Catatan Kesederhanaan - Saat harga minyak mentah anjlok, pemerintah hanya menurunkan harga solar sebesar Rp. 200 per liter.
Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mewacanakan akan menurunkan harga premium. Ini terjadi setelah kondisi harga minyak mentah dunia terus menurun. Dan hingga kini pun harga tersebut bertahan di level rendah.
Banyak orang senang dengan rencana itu. Namun rencana itu pun gagal. Kalangan pemerintah sendiri malah yang keberatan dengan rencana itu dengan berbagai alasan. Akhirnya rakyat hanya gigit jari ditipu janji-janji yang tak ditepati.
Memang sejak beberapa bulan terakhir harga BBM dunia mengalami penurunan. Bahkan pada Kamis, (8/10) harga minyak mentah semakin terperosok. Pada perdagangan saat itu minyak mentah dibuka dengan harga di kisaran 48 dolar per barel.
Kalau dulu pemerintah bilang harga BBM disesuaikan harga pasar, nyatanya tidak. Saat harga minyak mentah anjlok, pemerintah hanya menurunkan harga solar sebesar Rp. 200 per liter. Padahal, menurut pengamat ekonomiDidik J Rachbini, dengan turunnya harga minyak dunia di kisaran 40 dolar per barel, penurunan harga BBM bisa dilakukan. Dalam perhitungannya, BBM jenis premium semestinya dapat turun sampai Rp 2.000 per liter.
Berbagai alasan dikemukakan oleh pemerintah untuk tidak menurunkan harga. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh pemerintah karena Pertamina masih mengalami kerugian. Ini seperti yang dikatakan oleh Direktur Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), IGN Wiratmaja Puja bahwa pemerintah hanya bisa menurunkan harga BBM jenis solar, namun tidak untuk premium. Hal itu dikatakannya lantaran sampai saat ini penjualan BBM RON 88 masih memikul kerugian. Tercatat sampai akhir Agustus saja Pertamina telah memikul kerugian sebesar Rp 15,2 trilyun.
Sementara itu, ketika ditanya mengenai kerugian PT Pertamina (Persero) dari penyaluran premium, anggota DPR Misbakhun meminta kerugian yang diklaim dikaji terlebih dahulu, apakah karena harga jual yang lebih rendah dari harga pasar ataukah karena inefisiensi Namun, kata dia, apapun alasan di balik kerugian yang dialami Pertamina, penurunan harga premium harus dilakukan. “pemerintah masih punya hak untuk menjalankan PSO (public service obligation). Pertamina itu kan BUMN. PSO bisa dikenakan ke Pertamina. Kalau memang rugi demi rakyat, kenapa enggak?” ucap anggota DPR Fraksi Partai Golkar ini.
Sementara itu Direktur Puskepi Sofyano Zakaria, mengatakan, seharusnya penyediaan stok BBM nasional, baik berupa crude oil dan BBM menjadi tanggung jawab pemerintah, bukannya dibebankan ke perusahaan seperti Pertamina. Negara yang harus menyiapkan anggaran untuk membeli minyak dan kemudian barulah ‘menjualnya’ ke badan usaha, sehingga dapat membeli crude atau BBM dalam jumlah besar yang menjadi kunci ketahanan energi bagi bangsa ini.
Menanggapi kondisi ini, Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim menjelaskan, sebenarnya akar masalah BBM yang selalu berulang adalah akibat liberalisasi migas dan hubungan pemerintah dan rakyat dengan paradigma kapitalis yaitu untung rugi. Makanya, kata Arim, solusi mendasar agar masalah BBM ini selesai adalah dengan menghentikan proses liberlaisasi migas, migas harus dikelola sesuai dengan syariah Islam.
Dalam pandangan Islam, lanjutnya, migas adalah tambang milik umum yang wajib dikelola oleh negara dan haram pengelolaannya diserahkan ke swasta. Sementara hubungan rakyat dan penguasa dalam Islam bukan hubungan bsinis tapi hubungan riayah yaitu pengurusan urusan umat karena itu tidak ada prinsip untung rugi dalam melayani rakyat. [] LM
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 160
Posting Komentar