KETENTUAN-KETENTUAN
DALAM
HAL NAFKAH
Hukum Menafkahi Keluarga dan Orang yang
Berada Di Bawah Tanggungan
Pada
dasarnya, Islam telah mewajibkan seorang laki-laki yang telah baligh untuk menafkahi
dirinya sendiri, keluarga, serta orang-orang yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Ketentuan semacam ini
didasarkan pada firman Allah swt:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan
kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang
ma’ruf. Seseorang tidak akan dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.”[al-Baqarah:233]
Imam
Ibnu al-'Arabiy menyatakan, "Ayat ini merupakan dalil wajibnya seorang
ayah menafkahi anak-anaknya. Sebab,
mereka masih belum mampu dan lemah."[1]
Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasiir, Ali al-Shabuniy
menyatakan, "Makna ayat ini adalah, seorang ayah wajib memberikan
nafkah dan pakaian kepada isterinya yang telah dicerai jika ia menyusui
anak-anaknya."[2]
Imam Qurthubiy mengatakan, "Seluruh ulama telah
sepakat, bahwa seorang bapak wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang
masih kecil yang tidak memiliki harta. Dari ‘Aisyah diriwayatkan, bahwa Hindun
binti ‘Utbah pernah bertanya kepada Rasulullah saw,”Wahai Rasulullah saw
sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan
anakku, sehinga aku mesti mengambilnya darinya tanpa sepengetahuannya”.
Rasulullah saw bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan
cara yang baik.”[HR. Bukhari dan Muslim][3]
Imam
Ibnu Katsir menuturkan, bahwa seorang ayah wajib memberikan nafkah dan pakaian
kepada anak-anaknya, dengan cara yang ma'ruf. Yang dimaksud dengan "ma'ruf"
di sini adalah, sesuai dengan kepatutan yang berlaku di negerinya, tidak
berlebihan, dan sesuai dengan kemampuan dirinya.[4]
Di ayat yang lain, Allah swt berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka, dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu perempuan-perempuan yang sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin.”[al-Thalaq:6]
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini merupakan dalil wajibnya
seorang suami memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada isteri yang
ditalaknya hingga habis masa 'iddahnya.[5] Masih menurut beliau, mayoritas ulama,
termasuk Ibnu 'Abbas, sekelompok 'ulama salaf, dan khalaf, berpendapat bahwa
ayat ini berhubungan dengan wanita yang ditalak bain. Jika wanita tersebut hamil, maka ia berhak
mendapatkan nafkah hingga berakhir masa kehamilannya. Sebagian 'ulama berpendapat dengan ayat ini,
bahwa wanita yang ditalak raj'iy berhak mendapatkan nafkah baik ia hamil maupun
tidak.
'Ulama
lain berpendapat, bahwa ayat ini (al-Thalaq ayat 6) berhubungan dengan wanita
yang ditalak raj'iy. Atas dasar
itu, hanya wanita hamil yang terkena talak raj'iy saja yang berhak
mendapatkan nafkah.[6]
Asyhab
menuturkan dari Malik, bahwasanya, seorang laki-laki harus memisahkan diri dari
isterinya tatkala ia menjatuhkan talak kepadanya, namun sang isteri berhak
menempati rumahnya.[7]
Ibnu
Nafi' berkata, "Imam Malik menyatakan, bahwa firman Allah swt,"..
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu..", berhubungan dengan wanita-wanita yang ditalak bain. Wanita-wanita
seperti ini tidak boleh kembali kepada suami-suami mereka, dan mereka hanya mendapatkan
hak untuk mendapatkan tempat tinggal.
Jika wanita yang ditalak tersebut tidak hamil, maka ia hanya berhak
mendapatkan tempat tinggal, tidak berhak menerima nafkah dan pakaian, sebab ia telah tertalak bain. Keduanya tidak saling mewarisi. Suaminya tidak
boleh kembali kepadanya. Jika wanita
yang ditalak bain tersebut dalam kondisi hamil, maka ia berhak mendapatkan
nafkah, pakaian, dan tempat tinggal hingga habis masa 'iddahnya. Jika wanita tersebut tidak ditalak bain, maka
ia tetap berkedudukan sebagai isterinya, dan keduanya saling mewarisi, dan ia
berhak mendapatkan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal; baik ia berada dalam
kondisi hamil atau tidak[8]."
Menurut Imam Qurthubiy, para 'ulama sendiri berbeda pendapat
mengenai status wanita yang ditalak bain. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah
ini.
Madzhab
Syafi'iy berpendapat, bahwa wanita-wanita yang ditalak bain hanya berhak
mendapatkan tempat tinggal, namun tidak berhak mendapatkan nafkah[9]. Pendapat ini lebih kuat dan dianut juga oleh
Imam Ibnu al-'Arabiy.
Madzhab
Hanafiyyah berpendapat, bahwa wanita yang tertalak bain tetap berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Mereka
berargumentasi dengan hadits yang dikeluarkan oleh Daruquthniy, yang menyatakan
bahwa sahabat-sahabat 'Abdullah berpendapat, bahwa wanita yang ditalak bain
berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Imam Daruquthniy juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Umar bin
Khaththab berpendapat, bahwa wanita yang ditalak bain tetap mendapatkan nafkah
dan tempat tinggal.[10]
Sedangkan
Imam Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa wanita yang tertalak bain tidak
berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal. Mereka berhujjah dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Fathimah bint al-Qais.
Ia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah saw bersama dengan
saudara laki-laki suamiku. Kemudian saya
berkata, "Suami saya telah mentalakku.
Ia berpendapat bahwa aku tidak berhak mendapatkan tempat tinggal dan
nafkah. Rasulullah saw bersabda,"Kamu berhak mendapatkan tempat tinggal,
namun tidak berhak mendapatkan nafkah."
Saudara laki-lakinya Fathimah binti Qais berkata, "Suaminya telah mentalaknya tiga kali." Rasulullah
saw bersabda, "Sesungguhnya, tempat tinggal dan nafkah hanya bagi orang
yang bisa kembali (talak raj'iy)." Qatadah dan Ibnu Abi Laila berkata, "Tidak
ada tempat tinggal, kecuali bagi wanita yang ditalak raj'iy."[11]
Imam
Ibnu al-'Arabiy menyatakan, bahwa, tatkala Allah swt memerintahkan kaum
laki-laki untuk menyediakan tempat tinggal bagi wanita-wanita yang ditalak, sesungguhnya
konteksnya berlaku umum bagi wanita yang ditalak, baik ditalak raj'I maupun
talak bain. Namun demikian, tatkala
Allah swt menyebut nafkah, Ia mengkaitkannya dengan kehamilan. Ini menunjukkan, bahwa wanita yang ditalak
bain, tidak berhak mendapatkan nafkah, namun berhak mendapatkan tempat tinggal[12]. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam
Qurthubiy, dan Imam Syafi'iy.[13]
Laki-laki
yang sudah dewasa (akil baligh) harus menafkahi dirinya sendiri. Orang tua tidak wajib memberikan nafkah
kepada anak laki-laki yang sudah mencapai akil baligh. Imam Ahmad al-Syaibaniy, dalam kitab al-Sair
al-Kabiir, menuturkan,” Rasulullah
saw pernah mengangkat Mahmiyah bin Jaza’ al-Zubaidiy untuk mengurusi khumushnya
Bani Mushthaliq. Dari pencatatan tersebut terkumpullah khumus dalam setiap kali
peperangan. Dicatat pula pengumpulan
harta shadaqah dan fai’, serta siapa-siapa saja yang berhak
mendapatkannya. Beliau saw juga
menyerahkan shadaqah kepada anak yatim, kaum papa serta orang-orang
miskin. Jika anak-anak yatim tersebut
telah baligh, maka mereka diwajibkan untuk berjihad, dan ia berhak mendapatkan
fai’. Jika ia menolak untuk berjihad,
maka dirinya tidak akan diberi sedikitpun dari harta shadaqah, dan
diperintahkan bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri.” [14]
Pada dasarnya, suami berkewajiban memberi nafkah kepada
isterinya, baik makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal dengan cara yang
baik. Ketentuan ini telah masyhur
dan ditetapkan di dalam al-Quran dan Sunnah. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Isteri-isteri
itu mempunyai hak (dari suami mereka) sebagaimana pada diri mereka terdapat
kewajiban (terhadap suaminya) dengan cara yang baik.”[al-Baqarah:228]
Ayat
ini menjelaskan, bahwa seorang isteri memiliki hak-hak suami isteri yang harus
ditunaikan oleh seorang laki-laki, seperti halnya seorang laki-laki memiliki
hak yang harus ditunaikan oleh isterinya.
Diantara hak-hak yang harus ditunaikan seorang suami kepada isterinya
adalah memberikan nafkah kepada keluarga, baik makanan, pakaian, maupun tempat
tinggal yang layak.[15]
Di
dalam sunnah, Imam Tirmidzi menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
“Sesungguhnya
kalian mempunyai hak dari isteri-isteri, dan kalian mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap mereka."
Imam
Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“Engkau
harus memberinya makan, jika engkau makan, dan memberinya pakaian jika engkau
berpakaian. Janganlah engkau menempeleng
wajah dan jangan pula engkau menghinanya, dan juga jangan membiarkannya kecuali
di dalam rumah.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dishahihkan oleh
Hakim]
Imam
Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Mu'awiyyah al-Qusyairiy, bahwasanya ia
berkata, "Saya menemui Rasulullah saw dan bertanya, "Apa pendapat
anda terhadap isteri-isteri kami?" Rasulullah
saw bersabda, "Berilah mereka makanan dari makanan yang kamu makan,
berilah mereka pakaian dari pakaian yang kamu pakai, dan janganlah kamu memukul
dan menghinanya."[HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban]
Imam
Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar, menyatakan, bahwa hadits ini merupakan hujjah,
wajibnya seorang suami memberi nafkah kepada isterinya, baik makanan, pakaian,
maupun tempat tinggal sekadar dengan kemampuannya. Hadits ini juga berisi larangan bagi suami
untuk memukul dan menghina isteri.[16]
Dalam
riwayat lain dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“….mereka
berhak mendapatkan belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang baik.”[HR. Muslim]
Dari
seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang laki-laki wajib
memberikan nafkah kepada orang-orang yang berada di dalam tanggung
jawabnya.
Golongan yang Wajib Diberi Nafkah
Nafkah wajib diberikan kepada enam golongan, yaitu; anak dan
isteri (keluarga suami), wanita yang ditalak bain dalam keadaan hamil, dua
orang tua, anak-anak kecil dan tidak mampu, pembantu yang menjadi tanggungjawab
majikannya, dan hewan peliharaan.
Anak dan Isteri (Keluarga Suami)
Nafkah
wajib diberikan kepada anak dan isteri yang menjadi tanggungjawab seorang
suami. Sama saja apakah isteri tersebut
masih berada di dalam kekuasaannya, ataupun hanya secara hukum saja ia menjadi
tanggungjawab seorang suami; misalnya isteri yang terkena talak raj’i sebelum
habis masa ‘iddahnya.
