Hukum Puasa Bagi Wanita Yang Hamil, Menyusui, dan Melahirkan
Tanya :
Bagaimana hukum puasa Ramadhan bagi perempuan yang sedang hamil, menyusui, atau melahirkan?
Jawab :
Perempuan yang melahirkan dan darah nifasnya masih mengalir, tak boleh berpuasa Ramadhan, karena di antara syarat sah puasa adalah suci dari nifas. Jika darah nifas sudah berhenti mengalir, dan masih dalam bulan Ramadhan, dia wajib kembali berpuasa Ramadhan. Jika berhentinya darah nifas sebelum waktu Shubuh lalu dia baru mandi setelah masuknya waktu Shubuh, puasanya sah. Inilah pendapat jumhur ulama, kecuali pendapat sebagian ulama seperti Imam Auza’i, juga salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Maliki, yang mensyaratkan mandi sebelum masuk waktu Shubuh. Namun yang rajih (kuat) pendapat jumhur ulama. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/616; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 45).
Perempuan yang tak puasa Ramadhan karena nifas, wajib mengganti dengan mengqadha`, bukan dengan membayar fidyah. Tak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Imam Ibnu Qudamah berkata,”Telah sepakat ulama bahwa perempuan yang haid dan nifas tidak halal berpuasa Ramadhan…namun mereka wajib mengqadha` puasa yang ditinggalkannya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30).
Dalilnya hadits dari ‘A`isyah RA yang berkata,”Dahulu kami mengalaminya [haid], maka kami diperintah untuk mengqadha` puasa tapi tak diperintah untuk mengqadha` shalat.” (HR Muslim no 763). Hadits ini menunjukkan perempuan yang haid wajib mengqadha` puasanya, demikian pula perempuan yang nifas, karena nifas semakna dengan haid berdasarkan ijma’ ulama. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30; Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 66; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 39; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 119).
Adapun perempuan hamil dan menyusui, tak ada khilafiyah di antara ulama keduanya boleh tak berpuasa Ramadhan. Sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah SWT telah menanggalkan bagi musafir setengah [kewajiban] shalatnya dan juga [kewajiban] puasanya, dan bagi perempuan hamil dan menyusui, [kewajiban] puasanya.” (HR Ibnu Majah, Nasa`i, Tirmidzi). (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).
Namun ulama berbeda pendapat mengenai syarat perempuan hamil dan menyusui boleh tak berpuasa Ramadhan. Apakah disyaratkan mereka khawatir akan dirinya, janinnya, dan bayi yang disusuinya; ataukah hanya karena hamil dan menyusui? Sebagian ulama berpendapat, jika perempuan yang hamil dan menyusui khawatir akan dirinya, atau anaknya (janin/bayi yang disusui), dia boleh tak berpuasa. Ini pendapat rajih dalam madzhab Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad. Namun sebagian ulama berpendapat, perempuan yang hamil dan menyusui secara mutlak boleh tak berpuasa, baik ada kekhawatiran atau tidak, baik khawatir akan dirinya atau anaknya. Ini pendapat Syaikh Ali Raghib. (Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm.66; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 121).
Yang rajih menurut kami pendapat bahwa jika perempuan hamil khawatir akan dirinya, dan perempuan menyusui khawatir akan bayi yang disusuinya, boleh mereka tak berpuasa. Jika kekhawatiran itu tak ada, tidak boleh tak berpuasa. Dalilnya dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW memberi rukhsah kepada perempuan hamil yang khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya untuk tak berpuasa. (HR Ibnu Majah no 1668; Mahmud Uwaidhah,Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).
Apakah perempuan hamil dan menyusui wajib mengqadha` puasanya? Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, membolehkan mengganti puasa dengan fidyah, tidak mewajibkan qadha`. Namun yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkan qadha`. Sebab pendapat Ibnu Abbas itu diragukan, mengingat dalam Mushannaf Abdur Razaq (no 7564) Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya, yaitu wajib mengqadha` dan tak boleh membayar fidyah. Wallahu a’lam.[]M Shiddiq Al-Jawi
Posting Komentar