Headlines News :

INFO HAJI

More on this category »

JUAL BELI ONLINE TERPERCAYA :

Universitas Batam

More on this category »

Catatan Kesederhanaan

More on this category »

Catatan Inspirasi Fahmi Amhar

More on this category »

Info Internasional

More on this category »

Kampus Bermutu Yang Sesungguhnya

Gambar mungkin berisi: luar ruangan
Oleh:
(Dr. Fahmi Amhar)

Candrahernawan.com- #Ketika sejumlah dosen dan ulama dari Indonesia diajak jalan-jalan berkunjung ke campus Standford University di Amerika Serikat, mereka tercengang melihat di ruang kelas itu tetap digunakan papan tulis biasa dengan kapur, bukan white-board, spidol dan LCD. Mereka menganggap sekolah-sekolah di Indonesia ternyata lebih maju.

#Apa yang terjadi ini menunjukkan taraf berpikir saat ini dari para intelektual kita, yang terwakili sejumlah dosen dan ulama. Indikator kemajuan diukur dari fasilitas fisik yang dimiliki, bukan dari karya yang orisinil (genuine) dan kemampuan yang berkelanjutan dalam membentuk SDM. Karena itu mereka tidak melihat berapa publikasi ilmiah, paten teknologi atau pemenang hadiah Nobel sains dari Standford University itu.

#Sebenarnyalah, kualitas suatu perguruan tinggi utamanya ditentukan oleh tiga hal: kualitas riset (diukur dari karya tulis ilmiah & paten), kualitas belajar-mengajar (diukur dari kompetisi calon maba, rasio alumni per mahasiswa), dan kualitas pengabdian masyarakat (diukur dari kiprah kampus dalam melayani pelbagai issu terkini, baik di pemerintahan, dunia usaha maupun khalayak ramai).

#Banyak kampus yang memiliki gedung dan fasilitas megah, namun ternyata nyaris tak memiliki aktivitas riset. Hal ini karena mayoritas dosennya memiliki aktivitas utama di luar kampus, sehingga hanya hadir saat mengajar, tak ada aktivitas riset. Sementara itu dosen tetap yang sehari-hari berada di kampus, kewalahan menghadapi mahasiswa yang sangat banyak. Selain itu, dosen-dosen tetap ini juga sulit mendapatkan peringkat yang lumayan, jika mereka rata-rata cuma S2, sebagian bahkan belum sempat mengurus jabatan fungsional akademiknya.

##Seperti apa kualitas universitas di dunia Islam masa lalu?

#Pada masa itu, perguruan tinggi terbaik di dunia ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Kairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya di Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi Byzantium. Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Universitas Konstantinopel didirikan tahun 849 M, meniru Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

#Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Kairo.

#Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di masjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.

#Universitas kedua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum Islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika. Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.

#Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh Bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti. Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun! Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.

#Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum Muslimin di Andalusia, Al Azhar menjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual Muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

#Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat. Wakafnya pun tak main-main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.

#Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H/1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar dan para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri atas sembilan syeikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum Muslimin di bawah pimpinan Syeikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah. Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.

#Karena itu, jika ingat jargon “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat. Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas. Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, keshalihan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

#Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam. Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM). Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam. Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana. Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.

#Namun kita tetap optimis. Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan. Jadi kita optimis, bahwa suatu hari nanti, seluruh kampus akan berubah semakin islamis, menghasilkan alumni yang memiliki kompetensi lengkap, baik secara material, intelektual, emosional maupun spiritual. Inilah kampus bermutu yang sesungguhnya.

Anak-anak Generasi Emas

Anak-anak Generasi Emas

(Dr Fahmi Amhar)
Ilustrasi anak-anak Musa bin Syakir, yang semua menjadi ilmuwan cemerlang pada sebuah perangko Suriah.

Ilustrasi anak-anak Musa bin Syakir, yang semua menjadi ilmuwan cemerlang pada sebuah perangko Suriah.

Candrahernawan.com - Para ahli kependudukan mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan “bonus demografi” pada tahun 2025.  Itu tatkala jumlah penduduk usia produktif pada posisi optimum, dibandingkan jumlah lansia atau anak-anak.  Tentu saja, bonus tersebut hanya dapat diraih jika mereka yang saat ini masih usia anak-anak itu dapat diformat menjadi generasi emas, generasi yang bertakwa, sehat, cerdas, gemar bekerja keras dan dapat bersinergi.

Dulu khilafah Islam dalam kurun waktu yang tidak sampai satu generasi telah menjadi produsen generasi emas yang kemudian berjaya berabad-abad.  Pertanyaannya, bagaimana cara orang tua di masa itu mempersiapkan generasi-generasi cemerlang? Lalu kalau kita refleksikan, seberapa besar peran orang tua di masa kini bisa memberikan suri teladan bagi anak-anaknya baik secara akhlak, moral, minat hingga kecondongan anak-anak untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki? Bagaimana Islam memberikan peranan serta arahan bagi para keluarga khususnya di bidang sains mengingat saat ini banyak event-event internasional di bidang sains yang dimenangi oleh tim dari Indonesia, namun ironisnya, hampir sebagian besar, didominasi oleh kalangan non-Muslim.