Ketentuan
semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
"Ketahuilah
bahwa, hak mereka atas kalian adalah supaya kalian berbuat baik kepada mereka
dalam hal memberikan pakaian dan makanannya.”[HR. Turmudziy]
Dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
"Sedinar
yang engkau infakkan di jalan Allah, sedinar yang engkau infakkan dalam
pembebasan hamba, sedinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan
sedinar yang engkau infakkan kepada keluargamu, maka yang lebih besar pahalanya
adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu."[HR. Ahmad dan Muslim]
Hadits
ini merupakan dalil wajibnya seorang suami menafkahi keluarganya (anak dan
isteri). Imam Syaukani menuturkan, bahwa kewajiban seorang suami untuk
memberikan nafkah kepada isterinya telah menjadi konsensus (ijma'). Lebih dari
itu, nafkah kepada isteri harus didahulukan daripada kerabat yang lain. Jika
ada kelebihan baru kepada kerabat lain berdasarkan kadar kedekatannya.[17]
Dari
Jabir diriwayatkan, bahwasanya Nabi saw bersabda kepada seseorang:
"Dahulukan
untuk dirimu sendiri, kemudian bersedekahlah untuk dirimu, lalu jika ada
sesuatu kelebihan, maka sedekahkanlah kepada keluargamu, kemudian jika ada
kelebihan (lagi) maka kepada kerabatmu yang lain, kemudian jika ada kelebihan
dari apa yang engkau berikan kepada kerabatmu itu, maka untuk yang paling dekat
dan begitulah seterusnya."[HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasaa'iy]
Dari
Abu Hurairah ra dikisahkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Bersedekahlah!
Lantas, seorang laki-laki berkata, "Aku punya sedinar. Nabi saw
bersabda,"Belanjakanlah untuk dirimu sendiri!" Laki-laki itu berkata (lagi),"Aku punya
sedinar lagi." Nabi saw bersabda,"Belanjakanlah
untuk isterimu! Laki-laki itu berkata
lagi, "Aku masih mempunyai sedinar lagi." Nabi saw bersabda, "Belanjakanlah untuk
anakmu". Laki-laki itu berkata
lagi, "Aku masih punya sedinar lagi."
Nabi saw
berkata,"Sedekahkanlah kepada pembantumu. Laki-laki itu berkata lagi, "Aku masih
mempunyai sedinar lagi. Nabi saw menjawab,
"Engkau lebih tahu."[HR Ahmad, Nasaa'iy, dan Abu Dawud, akan
tetapi, Imam Abu Dawud mendahulukan anak daripada isteri]
Adapun
nafkah terhadap isteri yang ditalak raj'iy harus diberikan sampai berakhir masa
'iddahnya. Jika seorang suami tidak rujuk kembali kepada isterinya setelah
lewat masa 'iddahnya, maka isterinya terkena talak bain.
Wanita Yang Ditalak Bain Dalam Keadaan Hamil
Wanita
yang dicerai dengan talak ba’in, maka suami berkewajiban memberikan nafkah
selama dia hamil, jika perempuan itu dicerai dalam keadaan hamil. Hal ini
didasarkan pada firman Allah swt:
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka, dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu perempuan-perempuan yang sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin.”[al-Thalaq:6]
Jika
seorang wanita ditalak bain, dan tidak dalam kondisi hamil, maka ia hanya
berhak mendapatkan tempat tinggal saja, akan tetapi tidak berhak mendapatkan
nafkah. Ketentuan semacam ini
ditetapkan berdasarkan firman Allah swt:
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka.”[al-Thalaq:6]
Menurut
Imam Syafi'iy dan Ibnu al-'Arabiy, seorang wanita yang ditalak bain dan tidak
dalam kondisi hamil, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal saja, dan tidak
berhak mendapatkan nafkah.
Dua Orang Tua
Nafkah
orang tua yang tidak mampu, baik muslim maupun kafir, menjadi tanggungjawab
anaknya, jika anak itu berkecukupan. Ketentuan
semacam ini telah menjadi ijma' di kalangan fuqaha[18]. Allah swt berfirman:
“..dan
berbuat baiklah terhadap kedua orang tua….”[al-Baqarah:83]
"Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.."[Luqman:15]
Dari
'Imarah bin 'Umair dari bibinya, dituturkan, bahwasanya bibinya pernah bertanya
kepada 'Aisyah ra,"Di rumahku ada anak yatim, bolehkah saya memakan
hartanya? 'Aisyah berkata,
"Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik apa yang dimakan
oleh seorang lelaki adalah harta yang berasal dari kasabnya (usahanya), dan
anaknya termasuk usahanya."
