Headlines News :
Home » » Pemerintah Tak Berdaya Menghadapi Perusahaan Asing

Pemerintah Tak Berdaya Menghadapi Perusahaan Asing

Written By catatan kesederhanaan on Selasa, 22 April 2014 | 23.09

Pemerintah Tak Berdaya Menghadapi Perusahaan Asing


Analisis Catatan Kesederhanaan-Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan ketundukannya pada korporasi  asing. Adalah PT Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan asing seperti PT Newmont dan PT Vale Indonesia, enggan untuk tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 Tahun 2010 dan PP. nomor 24 tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU Minerba 2009. Beberapa ketentuan dalam regulasi tersebut dianggap merugikan mereka seperti kewajiban divestasi saham, pembatasan luas wilayah pertambangan, peningkatan jumlah deviden dan kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri. Saking lemahnya, hingga saat ini pemerintah harus berkali-kali bernegosiasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut bahkan pernah dibatalkan secara sepihak oleh mereka. Padahal dalam UU Minerba 2009 tersebut tercantum bahwa penyesuaian terhadap peraturan tersebut selambat-lambatnya satu tahun sejak UU tersebut disahkan yang berarti pada Januari 2010.
Dalam hal kewajiban divestasi, perusahaan tambang asing diwajibkan menjual 51% sahamnya ke pihak Indonesia dalam jangka waktu sepuluh tahun. Penjualan saham tersebut harus dijual kepada peserta Indonesia  yaitu pemerintah pusat, provinsi, daerah kabupaten/kota, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau swasta nasional.
Meskipun demikian, PT Freeport menyatakan hanya akan mengikuti aturan Kontrak Karya (KK) yang sudah dilakukan dua kali sejak tahun 1967. Hingga saat ini, sebanyak 90,64% kepemilikan saham Freeport Indonesia dikuasai perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yaitu Freeport McMoran. Sisanya, sebanyak 9,36% dipegang oleh pemerintah Indonesia. Memang, dalam UU Minerba pasal 169 disebutkan bahwa UU tersebut tidak berlaku bagi KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebelum peraturan tersebut ditetapkan hingga kontrak tersebut berakhir. Alasan inilah yang dipakai Freeport untuk mengelak dari PP tersebut yang kontraknya baru berakhir tahun 2021 dan berencana diperpanjang hingga 2041.
Selain itu, PT Freeport dan sejumlah perusahaan tambang juga enggan tunduk pada Peraturan Pemerintah yang membatasi kepemilikan wilayah kerja yakni maksimal 100.000 hektare untuk perusahaan mineral dan 50.000 hektare untuk perusahaan batubara.  Saat ini, wilayah kerja Freeport telah mencapai 1,8 juta hektare dana Vale tercatat sekitar 180.000 hektare (detikfinance, 18/12/2012). Jika mengacu pada peraturan tersebut maka sebagian besar wilayah pertambangan Freeport harus diserahkan kepada Pemerintah. Adapun dari sisi royalti, PT Freeport selama ini juga membayar satu persen saja. Padahal dalam Peraturan Pemerintah mengenai PNBP tahun 2003 seharusnya royalti untuk emas mencapai 3,75%.
Secara ekonomis, cadangan PT Freport memang sangat besar. Freeport memperkirakan cadangan bijih yang siap ditambang  pada saat itu mencapai 2,6 miliar ton. Setiap satu ton bijih hasil olahan bisa menjadi 7,9 kg tembaga dan 0,93 gram emas. Dari cadangan sebanyak 2,6 miliar ton itu jika dihitung secara kasar, bisa menghasilkan 2.418 ton emas. Jika harga emas dipatok sebesar Rp 550.000 per gram, maka nilai cadangannya senilai Rp 1.329 triliun (detikfinance, 12/03/2012). Angka tersebut belum menghitung nilai tembaganya. Jika harga tembaga dipatok Rp. 60 ribu perkilogram, maka pendapatannya mencapai Rp 1,232 triliun. Jika ditotal maka nilai kotor cadangan bijih perusahaan tersebut mencapai Rp 2,561 triliun. Angka itu hampir dua kali lipat belanja APBN tahun 2012 yang mencapai Rp 1.490 triliun. Memang tidak dapat dinafikan bahwa perusahaan tersebut juga menyetor pajak dan deviden sebesar 21,4 triliun pada 2011.  Namun demikian, angka itu tentu akan sangat kecil jika aset perusahaan tersebut jatuh ke tangan pemerintah.
Lantas apakah ketika UU ini diterapkan secara penuh, hasil pertambangan negara ini  akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Nampaknya tidak demikian. Upaya pemerintah untuk mengurangi kepemilikan asing pada sektor pertambangan bukan berarti pengelolaan pertambangan tersebut akan dikembalikan kepada negara melalui BUMN. Pada kasus divestasi saham PT Newmont misalnya, akibat tidak memiliki cukup anggaran, Pemerintah Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat terpaksa bekerja sama dengan perusahaan milik Bakrie dalam PT Multi Daerah Bersaing (MDB) untuk menguasai 24 persen saham perusahaan tersebut. Sementara itu, Pemerintah Pusat batal mengakuisisi tujuh persen saham perusahaan tambang tersebut lewat Pusat Investasi Indonesia (PIP), karena MK menganggapnya inkonstitusional. Belakangan disebut-sebut bahwa MDB berhasrat untuk mengambil jatah Pemerintah Pusat tersebut.
Sikap pemerintah yang lemah di atas menunjukkan betapa pemerintah takluk pada kepentingan swasta. Bahkan dalam beberapa kasus sebagaimana yang terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terbukti bahwa banyak pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif justru bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam menjarah kekayaan negeri ini. Selain itu, aturan mengenai pengelolaan SDA di negara ini, memang didesain agar pihak swasta termasuk di dalamnya investor asing diberi kesempatan yang sangat besar. Adapun pemerintah hanya sebagai regulator yang mendapatkan pajak dan royalti semata.
Perubahan Sistem
Pengelolaan SDA di negara ini jelas bertentangan dengan syariah Islam. Pasalanya di dalam Islam, tambang yang memiliki cadangan yang melimpah seperti yang dikelola oleh Freeport, Newmont, Vale Indonesia dan tambang migas dan mineral lainnya, merupakan barang milik umum (al-milkiyyah al-ammah). Dengan demikian pengelolaannya harus diserahkan kepada negara. Adapun hasilnya seluruhnya digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. Dari  Abyadh bin Hammal: beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata : “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqy & Tirmidzy). Namun demikian, aturan tersebut tentu hanya dapat diimplementasikan secara menyeluruh oleh negara yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasarnya yakni negara Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bisshawab []
Oleh: Muhammad Ishak
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Candra Hernawan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger