Ironi Indonesia Tanah Airku; Tanah Masih Ngontrak, Air Masih Beli!
Analisis Catatan Kesederhanaan-Belakangan santer diberitakan bahwa Chevron yang notabene adalah perusahaan milik Amerika Serikat telah menguasai dan membeli Gunung Ciremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat seharga Rp 60 triliun. Isu tersebut mendapat reaksi dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) yang langsung membantahnya dengan melakukan klarifikasi kepada awak media bahwa itu adalah berita hoax.
Memang bisa kita pahami, siapa juga yang mau membeli gunung jika itu hanya seonggok tanah tanpa potensi yang bisa dimanfaatkan? Sepertinya kurang kerjaan saja. Tetapi mari berfikir cerdas dan kritis bahwa kawasan Gunung Ciremai sebenarnya sudah lama dikenal sebagai kawasan yang kaya akan panas bumi (geothermal). Potensi tenaga panas bumi yang terkandung di kaki Gunung Ciremai sedikitnya terdapat di tiga lokasi yakni di Desa Sangkanhurip Kecamatan Cigandamekar, Desa Ciniru, dan Pajambon Kecamatan Jalaksana.
Berdasarkan hasil penelitian, potensi tenaga listrik yang dapat dihasilkan dari tiga lokasi tersebut tidak sama. Dari Kawasan Sangkanhurip dapat menghasilkan tenaga listrik sebesar 50 mega watt, Pejambon 100 hingga 150 mega watt dan Ciniru lebih dari 150 mega watt. (radarcirebon).
Tak ada asap kalau tidak ada api, isu tersebut tentu tidak tiba-tiba saja menggelinding apalagi dengan “geer” nya dikaitkan dengan upaya sebagian pihak dalam rangka menjegal “Aher for Presiden” atau menjegal partainya menuju tiga besar. Isu ini muncul semata karena ada fakta kedzaliman tersembunyi yang mesti diungkapkan pada masyarakat luas. Ini bisa dibuktikan karena bantahan Gubernur Ahmad Heryawan tersebut ternyata bertolak belakang dengan fakta yang diungkapkan petinggi Chevron. Seperti dilansir kompas.com, General Manager Policy, Government and Public Affair Chevron Geothermal Indonesia Paul Mustakim mengatakan, pihaknya memang telah ditetapkan sebagai pemenang tender WKP Gunung Ceremai oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat pada Januari 2013 lalu, sementara tendernya dilakukan pada tahun 2011/2012 lalu.
Hal tersebut diperkuat juga dengan pernyataan Sekda Kuningan Drs. H. Yosep Setiawan, M.Si yang justru mengakui telah terjadi lelang pengelolaan panas bumi Gunung Ciremai, dan pemenangnya adalah perusahaan minyak asal Amerika Serikat (AS), Chevron Geothermal Indonesia Ltd. Panitia lelang tersebut beranggotakan unsur Kementerian ESDM RI, Pemprov Jabar, Pemkab Kuningan, Majalengka dengan Panitia Lelang Kepala Dinas ESDM Jabar yang diikuti PT Kitay dari Turki dan PT Jasa Daya Chevron (Amerika). Ternyata, pemenang lelang adalah Chevron karena penawaran paling tinggi yakni 9,7 Cent US$/kWh.
Jadi jelaslah bahwa yang dijual ke Chevron adalah pemanfaatan sekaligus pengelolaan potensi panas bumi (geothermal) Gunung Ciremai bukan menjual gunung itu sendiri. Pemerintah kemudian mencoba mengalihkan fokus perhatian masyarakat dengan mengklaim bahwa wilayah kerja panas bumi di Gunung Ciremai yang akan dikembangkan oleh Chevron Geothermal Indonesia Ltd melalui anak usahanya PT Jasa Daya Chevron dengan investasi senilai Rp 4-5 triliun tersebut aman dan tidak merusak lingkungan. Tetapi bukan hal ini yang menjadi titik persoalannya, umat sejatinya harus menyadari bahwa penyerahan pengelolaan potensi panas bumi (geothermal) pada Chevron berarti sama dengan membiarkan satu lagi kekayaan alam Indonesia yang “dirampok” asing, sementara rakyat sebagai pemilik hakiki kekayaan alam itu hanya gigit jari dan tetap berada dalam kemiskinan.
Ilusi Kemakmuran
Kekayaan alam Indonesia memang sungguh luar biasa, siapapun takkan bisa menyembunyikan fakta bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Ketika penulis masih duduk di bangku SD, ada sebuah buku bernama RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap)—kalau sekarang disebut buku pintar—buku tersebut adalah buku pendamping untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), disana terdapat berbagai informasi terkait daftar kekayaan alam Indonesia yang demikian banyak, dari mulai tambang batubara, tembaga, timah, nikel, besi, baja, bauksit, perak, emas, dll hingga kekayaan laut Indonesia yang nilainya sangat fantastis. Saat itu penulis sangat antusias menghafalnya dan selalu mendapat nilai tinggi ketika tes, meski tidak tahu bahwa daftar kekayaan alam itu ternyata sama sekali tidak pernah menyejahterakan rakyat hingga saat ini.
Miris rasanya jika mengingat hal tersebut, penulis seperti menghafal daftar kekayaan negara lain yang justru adalah kekayaan negeri sendiri yang tak pernah dinikmati. Akhirnya RPUL seperti sebuah buku fiksi ilmiah yang menceritakan daftar kekayaan alam sebuah negeri bernama Indonesia sementara penduduknya hidup dalam gelimang kemiskinan dan ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan.
Harus diakui dengan jujur, pada akhirnya kemakmuran negeri ini nyatanya adalah sebuah ilusi, sehingga pasal 33 UUD’45 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sepertinya lebih tepat dan lebih faktual jika diganti dengan kalimat “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh korporasi Asing dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran mereka serta segelintir jongos-jongos tanah air”.
Betapa tidak, sebagian wilayah udara kita dikontrol oleh Singapura, minyak dikuasai oleh Chevron, emas juga diangkut ke AS, Batubara terbang ke Cina, Gas alam ke Jepang, Prancis, dll. Bagaimana dengan air? Setali tiga uang, air yang sejatinya milik umum pun masih harus beli ke Asing, seperti yang terjadi di Jakarta, saat ini hampir seluruh pengelolaan air di Jakarta dikelola pihak asing, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) yang merupakan lini usaha perusahaan asal Perancis Suez Environnement dan bagian dari PT Astratel Nusantara lini usaha Grup ASTRA Indonesia, serta PT Aetra yang mayoritas sahamnya dimiliki perusahaan Singapura Acuatico Pte Ltd.
SDA Pada Masa Khilafah
Sebagai seorang Muslim, sudah sepantasnya kita mengembalikan berbagai persoalan kehidupan ini hanya pada syariah Islam, sebab yakinlah bahwa ikhtiar solusi apapun tidak akan mampu mengeluarkan kita dari masalah kecuali dengan kembali pada aturan-aturan Allah Swt sang pencipta kita. Untuk dapat memotret bagaimana Islam menyelesaikan hal ini tentu hanya dengan penerapan Islam kaaffah oleh sebuah negara yakni Khilafah.
Dalam sistem Khilafah, politik dalam negeri adalah melaksanakan hukum-hukum Islam, sedangkan politik luar negeri menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia (Taqiyuddin an-Nabhani, Dawlah Islam, cet.II, hlm.188 dan 197). Penyebaran Islam adalah dengan metode jihad untuk membebaskan (futuhat) negeri-negeri yang belum tersentuh Islam. Pembebasan Islam ini berbeda dengan penjajahan yang dilakukan Barat. Sebab Islam diturunkan Allah sebagai rahmat, kabar gembira, sekaligus peringatan yang keras. Politik ini juga mengharuskan Khilafah menjadi negara yang kuat dari sisi militer sehingga mencegah upaya negara-negara imperialis untuk menguasai wilayah Islam dan SDA yang terdapat di dalamnya.
1. Kepemilikan SDA
Rasulullah saw. pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal al-Mazini. Namun, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir. (Abu ‘Ubaid al-Qasim, Ensiklopedia Keuangan Publik (al-Amwal), hlm. 362-362).
Pada contoh kebijakan Rasulullah tersebut, diperbolehkan individu menguasai area tambang jika luas dan depositnya sedikit. Hasil eksploitasi barang tambang yang diperoleh individu tersebut dikenakan khumus atau seperlimanya untuk dimasukkan ke dalam Baitul Mal sebagai bagian dari harta fai. Sebaliknya, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas tidak boleh dikuasai individu karena termasuk harta milik umum dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api.” (HR Abu Dawud).
Hadis ini juga menegaskan, yang termasuk harta milik umum adalah SDA yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya.
Dengan demikian, penguasaan SDA di tangan negara tidak hanya akan berkontribusi pada keamanan penyediaan komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian Khilafah, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum. Sebagai contoh cadangan minyak bumi negeri-negeri Islam mencapai 68,54% cadangan global, sedangkan gas bumi 61,45% cadangan dunia. Seharusnya dengan cadangan yang besar tersebut kaum Muslim mendapatkan manfaat yang besar pula. Bandingkan dengan pendapatan kotor lima korporasi minyak utama dunia, yakni BP, ExxonMobil, Total, Shell, dan Chevron sebesar US$ 1,19 triliun, setara 2% nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau 220,21% PDB Indonesia.
2. Minyak bumi
Minyak bumi merupakan produk yang sangat penting pada masa kejayaan Khilafah jauh sebelum zaman modern sekarang. Minyak menjadi komoditas yang dibutuhkan untuk keperluan militer maupun ekonomi masyarakat. Beberapa ladang minyak bumi pada masa itu antara lain di Baku yang mulai beroperasi sejak tahun 885 M pada masa Khalifah al-Mu’tamid ‘Alallah (870-892). Pada abad ke 13, Marco Polo melaporkan ratusan kapal mengambil minyak di Baku pada waktu itu. Selain di Baku, produksi minyak mentah juga ada di tepi timur sungai Tigris hingga sepanjang jalan menuju Mosul, di Sinai Mesir dan Khuzistan di Iran. Minyak mentah tersebut tidak hanya disuling untuk keperluan sumber energi, tetapi juga diolah menjadi aspal dan berbagai produk turunan lainnya (http://muslimheritage.com).
3. Pertambangan
Cadangan mineral di berbagai wilayah provinsi Khilafah berkontribusi atas kemakmuran penduduknya. Berbagai batu mulia seperti zamrud diperoleh di Mesir. Adapun di Spanyol terdapat beragam tambang mineral seperti emas, perak, timah, tembaga, besi, belerang, dan merkuri, termasuk batu rubi. Di Sepanjang Afrika Utara, termasuk juga Hadramaut, Ispahan dan Armenia terdapat tambang garam. Di Laut Arab, di sepanjang pantai Bahrain hingga ke pulau Dahlak terdapat pengembangbiakan mutiara (http://muslimheritage.com).
Khilafah Sebuah Harapan
SDA merupakan faktor penting bagi kehidupan umat manusia yang saat ini dikuasai oleh negara-negara penjajah baik secara langsung maupun melalui korporasi-korporasi mereka. Untuk mengembalikan kedaulatan umat atas kekayaan SDA yang mereka miliki harus ditempuh dengan menegakkan Khilafah.
Ketiadaan Khilafah bagi kaum Muslim saat ini menyebabkan kekayaan SDA yang dimiliki tidak jatuh manfaatnya ke tangan umat. Negeri-negeri Islam yang kaya barang tambang dan minyak bumi justru menghadapi penjajahan langsung seperti apa yang terjadi di Irak, Afganistan, Sudan, dan Libya. Sebagian besar lagi negeri-negeri Islam dipaksa menerapkan aturan kapitalis dan melakukan liberalisasi ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia, Bangladesh, Turki, Qatar, UEA, dan Saudi Arabia. Negeri-negeri Islam pun menghadapi suatu masalah yang oleh ahli ekonom Barat disebut “Kutukan SDA” (natural resource curse), yakni paradoks negara kaya SDA tetapi penduduknya miskin. Karnanya mungkin sangat wajar jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia itu bukan tanah airku; sebab tanahnya masih ngontrak, airpun harus beli!.Wallahu a’lam bi ash-shawab []
Oleh Agus Suryana (Pengurus DPD1 HTI Jawa Barat)
Email: agus.nasrul.suryana@gmail.com
Posting Komentar