Di semua peradaban yang masih sederhana, keluarga selalu jadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.  Maka kualitas orang tua sangat berpengaruh pada kualitas anak-anak tersebut.  Mereka yang hidup dengan berburu, pasti mengajari anak-anaknya bagaimana hidup di hutan, mencari hewan buruan, menjebak atau menjinakkannya.  Mereka yang hidup dengan bertani, pasti mengajari anak-anaknya bagaimana bercocok tanam, menemukan tanah yang sesuai tanamannya, kapan saat yang tepat untuk memupuk, menyingkirkan gulma hingga memanen.  Dan mereka yang hidup dengan berdagang, pasti sejak dini mengajak anak-anaknya mengenal bisnis.

Pendidikan seperti itu tetap diteruskan di zaman Nabi.  Namun Nabi menambahkannya dengan dua hal:

Pertama, menambahkan bahwa manusia diberi peran lebih oleh Allah, yaitu untuk beribadah dan untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam.  Ini suatu misi manusia di dunia yang tidak begitu saja muncul secara naluriah, dan harus diajarkan.  Maka generasi sahabat mulai menanamkan kesadaran misi Islam itu pada anak-anaknya.

Kedua, menanamkan bahwa umat Islam harus menjadi umat terbaik di tengah manusia.  Maka mereka harus menjadi manusia-manusia pembelajar.  Maka Rasul juga membuka dunia belajar seluas-luasnya, meminta tawanan Perang Badar mengajar anak-anak Muslim tulis-baca, menyuruh beberapa sahabat belajar bahasa asing, bahkan mengirimkannya ke Barat dan ke Timur, hingga sampai ke Cina.

Orang-orang tua pada masa itu berusaha keras mengikuti pendidikan cara Nabi tersebut.  Mereka yang menyadari dirinya memiliki keterbatasan, menitipkan anak-anaknya ke para sahabat yang terdekat dengan Nabi, atau bahkan ke Nabi sendiri, seperti misalnya terjadi pada Anas bin Malik yang dititipkan orang tuanya agar mengabdi pada Nabi, sekaligus belajar banyak hal tentang kehidupan.

Hal ini berlanjut terus di masa khilafah selanjutnya.  Orang-orang tua yang sangat peduli pendidikan, membawa anaknya untuk nyantri di kalangan para ulama dan ilmuwan.  Ada yang diserahkan Imam Malik, dan akhirnya juga menjadi imam seperti Imam Syafi’i.  Dan ada yang menjadi santri dari astronom Yahya bin Abi Mansur, seperti tiga anak yatim dari Musa bin Syakir.  Tiga anak yatim yang dikenal dengan Banu Musa ini kemudian menjadi ilmuwan-ilmuwan hebat di bidang astronomi, matematika dan mekanika.

Oleh orang tuanya, anak-anak cemerlang itu dibiasakan sejak kecil hidup dalam suasana shalih, jujur, selalu memilih yang halal, juga gemar bekerja keras dan menghargai ilmu.  Syafi’i kecil atau Ibnu Sina, dan ribuan ulama dan ilmuwan lainnya, sudah hafal Alquran  sebelum usia 10 tahun.

Didikan orang tua itu menambah efektif suasana lingkungan yang dibentuk oleh Negara Khilafah.  Negara bertanggung jawab agar “noise” atau gangguan yang muncul di luar rumah ada di titik minimum.  Tidak ada perzinaan atau pornografi, tidak ada miras dan narkoba, juga tidak ada aktivitas-aktivitas sia-sia lainnya.  Lingkungan yang ada adalah suasana ilmu, kerja keras, dakwah dan jihad.

Di rumah tentu saja orang tua menghadapi tantangan bahwa mereka harus jadi contoh yang baik, terutama masalah integritas.  Umar bin Khattab pernah tersentuh ketika mendengar seorang anak gadis yang tidak mau mengikuti perintah ibunya untuk mencampur susu dengan air.  Ibunya, sang penjual susu mengatakan, toh Khalifah tidak tahu.  Tetapi anaknya membantah, sekalipun Khalifah tidak tahu, tetapi Allah tahu.  Umar segera menyuruh Ashim putranya melamar anak gadis itu.  Atsar ini menunjukkan, bahwa sekalipun orang tua kadang tergoda untuk bermaksiat, tetapi suasana umum yang shalih pada waktu itu, bisa membuat seorang anak tetap shalih.

Kapan peradaban Islam mencapai zaman keemasannya memang tergantung ukuran yang kita pakai.  Kalau ukurannya adalah jumlah muttaqin atau mujahidin per kapita, mungkin zaman paling emas adalah zaman Rasul.  Tetapi kalau ukurannya adalah luasnya kekuasaan, kuatnya pengaruh dan banyaknya karya ilmu, teknologi dan seni, maka itu tercapai di abad-2 H, atau di abad pertama dinasti Abbasiyah.  Pada saat itulah kombinasi dan sinergi antara hasil dakwah dan jihad selama abad pertama, stabilitas politik dan keamanan, pembangunan fasilitas pendidikan oleh negara, wakaf para aghniya di bidang ilmiah dan tentu saja ketekunan para keluarga untuk memberikan bibit terbaik yang akan memasuki majelis ilmu, sangat berperan di dalamnya.

Metode terbaik dalam membuat orang tua memberikan perhatian besar pada anak-anaknya adalah menanamkan kesadaran bahwa mereka sedang membentuk calon pemimpin masa depan, generasi penakluk Konstantinopel dan Roma yang dirindukan Rasulullah sebagai orang-orang terbaik yang tidak pernah dilihat para sahabat.

Orang-orang tua Muslim di masa itu, dan juga negara khilafah di masa itu tidak mendikotomikan antara ilmu agama dengan sains.  Jelas bahwa ada hal-hal mendasar yang harus ditanamkan pada setiap anak sejak dini, seperti pengetahuan dasar keislaman dan menghafalkan alquran, minat terus belajar, juga ketrampilan fisik seperti berenang, berkuda dan memanah.  Tetapi sejak menjelang mereka baligh, mereka sudah dapat menekuni berbagai jenis ilmu sesuai minatnya.  Maka kita lihat, sebagan besar intelektual di masa itu adalah polymath, yakni mereka yang menguasai minimal tiga bidang ilmu secara mendalam, misalnya ilmu syariah, ilmu sejarah dan matematika, atau bahkan juga ditambah geografi, kedokteran dan astronomi.

Karena itu, cara terbaik agar agar anak dan orang tua sepakat menggapai kesuksesan di bidang sains, lalu juga mau ikut berkompetisi di tingkat dunia, adalah menanamkan kesadaran, bahwa setiap Muslim adalah bagian dari umat terbaik (khairu ummah), dan itu diperlukan agar dia dapat efektif melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar (QS. Ali Imran : 110).

Allah sebenarnya mendistribusikan kecerdasan itu merata di seluruh anak-anak yang lahir di muka bumi.  Hanya saja tidak semua beruntung mendapatkan mentor.  Sama seperti ketika Rasul mengatakan, “semua anak lahir dalam keadaan suci, orang tuanya yang menjadikan mereka yahudi, Nasrani atau Majusi”.  Maka juga “semua anak lahir dalam keadaan cerdas, kritis dan kreatif, orang tuanyalah yang menjadikan mereka bego, tumpul, dan suka mencontek”.

Kita tentu berharap, bahwa dengan terlibat dalam dakwah ideologis, kita memiliki energi spiritual untuk berbuat lebih terhadap anak-anak kita, sehingga mereka menjadi shaleh, dan juga menjadi generasi emas yang unggul dalam teknologi.  Islam tanpa teknologi akan terjajah.  Teknologi tanpa Islam akan menjajah.  Dan Islam yang menginspirasi dan memandu teknologi, akan membebaskan manusia dari penjajahan.

ISLAM DAN PERBUATAN MUSLIM

PERBEDAAN YANG SANGAT BESAR ANTARA ISLAM
DAN PERBUATAN MUSLIM DALAM KEHIDUPAN NYATA

Pertanyaan:

Jika Islam adalah agama yang paling baik, mengapa banyak umat Islam yang tidak jujur, tidak dapat dipercaya, dan terlibat dalam aktivitas seperti penipuan, suap, dan yang berhubungan dengan obat-obat terlarang dan sebagainya?

Jawaban:

1) Fitnah media terhadap Islam

a. Islam adalah agama yang paling baik dan tanpa keraguan di dalamnya, namun media
berada dalam genggaman barat yang takut terhadap Islam. Media secara kontinyu menyiarkan dan mencetak informasi yang melawan Islam. Mereka memberikan informasi yang keliru tentang Islam, keliru mengutip Islam atau membuat proyek dengan proporsi yang berlebihan. Jika ada ledakan bom terjadi di manapun, orang pertama yang dituduh tanpa adanya bukti adalah selalu orang Muslim. Berita ini menjadi topik utama di surat kabar. Ketika kemudian hari diketahui bahwa orang yang bertanggung jawab terhadap ledakan bom itu adalah orang non -Muslim, berita
itu tidak lagi signifikan.

b. Jika seorang Muslim berumur 50 tahun menikahi seorang gadis berumur 15 tahun meski setelah meminta persetujuannya, berita itu akan dipampang di halaman depan, tapi jika seorang non-Muslim memperkosa seorang gadis berumur 6 tahun, maka pemberitaan tentang hal itu hanya muncul di bagian kecil sambil lalu di dalam surat kabar. Setiap hari, kira-kira 2.713 kasus perkosaan terjadi namun hal itu tidak muncul dalam pemberitaan sebab hal itu sudah menjadi budaya/ hal yang wajar bagi orang Amerika.

2) Adanya oknum di setiap komunitas

Saya menyadari bahwa ada beberapa umat Muslim yang tidak jujur, tidak dapat dipercaya, penipu dan lain sebagainya, tapi media menampilkan seolah-olah hanya umat Muslim yang berlaku demikian. Ada oknum dalam setiap komunitas. Namun sayang sekali karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

3) Jangan menilai sebuah mobil dari pengendaranya

Jika Anda ingin menilai seberapa bagus model terbaru mobil "Mercedes" dan seseorang yang
tidak tahu bagaimana caranya mengendarai mobil duduk di kursi pengemudi dan membenturkan mobil tersebut, siapa yang akan dipersalahkan? Mobilnya atau pengendaranya? Otomatis, tentu yang salah adalah pengendaranya. Untuk menganalisa seberapa bagus sebuah mobil, seseorang seharusnya tidak melihat kepada pengendara tapi melihat kemampuan dan fitur-fitur mobil tersebut. Seberapa cepat mobil itu, berapa rata-rata konsumsi bahan bakarnya, bagaimana ukuran
keamanannya dan lain sebagainya.

Meskipun saya setuju bahwa ada beberapa oknum Muslim yang berperilaku tidak terpuji, namun kita tidak bisa menilai Islam hanya dari pengikutnya. Jika kita ingin menilai seberapa bagus Islam, maka penilaian sebaiknya berdasarkan sumber otentiknya, yaitu kitab suci Al Qur'an dan Hadist yang shahih.