Imam
Malik, Imam Syafi'iy dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang tua hanya
boleh mengambil harta dari anaknya sekadar dengan kebutuhannya, dan pada saat
ia membutuhkan saja. Ia tidak boleh
mengambil harta anaknya sekehendaknya.
Berbeda dengan Imam Ahmad; beliau berpendapat bahwa orang tua boleh
mengambil harta anaknya sekehendaknya, baik ia butuh maupun tidak. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah.
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw,"Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta dan anak, sedang ayahku hendak
mengambil hartaku. " Beliau
bersabda, "Engkau dan hartamu itu bagi ayahmu."[HR. Ibnu Majah][19]
Anak-anak Kecil dan Tidak Mampu
Anak-anak
kecil wajib dan yang tidak mampu wajib diberi nafkah oleh orangtuanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt,
artinya:
“Dan
berilah mereka itu rejeki (nafkah), berilah mereka pakaian, dan ucapkanlah
kepada mereka ucapan-ucapan yang baik.”[al-Nisaa’:5]
Ketentuan
ini juga didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
“Seorang anak berkata, “Berilah aku makan
oleh yang memeliharaku.”[HR. Daruquthniy, dengan sanad shahih, dari
sebuah riwayat yang panjang]
Dalam
riwayat lain dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada seorang
laki-laki:
"Bersedekahlah! Lantas, seorang laki-laki berkata, "Aku
punya sedinar. Nabi saw
bersabda,"Belanjakanlah untuk dirimu sendiri!" Laki-laki itu berkata (lagi),"Aku punya
sedinar lagi." Nabi saw
bersabda,"Belanjakanlah untuk isterimu!
Laki-laki itu berkata lagi, "Aku masih mempunyai sedinar
lagi." Nabi saw bersabda,
"Belanjakanlah untuk anakmu".
Laki-laki itu berkata lagi, "Aku masih punya sedinar
lagi." Nabi saw berkata,"Sedekahkanlah kepada
pembantumu. Laki-laki itu berkata lagi,
"Aku masih mempunyai sedinar lagi.
Nabi saw menjawab, "Engkau lebih tahu."[HR Ahmad,
Nasaa'iy, dan Abu Dawud, akan tetapi, Imam Abu Dawud mendahulukan anak daripada
isteri]
Hadits ini ini merupakan hujjah yang nyata wajibnya seorang bapak memberikan nafkah
kepada anak-anaknya yang tidak mampu, jika mereka masih kecil. Menurut Imam Syaukani, sebagaimana
dituturkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, dalam Fath al-Baariy, ketentuan
semacam ini telah menjadi ijma'. Jika
anak-anak tersebut telah dewasa, maka kewajiban nafkah itu jatuh kepada ayahnya
saja, bukan ibunya.[20]
Namun
demikian, seorang anak yang telah tamyiz (baligh) diwajibkan untuk mengurusi
urusan hidupnya secara mandiri, termasuk dalam hal mencari nafkah. Sebab, ketika seseorang telah baligh, ia
wajib menjalankan seluruh taklif dari Allah swt, termasuk taklif untuk bekerja
untuk menafkahi dirinya sendiri.
Pembantu yang Menjadi Kewajiban Tuannya
Majikan
wajib memberi nafkah kepada pembantu yang menjadi tanggung jawabnya. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sabda
Rasulullah saw, artinya:
“Hamba
sahaya itu berhak untuk diberi makan dan pakaian dengan cara yang baik, dan
tidak boleh dibebani dengan suatu pekerjaan yang tidak layak untuk dilakukannya.”[HR.
Muslim]
Imam
Muslim juga meriwayatkan, bahwasanya 'Abdullah bin 'Amr pernah bertanya kepada
pelayannya,"Apakah budak-budak telah engkau beri makan? Ia menjawab, "Belum! 'Abdullah berkata, "Pergilah dan berilah
mereka makan, karena Rasulullah saw bersabda,"Cukup dipandang berdosa,
seseorang yang menahan makanan orang lain yang berhak memilikinya."[HR.
Muslim]
Imam
Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Mereka
itu (para budak) adalah saudara-saudaramu dan pekerja-pekerjamu yang dijadikan
Allah berada di bawah kekuasaanmu. Oleh
karena itu, siapa saja yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, maka
berilah ia makan sebagaimana apa yang ia makan dan berilah pakaian sebagaimana
yang ia kenakan dan janganlah mereka kamu beri beban dengan sesuatu yang mereka
tidak kuasa, tetapi jika mereka itu tetap kamu bebani, bantulah mereka atas
pekerjaan itu."[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Dari
Abu Hurairah diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Apabila
salah seorang di antara kamu dihidangi makanannya oleh khadamnya, maka jika ia tidak menyilakan khadamnya itu
duduk bersamanya, maka hendaklah ia memberinya sesuap atau dua suap, sepotong
makanan atau dua potong. Sebab, dialah
yang mengurus untuk memanaskannya dan memasukkannya."[HR. Jama'ah]
Dari
Anas ra dikisahkan, bahwasanya ia berkata:
"Sebagian
besar pesan Rasulullah saw tatkala hampir tiba ajalnya, yakni ketika beliau
dalam keadaan naza' adalah masalah sholat dan budak-budak yang kamu miliki."[HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah]
Binatang Peliharaan
Makanan
serta pemeliharaan binatang peliharaan menjadi tanggungjawab pemiliknya.
Ketetapan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
“Seorang
perempuan dimasukkan ke neraka karena kucing yang dikurungnya, sehingga
binatang itu mati kelaparan. Ia tidak
diberi makan juga tidak dilepaskan oleh wanita itu untuk memakan serangga.”[HR.
Nasaa’iy dan al-Daruquthniy]
Gugurnya Kewajiban Memberi Nafkah
Kewajiban mengeluarkan nafkah akan gugur bila memenuhi
syarat-syarat berikut ini;
a. Setiap isteri yang nusyuz (durhaka) dan tidak
mau digauli lagi oleh suaminya, maka suami tidak wajib memberikan nafkah
kepadanya. Sebab, pemberian nafkah
ditujukan untuk mengambil kenikmatan darinya.
Jika ia menghindarkan diri dari suaminya, maka hak nafkah isteri gugur.
b. Isteri yang ditalak raj’i namun habis masa ‘iddahnya. Sebab, dengan habisnya talak raj’iy maka
talaknya menjadi talak ba’in.
c.
Isteri yang dicerai dalam keadaan hamil
setelah ia melahirkan kandungannya.
Namun, jika isterinya itu menyusukan anaknya maka suami wajib memberikan
upah atas dirinya. Demikian juga jika
sang isteri menyusukannya kepada orang lain, maka suami juga wajib membayar
upah orang yang menyusui bayinya. Ini
didasarkan pada firman Allah swt, artinya,”
“..Jika sekiranya mereka menyusukan anakmu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya dan bermusyawarahlah diantara kamu dengan cara
yang baik.”[al-Thalaq:6]
d. Seorang anak yang miskin terhapus kewajibannya dalam
memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak mempunyai
kelebihan harta.
e. Anak-anak yang sudah dewasa atau anak perempuan yang sudah
menikah. Anak laki-laki yang sudah akil
baligh sudah harus mandiri, dan orang tua tidak lagi mempunyai kewajiban untuk
menafkahinya.
