu. Kemudian empat
faktor determinasi untuk menilai kelayakan pemekaran suatu daerah, yakni (1)
Indikator Kependudukan, (2) Indikator Kemampuan Ekonomi, (3) Indikator Potensi
Daerah, dan (4) Indikator Kemampuan Keuangan juga melawati nilai yang
disyaratkan. Kabupaten induk skor totalnya berjumlah 425, masuk kategori Sangat
Mampu. Empat faktor determinasi juga melewati nilai yang disyaratkan.
E.
Kesimpulan
Hasil kajian akademik
pembentukan calon Kabupaten Kepulauan Kundur
Provinsi Kepuluaun Riau berdasarkan penilai teknis menurut PP No. 78 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, skor
totalnya berjumlah 411 dengan katagori mampu, peroleh faktor penentu untuk
total nilai indikator faktor kependudukan sebesar 100, faktor ekonomi 75,
faktor potensi daerah 69 dan faktor kemampuan keuangan 45
Penilaian
teknis kabupaten induk Kabupaten Karimun berdasarkan data yang diperoleh adalah
sebesar 425 dengan katagori mampu, dengan perolehan total nilai indikator
faktor kependudukan sebesar 100, faktor ekonomi 75, faktor potensi daerah 63
dan faktor kemampuan keuangan 60.
Hasil
kajian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan penilaian teknis menurut PP No. 78
Tahun 2007 calon Kabupaten Kepulauan Kundur dinyatakan layak untuk dijadikan
daerah otonom. Karena pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur total nilai
kabupaten induk Kabupaten Kepulauan Karimun juga masuk dalam kategori mampu
dengan nilai 411
Kajian
akademik pembentukan Kabupaten Kepul-uaun Kundur ini menyaran hal-hal berikut :
a.
Kabupaten Karimun sebagai
kabupaten induk diharapkan untuk membentukan kecamatan baru agar tetap
terpenuhi syarat sebagai sebuah kabupaten yaitu minimal memiliki 5 (lima)
kecamatan sebelum pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur.
b.
Upaya atau gerakan pembentukan
Kabupaten Kepulauan Kundur diharapkan mengikuti mekanisme dan prosedur yang
disyaratkan oleh PP No. 78 Tahun 2007.
c.
Perjuangan pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur dimaknai dalam
rangka mengaktualisasikan aspirasi dan tututan masyarakat serta dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam melayani
kepentingan rakyat.
d.
Proses perjuangan pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur
diharapkan mengedepan keutuhan masyarakat, seluruh pihak yang berke-pentingan
diharapkan saling bersinergi. Hasil kajian akademik pembentukan calon Kabupaten
Kepulauan Kundur Provinsi Kepuluaun Riau berdasarkan penilai teknis menurut PP
No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Peng-gabungan
Daerah, skor totalnya berjumlah 411 dengan katagori mampu, peroleh faktor
penentu untuk total nilai indikator faktor kependudukan sebesar 100, faktor
ekonomi 75, faktor potensi daerah 69 dan faktor kemampuan keuangan 45
e.
Penilaian teknis kabupaten
induk Kabupaten Karimun berdasarkan data yang diperoleh adalah sebesar 406
(mampu), dengan perolehan total nilai indikator faktor kependudukan sebesar
100, faktor ekonomi 75, faktor potensi daerah 63 dan faktor kemampuan keuangan
60.
f.
Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan penilaian teknis
menurut PP No. 78 Tahun 2007 calon Kabupaten Kepulauan Kundur dinyatakan layak
untuk dijadikan daerah otonom. Karena pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur
total nilai kabupaten induk Kabupaten Kepulauan Karimun juga masuk dalam
kategori mampu dengan nilai 411.
F.
Saran
Kajian akademik pembentukan
Kabupaten Kepulauan Kundur ini menyaran
hal-hal berikut :
a.
Kabupaten Karimun sebagai
kabupaten induk diharapkan untuk membentukan kecamatan baru agar tetap
terpenuhi syarat sebagai sebuah kabupaten yaitu menimal lima kecamatan sebelum
pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur.
b.
Upaya atau gerakan pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur
diharapkan mengikuti mekanisme dan prosedur yang disyaratkan oleh PP No. 78
Tahun 2007.
c.
Perjuangan pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur dimaknai dalam
rangka mengaktualisasikan aspirasi dan tututan masyarakat serta dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam melayani kepentingan
rakyat.
d.
Proses perjuangan
pembentukan Kabupaten Kepulauan Kundur diharapkan mengedepan keutuhan
masyarakat, seluruh pihak yang berke-pentingan diharapkan saling bersinergi.
G.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Roesman Effendy, dalam Pemekaran
Wilayah Kabupaten/Kota, USAID & DRSP
B.N.
Marbun, 2010, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan realita, Pustaka
sinar Harapan, Jakarta
Bappeda
Provinsi Riau, 2011, Kajian Dampak Daerah Pemekaran Dalam Kaitannya Dengan
Kebijakan Pembangunan Di Provinsi Riau
Makagansa , HR. 2008.
Tantangan Pemekaran Daerah. Jogjakarta, Penerbit Fuspad
Murtir Jeddawi, 2009, Pro
Kontra Pemekaran Daerah (Analisis Empiris), Total Media.
Muchtar
H dalam Retnaningsih, 2008 (editor) Penataan Daerah, Percik
Salatiga
Said
Saile ; 2009 ; Pemekaran Wilayah Sebagai Buah Demokrasi di Indonesia.
Sasongko,
Haryo, 2001. Pengelolaan Pengembangan Kota di Era Otonomi Daerah,
Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Syaukani
HR, 2000, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang Dayaku,
Percetakan Kabupaten Kutai-Kalimantan Timur, Samarinda.
Syafarudin, 2009, Pemetaan Makna Politik Pemekaran
Daerah Di Indonesia
Posting Komentar