5) Menilai Islam melalui penganut terbaiknya, yaitu nabi Muhammad SAW

Jika Anda ingin mengecek seberapa bagus sebuah mobil, maka lihatlah dari pengendara yang mahir di balik kursi pengemudi. Dalam Islam, penganut yang paling bagus dan yang menjadi contoh dari penganut Islam yang lain adalah Nabi Muhammad SAW, utusan terakhir dan nabi akhir zaman. Dari beliau lah kita bisa mengecek seberapa bagus Islam itu. Selain umat Muslim, ada beberapa sejarawan yang secara jujur menyatakan bahwa nabi Muhammad SAW adalah manusia terbaik. Adalah Michael H. Hart, yang menulis buku "Seratus orang paling berpengaruh
di dunia", pada posisi teratas adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut juga
diceritakan mengenai beberapa tokoh non-Muslim yang memberi penghormatan dan penghargaan besar terhadap nabi Muhammad, seperti Thomas Carlyle, La-Martine dan lain-lain....

Wallahualam.....

#Allahuakbar...

#Al Fakir.. Candra Hernawa Sarpin

Renungan Idul Fitri : Antara Ketulusan, Tradisi dan Basa-Basi

 
Duhai hati…
Kurendam engkau di air kelapangan jiwa
Kukerik kerak yang mulai mengeras
Kucuci hingga suci tak bernoda
Kujemur di bawah cahaya Ilahi

Duhai hati…
Itulah hasratku
Itulah kehendakku
Itulah ‘azam­-ku
Itulah visi dan misiku

Duhai hati…
Tapi diri ini lebih senang menunda
Semua jadi teori dan omong kosong belaka
Cuma desain tanpa implementasi nyata
Hebat kata-kata namun hampa adanya

Setiap kita tentu tulus saat menulis maupun mengucapkan permohonan maaf kala Idul Fitri tiba.

Setiap kita tentu tulus saat melafalkan kalimat pemberian maaf kepada orang yang mengharap maaf kita kala Idul Fitri datang.

Pertanyaannya adalah :
  • Ketika meminta maaf kepada seseorang, pernahkah kita—di dalam hati—menyebut apa saja kesalahan kita kepadanya? Ataukah kita hanya mengikuti sebagaimana lazimnya, yaitu dengan mengucap “Mohon dimaafkan atas segala kesalahan, baik disengaja maupun tidak”? Padahal kita sendiri tidak tahu (atau bahkan tidak mau tahu) kesalahan apa yang telah kita perbuat?
  • Misal kita khilaf telah meng-copas tulisan orang lain tapi tidak mencantumkan nama atau alamat web/blog orang tersebut.

    Maukah dengan jujur kita segera mencantumkan namanya, lalu secepatnya memohon keikhlasan darinya?

    Ataukah dengan egoisme tinggi kita enggan melakukannya karena para pengunjung blog telah mengira bahwa artikel tersebut tulisan kita, dan bila kita revisi, ada kekuatiran harga diri akan jatuh?
  • Apakah pemberian maaf kita hanya berlaku untuk orang yang secara langsung memohon maaf kepada kita?

    Bagaimana bila ada orang yang bersalah kepada kita tapi tidak minta maaf? Akankah kita juga memaafkannya? Apakah di hari nan fitri kita berniat memaafkan semua orang, baik yang menghaturkan kata maaf maupun tidak?

    Ataukah kita hendak berkata, “Kalau dia ngga minta maaf terlebih dahulu, aku ngga sudi memaafkannya. Jangankan memberi maaf, melihat mukanya saja aku tak mau!”
  • Apabila kita murid/mahasiswa, setelah bermaaf-maafan dengan guru/dosen, apa di bulan-bulan berikutnya kita masih mengulangi kebiasaan kita, yaitu membicarakan (ngrasani) guru/dosen kala berkumpul (kongkow/cangkruk) bareng teman-teman?
  • Kalau kita guru/dosen/ustadz, sesudah saling meminta dan memberi maaf kepada siswa/mahasiswa/santri, masihkah kita bersikap merasa diri lebih tua, lebih pengalaman dan lebih-lebih lainnya sehingga tidak boleh ada satu siswa/mahasiswa/santri pun mendebat atau membantah kita? Masihkah kita berprinsip “kalah–menang nyérék”(apa pun yang terjadi—walaupun kita salah—keputusan dan kekuasaan berada di tangan kita sehingga kita senantiasa menang)?
  • Jika kita atasan, setelah lebaran, apakah kita benar-benar memperbaiki kualitas kepemimpinan sehingga kesalahan yang telah lalu tak terulang lagi? Begitu pula sebagai karyawan, apakah kita sungguh-sungguh meningkatkan kinerja sebagai bukti tulus permintaan maaf kita kepada atasan?
  • Bila kita pejabat, apakah permintaan dan pemberian maaf kepada rakyat akan membuahkan kejujuran yang senantiasa mengalir bersama aliran darah dan menyatu dalam diri sehingga tak kan pernah ada kamus membohongi publik, korupsi dan sejenisnya di benak kita?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tulus” bermakna sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas. Adapun ketulusan berarti kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran.

Berdasarkan Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab serta software Kamus Al-Mufid versi 1.0, terjemah kata “tulus” dalam bahasa Arab adalah ikhlâs(إخلاص).

” ikhlas berarti semua hal dilakukan semata-mata untuk dan karena Allah, apa pun sikap/perlakuan orang terhadap kita.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An‘âm [6] : 162)

Dari uraian di atas, bukankah wajar bahkan sebuah keharusan bila kita bertanya kepada diri sendiri, “Tuluskah saya ketika meminta dan memberi maaf? Jika memang tulus, apa buktinya?”

Mari kita lihat diri sendiri, tak perlu repot-repot menilai orang lain. Bukankah orang terdekat adalah diri sendiri? Bukankah semakin dekat seharusnya semakin mengerti betul kekurangan/kesalahan yang ada? Anehnya, justru karena sangat dekat itulah sehingga kita kesulitan bahkan tak dapat melihat kekurangan diri sendiri.
:)
 
Al-Fakir... CandraHernawanSarpin
 
#SALAMSB5PLUS
#SUNGAILANGKAIBERSIHBEBASBANJIRDANBERAKHLAKBAIKPLUSBERJIWAWIRAUSAHA

Pegadaian Dalam Islam

dv117033
Candrahernawan.com - Secara harfiah, dalam bahasa Arab, pegadaian disebut rahn, dengan konotasi tsubut [tetap], dan dawam [kekal]. Juga bisa diartikan habs [ditahan]. Dalam al-Qur’an, istilah dengan konotasi tersebut digunakan:

“Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang telah dikerjakannya.” [TQS at-Thur: 21]
Dalam nash lain, Allah menyatakan: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang dikerjakannya.” [TQS al-Mudatstsir: 38]
Kata rahn, dan rahinah di dalam kedua nash di atas, mempunyai konotasi terikat, atau tidak bisa dilepaskan. Inilah konotasi rahn, secara harfiah.
Sedangkan secara syar’i, rahn adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan utang, agar harga dari harta tersebut bisa digunakan untuk membayar utang, jika pengutangnya tidak mampu membayarnya. Rahn, dengan konotasi seperti ini diperbolehkan oleh syariah. Dasarnya adalah al-Kitab dan as-Sunah. Allah SWT berfirman:
“Jika kalian dalam bepergian [dan bertransaksi tidak secara tunai], sementara kalian tidak mempunyai seorang pencatat, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” [TQS al-Baqarah: 283]
Nabi SAW sendiri melakukannya, bahkan saat baginda SAW wafat, baju besi baginda masih menjadi agunan di tangan seorang Yahudi. Karena itu, hukum rahn, jelas boleh, baik berdasarkan Alquran maupun Sunnah.
Melakukan transaksi seperti juga diperbolehkan, baik ketika sedang bepergian, maupun tidak. Meski nash Alquran di atas menyatakan dalam konteks bepergian, tetapi tidak berarti hanya diperbolehkan saat bepergian. Karena Nabi SAW telah melakukan itu saat di Madinah, dan tidak sedang berada dalam perjalanan.
Dalam konteks ini, ada rahin [orang yang menggadaikan], murtahin [orang yang menerima agunan/jaminan], serta marhun [barang agunan/jaminan]. Barang yang diagunkan tersebut boleh dipegang oleh murtahin, jika memang bisa dipindahkan. Jika tidak, seperti rumah, tanah, atau barang-barang tidak bergerak lainnya, maka pihak rahin harus menghilangkan apapun yang menjadi penghalang antara marhun dengan murtahin.
Barang yang dijadikan agunan boleh dalam bentuk apapun, selama barang tersebut bisa dijual. Jika tidak, maka barang tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Begitu juga, apapun barang yang boleh dijual, boleh dijadikan agunan. Sebaliknya, barang-barang yang haram dijual tidak boleh dijadikan agunan. Seperti babi, khamer, narkoba, harta wakaf, barang yang sedang digadaikan, dan lain-lain. Semuanya ini termasuk barang yang tidak boleh dijual.
Hanya saja, meski barang-barang agunan tersebut dipegang oleh murtahin, tidak berarti barang-barang agunan tersebut boleh dimanfaatkan sesukanya. Bahkan, sekalipun diizinkan oleh pemiliknya. Karena boleh dan tidaknya memanfaatkan barang agunan tersebut dikembalikan pada status utangnya. Apakah utangnya dalam bentuk dayn, atau qardh.
Jika utangnya dalam bentuk qardh, yaitu utang yang sudah jelas jumlah, nilai dan jenisnya, seperti uang dengan jumlah, nilai dan jenis tertentu, yang harus dikembalikan sama persis. Tidak boleh lebih. Jika ada kelebihan, berarti riba. Karena itu, status pemanfaatan guna barang agunan tersebut termasuk riba. Karenanya tidak boleh.
Namun, jika utangnya dalam bentuk dayn, yaitu utang dalam bentuk barang, dengan nilai tertentu, tetapi jenis dan jumlahnya tidak ada padanannya, seperti seekor kambing, yang bisa dikembalikan dengan berat yang lebih. Dalam konteks ini, maka guna barang agunan yang dipegang murtahin boleh dimanfaatkan. Karena kelebihannya tidak bisa disebut riba, sebab kelebihannya tidak bersifat tetap. [] HAR
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 184

Krisis Mata Uang India

500 rupee india
Candrahernawan.com - Awal pekan ini, Presiden India Nerendra Mohdi melarang beredarnya uang pecahan rupee yang bernilai Rs 500 dan Rs 1000 untuk memerangi korupsi di pasar gelap yang berkembang India. Keputusan mendadak untuk menghapus pecahan mata uang bernilai tinggi dari peredaran itu telah membuat  publik marah. Kebanyakan orang menyimpan uang tunai dan tidak menyimpannya dalam rekening bank, terlebih lagi, karena larangan tersebut dikenakan pada rupee yang bernilai lebih tinggi, sehingga menjadi sangat sulit bagi orang miskin untuk mendapatkan pecahan mata uang mereka untuk dapat membeli barang-barang dan mendapatkan pelayanan dasar.