Syarat-syarat Menerima Nafkah
Seorang wanita wajib diberi nafkah bila syarat-syarat
berikut ini terpenuhi;
1. Ikatan perkawinannya sah.
2. Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
3. Suaminya dapat menikmati dirinya.
4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang
dikehendaki suaminya.
5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka wanita tidak berhak
mendapatkan nafkah dari suaminya.
Jika ikatan pernikahan laki-laki dan wanita tidak sah, secara
otomatis pernikahannya batal dan keduanya harus diceraikan untuk menghindarkan
keduanya dari bencana yang lebih besar.
Dalam kondisi seperti ini, maka wanita tidak berhak mendapatkan nafkah
dari seorang laki-laki. Sebab,
pernikahannya telah batal.
Bila isteri tidak mau menyerahkan diri kepada suaminya, atau suami
tidak bisa menikmati dirinya, dan isteri enggan untuk pindah ke tempat yang
dikehendakinya, maka dalam kondisi seperti ini tidak ada kewajiban nafkah
(belanja). Ini diqiyaskan dengan
pembeli yang tidak wajib membayar harga barang jika penjual tidak mau
menyerahkan barangnya, atau penjual hanya mau menyerahkan barangnya di suatu
tempat tertentu saja dan tidak mau menyerahkannya di tempat yang lain.
Jika isteri masih kecil dan belum bisa disenggamai, tetapi ia
telah berada di bawah naungan suaminya, maka menurut golongan Maliki dan
Syafi’iy maka tidak ada kewajiban nafkah.
Rasulullah saw menikahi ‘Aisyah dan baru mencampurinya setelah 2 tahun
kemudian. Beliau saw tidak memberi
nafkah kepada ‘Aisyah kecuali setelah beliau mencampurinya dan beliau tidak
memberi nafkah sebelumnya.
Ulama-ulama golongan Hanafiy berpendapat, jika isteri yang masih
kecil itu ditempatkan di rumah suaminya, untuk membantu menyesuaikan dirinya,
maka dalam kondisi seperti ini ia berhak mendapatkan nafkah. Akan tetapi, jika suami tidak menempatkan
isteri yang masih kecil itu di rumahnya, maka suami tidak wajib menafkahinya.
Bila isteri sakit keras yang menghalanginya untuk bergaul dengan
suaminya, maka ia tetap harus mendapatkan nafkah. Sebab, jika suami tidak memberikan nafkah
disaat isteri berada dalam kondisi seperti itu, dirinya bisa dianggap bertindak
dzalim, dan tidak mempergauli isterinya dengan cara yang baik.
Isteri tidak berhak mendapatkan nafkah jika ia pindah dari rumah
suaminya tanpa ijin. Isteri juga tidak
berhak menerima nafkah jika ia bepergian, atau melakukan ihram tanpa seijin
suaminya.
Isteri yang keluar rumah untuk bekerja, sementara itu suaminya
tidak mengijinkannya, namun sang isteri tetap tidak menghiraukan larangannya,
maka hak nafkahnya bisa gugur.
Isteri Islam Suami Kafir
Apabila
suami-isterinya dahulunya kafir, dan telah melakukan hubungan sex, kemudian
isterinya masuk Islam, sementara suaminya tidak, maka kewajiban nafkah tetap
tidak gugur.
Apabila
suami murtad padahal ia sudah pernah bercampur dengan isterinya, maka hak
nafkah isteri tetap tidak gugur. Akan
tetapi, bila isterinya yang murtad, maka hak nafkah atas dirinya telah gugur.
Pendapat Madzhab Dhahiri
Madzhab Dhahiri berpendapat bahwa ikatan perkawinan
merupakan satu-satunya sebab diberikannya nafkah kepada isteri. Nafkah tetap harus diberikan seorang suami,
meskipun isterinya nusyuz (membangkang).
Ibnu
Hazm berkata, “Suami berkewajiban menafkahi isterinya sejak terjalinnya
‘aqad pernikahan, baik isterinya mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri
masih dibuaian. Sama saja, apakah isteri
berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau miskin, masih mempunyai orang tua
atau yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak. Semuanya disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan suaminya.”[al-Muhalla, hal.10]
Kadar Nafkah yang Diwajibkan
Syari’at tidak menetapkan kadar nafkah tertentu yang harus
diberikan seorang suami kepada isterinya.
Untuk menentukan kadar nafkah yang harus diberikan suami kepada
isterinya didasarkan pada ketentuan ‘urf (kebiasaan) yang ada di daerah
tersebut; atau ditentukan oleh keputusan seorang qadliy. Yang penting, nafkah tersebut mampu
mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan dapat menyelamatkan kehidupannya. Misalnya, makanan dan minuman yang baik dan
cukup, pakaian yang dapat menutup aurat, menjaga dari panas dan dingin, serta
perumahan yang nyaman untuk ditinggali dan digunakan untuk istirahat.
Akan
tetapi yang menjadi perbedaan adalah ukuran baik dan buruk, nyaman dan tidak,
serta besar kecilnya nafkah secara kuantitatif.
Dalam masalah ini, yang menjadi standar cukup atau tidak, nyaman atau
tidak, serta besar kecilnya nafkah adalah kebiasaan (‘urf atau adat istiadat)
yang berlaku di daerah tersebut, atau ditetapkan berdasarkan keputusan seorang
qadliy.
Dalam
menentukan kadar nafkah ini berlaku kaedah ushul fiqh, “al-‘Adah Muhakkamah”
(adat istiadat adalah ketetapan hukum). Namun
demikian, penetapan kadar nafkah juga harus memperhatikan kemampuan suami.[21] Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman
Allah swt:
"Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rejekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan apa yang telah Allah berikan kepadanya."
Peran Negara Dalam Menjamin Nafkah
Rakyatnya
Pada dasarnya, tatkala seseorang tidak mampu memberikan
nafkah kepada keluarganya, atau ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri, maka
kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga dan dirinya beralih kepada walinya. Namun, apabila wali dan keluarga terdekatnya
tidak lagi mampu menjamin nafkahnya, maka kewajiban itu beralih kepada
negara. Seandainya kas negara tidak
mampu menutupi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka kewajiban itu beralih kepada
seluruh kaum muslim. Sebab, kaum muslim
satu dengan yang lain adalah saudara dan wajib membantu saudaranya yang
lain. Adapun teknis pelaksanaannya
bisa dilakukan dengan cara penarikan pajak oleh negara dari orang-orang yang mampu saja. Dari pajak inilah, negara menutupi
kebutuhan-kebutuhan rakyat yang membutuhkan. Pajak hanya akan dipungut oleh
negara, ketika negara tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan mendesak dari
rakyatnya, dan hanya boleh ditarik dari kalangan yang mampu saja[22].
Larangan Menelantarkan Orang Yang Wajib
Dinafkahi
Seorang muslim dilarang menelantarkan, atau tidak memberi
nafkah pihak-pihak yang berada di bawah tanggungjawabnya. Dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh
'Abdullah bin 'Umar dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا
أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
" Cukuplah orang itu
berdosa bila tidak mempedulikan orang yang mesti ia beri makan."[HR. Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan al-Nasaa'iy] Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Menahan
dari orang yang mesti diberi makan."[HR. Muslim]
Al-Sanadiy menyatakan, "Pihak
yang wajib dinafkahi adalah anak dan isteri, keluarga, maupun
pembantunya." Al-Khathabiy
berkata, "Yang dimaksud oleh hadits ini adalah orang yang wajib
memperoleh nafkah." [23]
[21] Imam al-Syaukani, Nail
al-Authar, juz 4/ 122. Penetapan
kadar berdasarkan kemampuan suami dipegang oleh Ahli Bait, Madzhab Syafi'iyyah,
sebagian besar Hanafiyyah, dan Imam Malik.
Posting Komentar