Mencari Jawaban Mitos Dua Unyeng-unyeng
(oleh: Edy Supriatna Syafei)
Candrahernawan.com - Ini kisahku memiliki cucu yang punya dua
unyeng-unyeng. Unyeng-unyeng adalah pusaran rambut atau user-user atau kinciran
yang ada di atas kepala. Cucuku ini berdomisili di Batam, bersama kedua orang
tuanya; Candra dan Indah.
Kata orang tua tempo doeloe - terutama di kalangan etnis Jawa - bahwa
anak yang memiliki dua unyeng-unyeng punya prilaku petakilan. Nggak bisa diam.
Agresif dan cenderung nakal. Ngeri juga rasanya. Beruntungnya, Candra - sebagai
orang tua - tak pernah terlihat lelah meladeni puteranya kemana pun pergi
berlari. Satu saat Al Fatih (3 tahun), cucu semata wayang saya itu tak mau
berjalan kaki, minta digendong terus menerus oleh orang tuanya. Pada waktu
lainnya, Al Fatih tak mau digendong. Ia berjalan santai. Awalnya, terlihat
tenang. Tak berapa lama, lantas berlari melejit di tengah kerumunan orang
banyak sehingga lepas dari pandangan. Dia berteriak ceria sambil berjalan tanpa
mempedulikan orang banyak tengah memperhatikan tingkahnya.
Tatkala berada di rumah, bocah yang gemar makan buah dan masih menyusui
ini, sangat agresif. Tidak bisa diam. Atau tidak dapat bersikap kalem seperti
anak-anak lainnya ketika dibujuk. Al Fatih terlihat sangat berani. Bahkan, saya
sebagai kakeknya ngeri menyaksikan tingkah polahnya.
Pada saat Lebaran, di kediaman buyutnya, bocah ini tiba-tiba naik kursi.
Lantas naik ke atas meja tamu terbuat dari kaca. Ia jingkrakan. Bayangkan, jika
kaca pecah, resikonya sangat fatal. Perbuatan serupa juga dilakukan di kediaman
kakeknya. Beruntung toples kue dan makanan sudah diamankan.
Candra pernah bercerita, ketika berlibur ke Bangkok, bulan lalu, Fatih
tak mau berjalan kaki. Selalu minta digendong. Ketika berada di kediaman
pamannya di Malaysia, Fatih seperti menikmati kebebasannya. Pasalnya, di situ
ada anak yang sama usianya. Hanya saja, ketika bermain bersama, Fatih lebih
agresif. Seluruh mainan milik temannya nyaris dikuasai sepenuhnya.
Kegembiraan Fatih terlihat luar biasa. Lari dari satu tempat ke tempat
lain. Tidak merasa takut berlari menembus kerumunan orang banyak. Hanya nenek
dan orang tuanya dibuat berkucuran keringat. Perilaku Fatih juga kadang seperti
bos menunjuk loket penjual es krim untuk segera dibelikan. Jika tak dikabulkan
permintaannya, ia menangis keras. Jika diajak berjalan menggunakan
mobil, Fatih pasti minta duduk di kursi depan. Di samping sopir. Sudah tentu,
seluruh tombol dipegang-pegang. Ia paling suka memutar tombol AC dan
mengaktifkan radio.
Celakanya, cara memutar AC seenaknya, satu saat pada posisi volume
rendah tiba-tiba ke level tiga. Bahkan diputar-putar seenaknya, yang tentu saja
dikhawatirkan dapat berpengaruh dan merusak tali karet AC mobil. Satu-satunya
cara untuk dapat membuat Al Fatih sedikit tenang adalah ketika menyaksikan film
kartun melalui Youtube. Karena belum pandai menggunakan komputer, Fatih sering
berteriak ketika film usai masa tayang. Ia pun minta diputarkan film kartun
berikutnya.
Kadang, film belum berakhir masa tayang, dia sudah menunjuk-nunjuk film
kartun lainnya. Film yang digemari kebanyakan Ipin Upin, Ninjago dan
sejenisnya. Melihat fakta seperti itu, saya mencoba mencari tahu cerita para
orang tua tentang makna unyeng-unyeng. Bagi etnis Jawa, diyakini bahwa setiap
anak lahir memiliki tanda khasnya.
Tanda-tanda khas yang dimilikinya berbeda satu anak dengan anak lainnya.
Jelas, itu sudah merupakan Sunnatullah. Sebagai pemberian Allah. Tanda itu bisa
berupa warna hitam di lengan, kaki atau berupa tahi lalat. Termasuk juga
unyeng-unyeng itu sebagai tanda khas pada diri seorang bayi. Konon, tanda
tersebut juga mencirikan prilaku dari orang bersangkutan.
Di kalangan etnis Jawa, unyung-unyeng dua dimaknai bahwa anak tersebut
petakilan, nakal dan lebih menonjol di tengah-tengah kelompok anak
sepermainannya. Sedangkan unyeng-unyeng satu, dimaknai sebagai anak kalem.
Bagaimana dengan unyeng-unyeng tiga, saya tak tahu karena bukan berasal dari
Jawa. He he he ....
Fakta yang ada bahwa unyeng-unyeng dua dimaknai sebagai anak petakilan
memang terbukti seperti yang dikatakan orang tua di kalangan etnis Jawa.
Artinya, cucu saya, Al Fatih seperti itulah apa adanya yang saya ungkapkan.
Jadi, bukan mitos. Lantas, bagaimana karakter anak memiliki unyeng-unyeng dua
ke depan. Apakah ketika dewasa nanti dapat berubah seiring proses pendidikan
yang diterimanya. Saya, sepenuhnya menyerahkan kepada Allah, Tuhan YME. Tentu
pula, sebagai kakek, terus mendoakan agar Al Fatih, sesuai dengan namanya,
dapat menjadi anak saleh, bermanfaat bagi orang tua dan negara…
Sumber: Eyang
Edy Supriatna (http://www.kompasiana.com/edysupriatna/mencari-jawaban-mitos-dua-unyeng-unyeng_5783277e1593730906882881)
Posting Komentar