Candrahernawan.com - Wajah Marso Diyono (61 tahun) tampak sedih dan lelah. Marso sangat kaget saat menerima kabar anak bungsunya yang dikenal baik, Siyono meninggal saat diperiksa Densus. Padahal saat penangkapan anaknya dalam keadaan sehat. Marso tidak menyangka sholat maghrib berjamaah di Masjid, saat Siyono ditangkap Densus merupakan sholat jama’ah terakhir bersama anaknya. Dua hari setelah penangkapan pada Jumat (11/3), anaknya dibawa pulang dengan dibungkus kain kafan.
Terkait kematian Siyono, awalnya polisi menyatakan Siyono meninggal karena kelelahan setelah berkelahi melawan Densus. Namun kemudian, polisi seperti yang dinyatakan Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Brigjen Pol. Arthur Tampi kematian Siyono akibat pendarahan di kapala disebabkan hantaman benda tumpul.
Sementara pihak keluarga setelah melihat kondisi jenazah Siyono menjelaskan kemungkinan terjadinya penyiksaan. Saat pergantian kain kafan dari jenazah tampak ada lebam pada kedua mata, lebam berwarna biru kehitaman di pelipis, hidung patah, kepala bagian belakang masih meneteskan darah segar. Pada kedua kaki dari paha sampai mata kaki bengkak berwarna hitam. Kuku jari kaki kiri hampir lepas.
Kematian Siyono pun menyulut kecaman kepada Densus. Ketua Pimpinan Muhammadiyah menyoroti kinerja Densus selama ini yang tidak bisa diverifikasi pertanggungjawabannya. Pihaknya menduga ada pelanggaran HAM dan tidak profesionalnya Densus 88. Sementara Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menilai Densus perlu dievaluasi. Menurutnya, Komnas HAM sudah menerima 118 laporan terduga teroris yang ditembak mati tanpa pemeriksaan. Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Netta S Pane menyatakan, penembakan yang kerap dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 terhadap terduga teroris malah terkesan seperti algojo.
Jauh sebelumnya, Ismail Yusanto juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia juga mempertanyakan profesionalisme Densus. Menurutnya, dalam operasinya kerap melakukan salah tangkap. Sebelum kasusnya ini, Densus juga pada tanggal 29 Desember 2015, pernah menangkap dua orang tidak bersalah yang hendak berangkat shalat dhuhur berjamaah di sebuah masjid di Solo.
Meskipun akhirnya dilepas, Ayum Penggalih dan Nur Syawaludin yang sempat ditangkap di jalan Haryo Panular mengaku sempat mengalami siksaan saat ditangkap. Termasuk saat keduanya berada di dalam kendaraan yang membawanya ke Mapolsek Laweyan. Baik Galih maupun Nur mengaku tak diizinkan untuk salat. Bahkan, Nur sendiri selain tak diizinkan untuk salat, dirinya dengan rasa sakit luar biasa memutar borgol yang mengikat tangannya ke arah depan, agar bisa buang air kecil.
Pernyataan Ismail Yusanto perlu kita perhatikan. Menurut Jubir HTI ini berulangkali Densus melakukan salah tangkap dan juga salah tembak menunjukkan ada masalah pada Densus. Seharusnya ada tindakan hukum terhadap kesalahan-kesalahan itu. Namun selama ini Densus 88 nyaris tidak tersentuh. Bahkan ada dugaan, Kapolri sendiri, sulit mengendalikan Densus.
Pertanyaannya sebenarnya Densus 88 itu bekerja untuk apa dan untuk siapa. Tentu sangat berbahaya kalau kerja Densus seolah menjadi proyek mencari dana elit-elit tertentu di Kepolisian. Mengingat dana untuk Densus sangatlah besar. Terakhir , Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah menyiapkan alokasi anggaran hingga Rp 1,9 triliun Densus 88.
Belum lagi dana sumbangan dari negara-negara asing. Tentu patut dipertanyakan kalau dana sebesar itu , yang juga dari rakyat, digunakan untuk membangun ‘mesin pembunuh’ yang tidak tersentuh hukum. Termasuk kita khawatir, Densus menjadi proyek karir, bagi orang-orang tertentu di kepolisian yang haus kekuasaan. Ada dugaan selama ini karir di Densus termasuk ‘batu loncatan’ emas ‘ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Apakah demi karir, rakyat boleh dibunuh ?
Yang harus kita tolak keras adalah kalau Densus justru bekerja untuk asing. Menjadi kaki tangan perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika Serikat. Sementara kita tahu , perang ala Amerika ini tidak lain hanya lah untuk kepentingan negara adi daya tersebut. Untuk memperkuat penjajahannya di negara-negara lain termasuk Indonesia. Perang ala Amerika ini pun secara jelas telah menjadikan umat Islam dan Islam menjadi target mereka. Tentu sangat menyedihkan kalau Densus menjadi bagian dari proyek asing ini . Sesuatu yang sangat berbahaya, ketika institusi negara yang dibiayai rakyat mengabdi kepada kepentingan asing dengan menjadikan rakyat sebagai korban. Ini jelas kejahatan besar.
Kita setuju, bahwa apa pun yang meneror rakyat , yang mengancam rakyat, harus kita cegah dan hentikan. Termasuk terori yang dilakukan negara. Namun bukan berarti dilakukan tanpa koridor hukum. Adalah sangat berbahaya kalau dengan hanya tuduhan apalagi terduga terorisme , telah menjadi legalitas untuk memperlakukan seseorang dengan semena-mena, apalagi membunuhnya. Alih-alih menyelesaikan terorisme, tindakan seperti ini akan membangkitkan kebencian, dendam dan kemarahan baru bagi keluarga dan anak-anak korban di masa depan. Apakah ini yang kita inginkan ? [Farid Wadjdi]
Posting Komentar