Hal ini telah menyebabkan antrian yang panjang dan melelahkan hingga ke luar bank. Banyak orang saat ini yang marah dengan keputusan yang dibuat dengan benar-benar tidak ada persetujuan, dan meskipun mungkin  tujuannya untuk memerangi korupsi, namun menimbulkan penderita kepada orang miskin di India.
Sebagaimana diberitakan media, ribuan orang mengular di ATM di seluruh India pada hari Selasa. Orang-orang bahkan mengantri sejak jam 4.30 untuk menghindari antrian di ATM tetapi tetap tidak mendapatkan uang tunai.
Para pengendara taxi atau angkutan umum lain mengeluh kehilangan penumpang karena tidak adanya penumpang, karena orang-orang menahan untuk berpergian karena kekurangan uang tunai.

Namun, saat uang tunai di ATM mengering, anak-anak kecil di banyak rumah telah menjadi penyelamat bagi keluarga berkat celengan mereka.
Meskipun nanti akan ada uang pecahan baru yang lebih tinggi nilainya, selain fitur keamanan yang dimiliki pecahan mata uang sebelumnya lebih baik, jelas bahwa korupsi yang terkenal di India adalah masalah sistemik, yang pasti tidak bisa diselesaikan dengan bermain-main dalam hal moneter dan fiskal. (rizaaulia)
Sumber :
The Hindu Times & Khilafah.com

Rezim Demokrasi Tunduk di Bawah Korporasi

Hasil gambar untuk pemerintah dan KorporasiCandrahernawan.com - Kekuatan politik korporasi di negara ini memang tak bisa dianggap remeh dalam mempengaruhi pemerintah dan kebijakannya. Dengan kekuatan modal mereka, mereka mampu untuk mempengaruhi publik dan Pemerintah lewat media yang mereka kuasai, konsultan yang mereka bayar, lembaga sosial dan politik yang mereka danai, kekuatan lobi dan dukungan finansial kepada partai politik dan tokoh politik hingga menggalang dukungan di tataran global. Akibatnya, mereka pun tidak terlalu sulit untuk membuat Pemerintah tunduk pada kepentingan mereka, apalagi jika pemerintahnya memang sosok yang mudah terbeli. Inilah yang belakangan ini terjadi secara terbuka di negara ini. Rezim tunduk kepada para pemilik modal.

Relaksasi Ekspor MineralBentuk ketundukan Pemerintah pada kepentingan korporasi raksasa dapat dilihat dari sikap inkonsisten Pemerintah dalam menjalankan UU Minerba tahun 2009. Belum lama ini, Pemerintah melalui Menteri Kooridinator Maritim Luhut B. Panjaitan menyampaikan bahwa Pemerintah kembali akan memperpanjang perpanjangan izin ekspor konsentrat mineral yang akan berakhir pada 2017 yang akan datang. Jika Pemerintah jadi merevisi peraturan tersebut, tepatnya PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, maka revisi tersebut merupakan yang keempat kalinya sejak aturan tersebut dibuat.
Padahal selama ini relaksasi ekspor sejatinya bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Pada UU tersebut pelaku usaha diwajibkan untuk melakukan pemurnian empat tahun sejak aturan diundangkan maksimal pada Januari 2014. Jika tidak, izin ekspor mereka dicabut. Namun demikian, sejak tenggat tersebut berakhir, Pemerintah tetap memberikan kelonggaran kepada sejumlah perusahaan tambang seperti PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara untuk terus melakukan ekspor dengan cara merevisi peraturan turunan dari UU tersebut. Padahal perusahaan asal AS itu hingga saat ini belum membangun smelter dan belum menyetorkan uang jaminan kepada Pemerintah bahwa perusahaan itu berkomitmen membangun smelter.
Jika ditelusuri, kebijakan Pemerintah tersebut sangat terkait dengan nasib beberapa perusahan tambang raksasa di negeri ini seperti PT Freeport dan PT Newmont Minahasa. Hingga saat ini, Freeport belum mendapat jaminan secara pasti dari Pemerintah mengenai kelanjutan izin investasi yang akan berakhir tahun 2021. Perusahaan itu tidak ingin investasinya untuk membangun smelter menjadi sia-sia jika izinnya tidak diperpanjang. Di sisi lain, pendapatan perusahan itu sangat bergantung pada penjualan ekspor.
Alasan bahwa rencana relaksasi itu karena pembangunan smelter belum siap juga tidak tepat. Pasalnya, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) jelas-jelas menolak rencana tersebut. Selama ini mereka telah berinvestasi membangun smelter karena mengikuti regulasi yang dibuat Pemerintah untuk mendorong pemurnian di dalam negeri. Jika aturan tersebut kembali dilonggarkan maka investasi mereka terancam merugi. Lebih dari itu, sejak Pemerintah mengultimatum pemberlakukan batas akhir izin ekspor tahun 2014, banyak perusahaan tambang kecil yang terpaksa tutup. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, pada awal 2014, lebih dari 1500 karyawan tambang di-PHK karena perusahaan ditutup akibat tidak sanggup untuk membangun smelter.
Tax Amnesty untuk Pengemplang Pajak
Kebijakan lain yang menunjukkan ketundukan Pemerintah pada konglomerat dan korporasi adalah pemberlakuan UU Tax Amnesty. Di bawah UU itu, orang-orang yang mengemplang pajak dibebaskan dari jerat hukum asal mereka membayar uang tebusan yang nilainya relatif kecil. Padahal jika merujuk pada UU Ketentuan Umum Perpajakan, orang atau korporasi yang dengan sengaja melakukan pengemplangan pajak dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Namun demikian, dengan UU tersebut Pemerintah justru memperlakukan para pengemplang pajak khususnya para taipan kelas atas seperti pahlawan negara. Aneka upaya dilakukan mulai dari road showke beberapa kota besar, termasuk Singapura dan Hong Kong untuk membujuk pengusaha WNI, untuk ikut program tersebut, hingga menjamu sejumlah taipan papan atas di Istana Negara, termasuk Aguan yang sempat dicekal karena tersangkut kasus penyuapan terkait reklamasi pantai Jakarta. Sikap Pemerintah yang proaktif ini seolah-olah menjadi peminta-minta di hadapan para pengusaha tersebut. Padahal tidak dapat disangkal, banyak dari dana yang disembunyikan itu berasal dari hasil kegiatan yang ilegal seperti korupsi dana BLBI, hasil penangkapan ikan ilegal, pertambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar.
Kebijakan tersebut jelas tidak adil bagi mereka yang selama ini rajin membayar pajak. Sikap kooperatif Pemerintah terhadap para pengemplang pajak tersebut juga kontradiktif dengan berbagai pungutan yang dibebankan Pemerintah kepada rakyat umum seperti keharusan membayar Pertambahan Nilai (PPN) dalam setiap transaksi mereka, pembayaran iuran BPJS Kesehatan dan iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi para para karyawan formal serta berbagai retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah.

Reklamasi Pantai Jakarta
Ketundukan Pemerintah pada kepentingan korporasi juga tampak pada inkonsistensi Pemerintah terkait legalitas kegiatan reklamasi pantai Jakarta. Meskipun telah berjalan selama beberapa tahun, kajian mengenai proses reklamasi Teluk Jakarta baru berlangsung pada saat Kementerian Maritim dijabat oleh Rizal Ramli. Hasilnya, kegiatan reklamasi yang melibatkan korporasi properti papan atas itu bermasalah dari berbagai aspek; termasuk dalam masalah hukum, lingkungan hidup dan kesejahteraan warga pesisir. Oleh karena itu, kegiatan reklamasi harus dihentikan khususnya untuk Pulau G. Pengadilan Tata Usaha Negara pun telah membatalkan izin yang dikeluarkan Pemda DKI kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro.
Hanya saja, tidak lama setelah rekomendasi itu dikeluarkan, Rizal Ramli didepak dari Kabinet. Tak lama setelah dilantik, Menteri Koordinator Maritim yang baru, Luhut B. Panjaitan justru menganulir keputusan sebelumnya karena dianggap tidak ada persoalan. Keputusan itu menjadi sangat aneh karena rekomendasi sebelumnya bersumber dari kajian yang melibatkan berbagai kementerian teknis seperti Kementerian KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup. Persepsi bahwa keputusan itu lebih untuk mengakomodasi kepentingan segelintir investor sulit untuk dibantah.
Kebijakan Pemerintah tersebut di atas sangat kontras dengan kebijakan yang ditujukan kepada rakyat kecil di negara ini. Penduduk yang dianggap menduduki tanah yang dianggap ilegal digusur dan diusir tanpa ampun. Pemerintah DKI, mengutip data Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), sejak tahun 2013 telah menggusur 62.036 orang miskin. Demi memuluskan akses pembangunan kawasan wisata di DKI, penduduk Luar Batang digusur dan dibiarkan hidup terkatung-katung. Padahal sebagian dari mereka telah mengantongi sertifikat atas tanah-tanah yang mereka tempati. Namun, karena keberadaan mereka dianggap benalu yang menghambat Ibukota untuk maju, mereka diusir secara tak manusiawi. Ini jelas kontras dengan sikap mereka kepada para pengembang yang bermodal besar.

Bahaya Kebijakan Pro-Konglomerat
Peran Pemerintah yang semestinya berpihak pada kepentingan publik secara luas, dalam banyak hal justru lebih mengutamakan kepentingan korporasi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Kebijakan yang berat sebelah tersebut pada akhirnya baik langsung ataupun tidak berdampak buruk bagi kemakmuran rakyat di negara ini.
  1. Hak rakyat diabaikan sementara beban mereka diperat.
Semakin dominannya peran korporasi dalam pengelolaan ekonomi negara termasuk dalam penyediaan kebutuhan asasi publik membuat rakyat, terutama mereka yang berpendatan rendah, makin berat untuk menjangkau layanan tersebut. Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan pembangkit listrik dengan prinsip kerjasama publik dan swasta membuat partisipasi swasta kian besar. Biaya dan margin keutungan dari pembangunan infrastruktur publik tersebut kemudian dibebankan kepada rakyat yang sanggup membayar. Produksi dan distribusi energi seperti BBM dan gas alam yang semestinya dikelola oleh negara sebagian besar justru dilepas ke korporasi swasta. Subsidi pun dicabut agar tidak mendistorsi harga pasar. Dengan demikian swasta diharapkan tertarik berinvestasi.
Hal serupa juga terjadi pada penyediaan jasa kesehatan dan pendidikan. Meskipun jumlah penduduk setiap tahunnya terus meningkat, investasi Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur kesehatan dan pendidikan seperti rumah sakit, sekolah dan universitas relatif stagnan. Kesenjangan ini kemudian diisi oleh swasta. Beberapa korporasi besar seperti Lippo Group melalui Siloam Hospital, Mayapada Group dan Kalbe Group lewat Mitra Keluarga semakin agresif berinvestasi. Peran korporasi swasta semakin terbuka dengan kehadiran BPJS. Pemerintah hanya fokus menangani fasilitas kesehatan yang sudah ada sembari memberikan bantuan iuran BPJS kepada penduduk miskin. Rakyat yang dianggap tidak miskin, sakit ataupun tidak, diwajibkan untuk membayar premi bulanan sepanjang hayat mereka.

