Satu Negeri Ikut Ujian
Dr. Fahmi Amhar
Bagaimana suasana Ujian Nasional (UN) tahun ini di daerah Anda? Semoga baik-baik saja. Tetapi diketahui luas bahwa tahun ini, pelaksanaan UN secara nasional sangat buruk. Soal ujian datang terlambat, tertukar, lembar jawaban terlalu tipis dan sobek bila dihapus, dan di atas itu semua kecurangan masih terjadi, sebagian bahkan sistemik, yakni justru didalangi oleh pejabat setempat. Oleh panitia pusat sudah diatur bahwa setiap ruang mendapat 20 soal yang berbeda, sehingga semakin sulit untuk mencontek, dan semakin lama bila guru pengawas ikut membuatkan jawaban buat peserta. Namun realita, kunci jawaban untuk ke-20 soal itu tertayang di internet. Entah apa motivasi yang mengunggahnya, mungkin dia kesal dengan UN secara keseluruhan.
Ketika tahun 1984 dulu EBTANAS SMA dimulai, idenya memang sekadar untuk pemetaan standar pendidikan. Nilai EBTANAS Murni (NEM) tidak untuk standar kelulusan, tetapi hanya berpengaruh 33 persen hingga maksimum 60 persen. Saat itu sangat jarang siswa yang mendapat NEM rata-rata di atas 7. Ketika EBTANAS berganti nama menjadi UN, dan hasilnya dijadikan standar kelulusan, maka dimulailah kecurangan sistemik itu. Para kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan takut kehilangan jabatannya bila nilai UN siswa di bawah tanggung jawabnya jelek. Mereka lalu melakukan segala cara.
Sekarang ini, kalau anak kita mendapat angka 8 sebagai nilai rata-rata UN, boleh jadi dia akan sulit mendapatkan sekolah lanjutan, karena yang angkanya 9 banyak sekali. Tetapi tetaplah bersyukur bila itu didapat dengan jujur. Prof Dr Indra Djati Sidi (mantan Dirjen Dikdasmen) mengatakan, hasil UN yang jujur hanya 20 persen.
Tak heran bahwa banyak dugaan UN ini bukanlah usaha serius memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air, tetapi lebih pada proyek bernilai trilyunan rupiah yang sayang jika dihapuskan. Salah satu buktinya, sekolah dengan hasil UN bagus justru dikembangkan menjadi RSBI dan mendapat dukungan finansial lebih besar. Sementara sekolah di daerah terpencil dengan guru terbatas dan murid yang setiap hari harus berjibaku mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke sekolah, hanya mendapat perhatian ala kadarnya.
Sebenarnyalah memang naif untuk menilai proses belajar hanya dari beberapa hari UN dan juga dengan soal yang amat terbatas. Terlalu banyak hal yang tidak bisa dinilai dengan cara seperti itu.
Bagaimana kita akan menilai keberhasilan siswa dalam menaklukkan rasa takutnya? Kedalaman imannya? Kepekaan nuraninya? Kepedulian sosialnya? Kreativitas karyanya? Daripada nilai UN, masih banyak parameter yang lebih menentukan masa depan seorang anak.
Sangat disayangkan bahwa kita jarang menengok bagaimana dulu Negara Khilafah mampu mengangkat peradabannya menjadi mercusuar dunia melalui jalur pendidikan (dakwah). Pendidikan itu kunci kebangkitan peradaban, juga kunci untuk mempertahankan tingkat kemajuan yang telah diraih. Rahasia mundurnya peradaban Islam juga terletak ketika pendidikan makin diabaikan, sehingga generasi muda makin jauh dari Islam, dan akhirnya ketika mereka menduduki pos-pos penting, penerapan Islam menjadi semakin buruk.
Paradigma pendidikan Islam adalah menanamkan pada anak kecintaannya kepada ilmu agar dia menjadi Muslim yang lebih baik. Iman dan ilmu adalah saudara kembar. Iman tanpa ilmu itu laksana benih yang tidak tumbuh menjadi pohon. Ilmu tanpa amal itu laksana pohon yang tidak berbuah. Sedang amal tanpa ihlas itu laksana buah yang tidak enak dimakan.
Karena itu setiap Muslim wajib mampu membaca Alquran. Di sinilah jurang antara Timur dan Barat. Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci. Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.
Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas. Pendidikan benar-benar menjadi urusannya. Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, yang terjangkau semua orang. Mereka harus menguasai semua hal yang fardhu diketahuinya sebelum memasuki usia baligh.
Negara membayar cukup para gurunya. Para guru ini juga orang-orang pilihan yang berdedikasi tinggi, orang-orang yang ingin meninggalkan ilmu yang manfaat dan mencetak anak-anak shalih sebagai investasi amal yang tak akan terputus oleh kematian.
Di banyak tempat, sekolah sama sekali gratis. Di Spanyol misalnya, selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin. Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.
Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar. Yang “salah” adalah politik.
Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat. Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah. Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya. Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan. Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!
Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus. Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku. Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi. Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan. Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi. Pada pelajaran yang terkait ketrampilan teknologi, disediakan laboratorium yang cukup untuk menguji kemampuan siswa memecahkan masalah. Ini kemampuan psikomotorik, bukan sekadar kognitif (hafalan). Para aghniya juga berlomba-lomba (fastabiqul khairat) untuk berwakaf membantu fasilitas pendidikan dengan perpustakaan atau observatorium bintang. Mereka ingin meninggalkan amal jariyah, yang pahalanya juga tidak akan terputus oleh kematian.
Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar. Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.
Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya. Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah. Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru. Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.
Sebagian ayah memanggil guru ke rumah, biasanya untuk anak berbakat, seperti misalnya Ibnu Sina yang di usia 10 sudah hafal Alquran dan kitab-kitab kuno. Ini tentu tidak mungkin tertampung di sekolah umum. Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmetika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof. Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya. Baru saja dfgurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah. Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu. Itupun tidak lama. Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran. Dia diminta membaca buku yang tersulit. Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat. Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16! Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana. Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit. Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.
Tentu yang seperti Ibnu Sina ini memang luar biasa. Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid. Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan. Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah. Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama. Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar. Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.
Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji. Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan. Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism). Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan. Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut. Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.
Sedang untuk profesi tertentu, misalnya tabib, ada suatu komisi yang ditunjuk Khalifah untuk menguji kompetensi orang-orang yang mengklaim memiliki kemampuan pengobatan. Mereka akan ditanya, pada siapa mereka belajar, kitab apa yang telah mereka baca dan bagaimana mereka menghadapi suatu kasus. Kadang, meski orang mengklaim mampu mengobati segala penyakit, oleh komisi dia hanya diberi lisensi untuk mengobati sakit kulit, karena terbukti kompetensinya cuma itu. Ini sudah lebih maju 1000 tahun daripada dunia pengobatan alternatif di Indonesia saat ini yang tak jelas standarnya !
Pada masa itu siapapun boleh kapan saja mengujikan kompetensinya. Anak-anak rajin seperti Ibnu Sina atau Muhammad bin Idris asy-Syafi’i bisa menjadi ilmuwan sekaligus ulama top di usia amat muda karena pendidikan Islam berhasil menanamkan pada mereka cinta ilmu, sehingga mereka belajar tiga kali lipat orang normal, dan sistem juga memberi mereka kesempatan mengujikan kompetensinya, tanpa harus menunggu UN.
Posting Komentar