  1. Perampokan kekayaan alam atas nama investasi.
Ketundukan Pemerintah kepada korporasi juga berdampak pada semakin berkuasanya mereka atas kekayaan alam negeri ini. Atas nama investasi, kekayaan alam khususnya migas dan barang tambang yang bernilai tinggi justru diserahkan kepada korporasi swasta. Regulasi yang dianggap menghambat investasi dihapuskan. Sebagai contoh, dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-10, Pemerintah telah merevisi “Daftar Negatif Investasi” sehingga partisipasi investor asing beberapa sektor seperti pada pembangunan jalan tol dan instalasi listrik semakin besar.

  1. Menumbuhsuburkan korupsi dan kolusi.
Melemahnya peran negara dalam kegiatan ekonomi membuat kompetisi antarkorporasi menjadi kian sengit terutama pada sektor yang menjanjikan keuntungan besar. Berbagai cara ditempuh agar mereka memenangkan persaingan tersebut. Salah satu bentuknya adalah berkolusi dengan oknum Pemerintah yang dianggap mampu berkerjasama untuk mewujudkan ambisi mereka. Berbagai skandal korupsi yang melibatkan pejabat Pemerintah banyak terkait dengan kepentingan korporasi seperti korupsi dalam pemenangan tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, korupsi dalam pembagian kuota ekspor, impor dan distribusi barang, serta korupsi untuk mendapatkan izin pertambangan dan perkebunan dan konstruksi. Contoh mutakhir adalah penetapan tersangka atas Ketua DPD Irman Gusman karena diduga menerima suap dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya dalam rangka pendistribusian gula Bulog di Sumatera Barat.

  1. Negara dibelenggu dan tunduk kepada konglomerat.
Kuatnya peran korporasi atas Pemerintah membuat berbagai regulasi dan kebijakan Pemerintah menjadi sangat bias kepada mereka. UU baik yang diusulkan oleh Pemerintah maupun DPR, ataupun pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah, tidak sedikit yang tunduk pada kepentingan para konglomerat.
Di Amerika Serikat, kuatnya hubungan antara pejabat pemerintah dan pelaku usaha membuat kebijakan menjadi bias pada kepentingan korporasi. Sebagai contoh, Menteri Keuangan Robert Rubin dan Henry Paulson yang sebelumnya merupakan petinggi Goldman Sachs, salah satu bank investasi terbesar di AS, berperan besar dalam menderegulasi pasar modal sehingga melambungkan keuntungan korporasi di sektor keuangan sekaligus menjerumuskan negara itu ke dalam krisis keuangan tahun 2008.
Hal serupa juga terjadi di negara ini. Banyak pejabat negara saat ini memiliki perusahaan-perusahaan dalam skala besar seperti Wapres dengan Grup Bukaka dan Luhut dengan Grup Toba Sejahtera. Kedua grup usaha ini merambah berbagai lini usaha baik di sektor migas dan pertambangan, agribisnis hingga pembangkit listrik. Konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan sektor itu menjadi tak terhindarkan.
Ketergantungan pada korporasi dalam hal pembiayaan proyek dan program Pemerintah juga telah membuat Pemerintah tidak dapat bertindak independen dalam menjalankan proyek dan program tersebut. Berbagai proyek infrastruktur yang didanai China Development Bank, misalnya, tidak lagi dibangun secara penuh sesuai kehendak Pemerintah, namun harus sesuai dengan persetujuan korporasi tersebut, termasuk dalam hal pengadaan barang.

  1. Menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Kebijakan yang banyak berpihak pada korporasi pada gilirannya membuat kekayaan di negara ini semakin terakumulasi pada sebagian kecil penduduk. Di sisi lain, peran negara dalam mendistribusikan kekayan kepada rakyat kecil makin minim. Dampak dari hal itu adalah makin tingginya tingkat kesenjangan pendapatan antara penduduk menengah bawah dan penduduk menengah atas. Gini ratio,indikator untuk mengukur tingkat kesenjangan penduduk, terus melebar dari 30 pada tahun 2000 menjadi 40 pada tahun 2016. Selain itu, 40 persen penduduk terbawah pengeluarannya turun dari 22% pada tahun 2002 menjadi hanya 17% pada tahun 2016. Pada saat yang sama, 20% penduduk teratas konsumsinya naik dari 40% menjadi 47% pada periode yang sama. Artinya, kue ekonomi yang didapatkan penduduk menengah bawah semakin sedikit.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Ishak]
 

CARA MUDAH KANGKUNG HIDROPONIK

ALAT ALAT DASAR HIDROPONIK

CARA MENANAM TOGE MANTAP

HIDROPONIK TEGAK

Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Candra Hernawan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger