Politik Pertanian Dalam Islam
M.
Reza Rosadi
(Lajnah
Mashlahiyah HTI)
Pengantar
Selama ini sektor pertanian merupakan sektor yang paling sedikit mendapat perhatian pemerintah.Pembahasan tentang pertanian umumnya dilakukan tanpa dikaitkan dengan sektor lainnya.Akibatnya pembangunan ekonomi dipandang sebagai bagian yang terpisah dari pembangunan di bidang lainnya seperti bidang industri, perdagangan dan jasa serta sektor ekonomi lainnya.Padahal pandangan yang sempit inilah yang menyebabkan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang menjadi sangat jauh tertinggal dibandingkan pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi negara-negara maju.
Pertanian
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai bidang lainnya seperti
industri, perdagangan, jasa, pertanahan dan lain sebagainya. Semuanya adalah bagian integral yang saling berhubungan erat.
Karena itu ketika Islam berbicara tentang politik pertanian, politik
perindustrian, politik pertanahan, politik perburuhan, politik perdagangan –baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar
negeri—semuanya dibahas dalam satu kesatuan yang berhubungan erat. Semua bidang tersebut dalam perspektif Islam diarahkan kepada
upaya mewujudkan tercapainya tujuan politik ekonomi menurut Sistem Ekonomi
Islam. Politik
ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menjamin
pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara
keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan
kemampuan mereka.
Dalam
rangka mencapai terwujudnya tujuan politik ekonomi seperti itulah maka politik
pertanian Islam dijalankan. Politik
pertanian Islam dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang seharusnya ditempuh
oleh negara di bidang pertanian baik itu sektor produksi (primer), sektor
industri (sekunder) maupun sektor perdagangan dan jasa (tersier). Oleh karena itu, ketika membicarakan politik pertanian Islam, maka
itu berarti kita akan membahas politik pertanian di sektor produksi, pengolahan
(industri), serta perdagangan dan jasa. Hal
ini karena dalam kaca mata Sistem Ekonomi Islam, sektor pertanian erat
kaitannya dengan sektor industri, perdagangan, jasa dan juga tidak terlepas
dari sektor pertanahan. Atau
dengan kata lain politik pertanian menurut Islam sangat erat kaitannya dengan
politik perindustrian, politik perdagangan, politik perburuhan, politik
pertanahan dan lain sebagainya.
Untuk
melihat bagaimana gambaran politik pertanian Islam, maka akan dibahas berbagai
kebijakan yang seharusnya ditempuh oleh negara/pemerintah dibidang pertanian,
baik itu sektor primer (produksi), sekunder (pengolahan dan industri) maupun
sektor tersier (perdagangan dan jasa).Untuk memberikan gambaran yang lebih luas
pertama-tama akan dibahas dulu politik ekonomi Islam. Kemudian akan dibahas politik pertanian disektor primer, sekunder
dan tersier serta sektor pertanahan yang sangat erat kaitannya dengan
pertanian.
Politik Ekonomi Islam
Politik
ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan (peraturan dan perundangan) yang dipergunakan
untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. Politik
ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya
pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara
keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan
kemampuan mereka.
Dalam
rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan
kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia
diperhatikansebagai individu (pribadi), bukan sekedar sebagai suatu komunitas
yang hidup dalam sebuah negara. Hal
ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual
dan bukan secara kolektif. Atau
dengan kata lain bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh
kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga
dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekedar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur
dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat tanpa melihat secara
lebih jauh aspek distribusinya sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa setiap
individu telah terpenuhi kebutuhannya.
Politik
ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah
negara semata, tanpa memperhatikan adanya jaminan kepada setiap orang untuk
menikmati peningkatan taraf hidup tersebut. Politik
ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan mengupayakan kemakmuran individu
dengan membiarkan sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan
cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup individu-individu
lainnya. Akan tetapi, politik ekonomi Islam adalah semata-mata untuk menjamin
hak hidup setiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai dengan
interaksi-interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk
meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya di dalam gaya
hidup tertentu. Dengan
demikian, politik ekonomi Islam tentu berbeda dengan politik ekonomi kapitalis
dan politik ekonomi sosialis. Perbedaan
tersebut terlihat dari tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai
kebijakan (hukum-hukum) yang dipergunakan untuk memecahkan persoalan hidup
manusia. .Politik
ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok (primer) dalam
pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa
pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa
keamanan, pendidikan dan kesehatan. Barang-barang
berupa pangan, sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer)
manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari
kebutuhan tersebut. Demikian jasa-saja keamanan, kesehatan dan pendidikan,
adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia
dalam hidupnya.
Dalam
rangka memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat, maka Sistem Ekonomi Islam
telah menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan
tersebut dapat berjalan dengan baik. Kalau
di kaji hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan strategi pemenuhan seluruh
kebutuhan ini, maka akan dijumpai beberapa ketentuan yang menjelaskan hal itu.
Secara
garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan
kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa. Untuk
pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang Sistem Ekonomi Islam memberikan
jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi
dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan
mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok
tersebut.
Politik Pertanian Islam
Politik
pertanian yang dijalankan oleh negara Islam dapat dilihat dari berbagai
kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dibidang pertanian.Menurut Sistem Ekonomi Islam ada beberapa
kebijakan yang harus dijalankan pemerintah dalam bidang pertanian baik sektor
produksi primer, pengolahan hasil pertanian, maupun perdagangan dan jasa
pertanian. Dibawah
ini akan dipaparkan beberapa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mewujudkan terpenuhinya tujuan politik ekonomi Islam.
Kebijakan di Sektor Produksi Pertanian
Kebijakan
pertanian yang ditempuh oleh pemerintah di produksi primer dijalankan dalam
rangka meningkatkan produksi pertanian. Untuk
mencapainya dapat dilakukan dengan jalan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan berbagai cara yang dapat
meningkatkan produktivitas lahan. Sedangkan
ekstensifikasi dilaklukan dengan berbagai cara yang dapat menambah luas lahan
pertanian yang dapat ditanami.
Intensifikasi
pertanian ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih
baik seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan yang diperlukan dalam rangka
meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk
itu kebijakan subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian dapat
dilakukan. Hal lain yang dapat dilakukan dengan jalan menyebarluaskan
teknik-teknik modern yang lebih efisien dikalangan petani. Dalam rangka intensifikasi ini juga, negara harus menyediakan
modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu. Penyediaan
modal tersebut menurut pandangan Islam adalah dengan jalan pemberian harta oleh
negara (hibah) kepada individu yang tidak mampu agar
mereka dapat mengolah lahan yang dimilikinya. Pemberian
ini tidak dilakukan dengan jalan hutang, tetapi semata-mata pemberian cuma-cuma
untuk keperluan produksi pertanian. Dengan
cara ini petani-petani yang tidak mampu tidak akan terbebani untuk
mengembalikan hutang. Dengan
demikian produksi pertanian mereka benar-benar dapat digunakan untuk keperluan
pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Ekstensifikasi
pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung
terciptanya perluasan lahan pertanian yang diolah. Beberapa kebijakan tersebut adalah bahwa negara akan menjamin
kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati
(ihyaul mawat). Negara
akan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah mati dengan jalan
mengolahnya, memagarinya serta memnfaatkannya untuk keperluan hidup mereka. Selain itu negara akan memberikan tanah secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mampu dan mau bertani namun tidak memiliki
lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian yang sempit. Bahkan negara akan memaksa kepada siapa saja yang memiliki lahan
pertanian agar mereka mengolahnya.
Agar
politik pertanian yang dijalankan dapat mendukung tercapainya tujuan politik
ekonomi Islam yakni terpenuhinya kebutuhan pokok, maka berbagai kebijakan di
sektor produksi primer harus ditujukan pada upaya meningkatkan produksi
pertanian untuk komoditi-komoditi penting. Untuk
itu strategi peningkatan produksi pertanian harus diarahkan pada :
Pertama :
Meningkatkan produksi bahan makanan, mengingkat bahan makanan merupakan
kebutuhan pokok masyarakat. Meningkatkan
produksi bahan makanan pokok diperlukan agar dapat menyediakan bahan makanan
yang cukup seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.Selain itu juga untuk
mengantisifasi bahaya kelaparan ketika datangnya musim paceklik atau karena
adanya bencana alam atau dalam keadaan dimana negara Islam sedang menghadapi
embargo ekonomi akibat peperangan dan jihad yang dilakukan.
Kedua :
Meningkatkan produksi bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat pakaian seperti
kapas, wool, pohon rami dan sutra. Hal
ini mutlak diperlukan sebab bahan-bahan tersebut diperlukan agar dapat memenuhi
kebutuhan pokok berupa sandang (pakaian). Dengan
tersedianya bahan-bahan ini secara mencukupi, maka dapat menjauhkan diri
manusia dari bahaya telanjang dan butuhnya pakaian dalam keadaan apapun apabila
negara Islam dihadapkan pada embargo ekonomi negara-negara kafir.
Ketiga : Meningkatkan komoditi-komoditi yang memiliki potensi pasar luar
negeri yang menguntungkan. Komoditi-komoditi
pertanian penting baik itu yang berupa bahan pangan maupun bahan-bahan untuk
pakaian adalah komoditi yang harus menjadi prioritas. Komoditi-komoditi ini umumnya dapat menjadi andalan negeri-negeri
berkembang sebab negeri-negeri tersebut mempunyai sarana-sarana potensial yang
dapat mendukung hal tersebut.
Kebijakan di Sektor Industri Pertanian
Dalam
sektor perindustrian termasuk industri pertanian, nagara hanya akan mendorong
berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan tidak
akan diberi sebuah kesempatan pun untuk berkembang. Kebijakan ini hanya akan
tercapai jika negara bersikap adil dengan tidak memberikan hak-hak istimewa
dalam bentuk apapun kepada pihak-pihak tertentu. Baik itu hak monopoli dan
pemberian fasilitas khusus. Seluruh pelaku ekonomi akan diperlakukan secara
sama. Negara hanya mengatur jenis komoditi dan sektor industri apa saja yang
boleh atau tidak boleh dibuat. Selanjutnya, seleksi pasar akan berjalan seiring
dengan berjalannya mekanisme pasar. Siapa saja berhak untuk memenangkan
persaingan secara wajar dan fair. Tentunya, pelaku ekonomi yang memiliki
kualitas dan profesionalitas yang tinggi yang akan dapat memenangkan
persaingan.
Industri
pertanian akan tumbuh dengan baik, jika sarana dan prasarana yang mendukung
tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai. Sarana dan prasarana tersebut mulai
dari tersedianya bahan baku industri pertanian, yakni bahan-bahan pertanian
yang memadai dan harga yang layak, jaminan harga yang wajar dan menguntungkan
serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan serta tidak ada distorsi
yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang memihak. Selain itu juga adanya
prasarana jalan, pasar dan lembaga-lembaga pendukung lainnya seperti lembaga
penyuluhan pertanian, lembaga keuangan yang menyediakan modal bagi usaha sektor
industri pertanian. Hal
ini semua diperlukan
agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik.
Kebijakan di Sektor Perdagangan Hasil Pertanian
Sedangkan
disektor perdagangan, negara harus melakukan berbagai kebijakan yang dapat
menjamin terciptanya mekanisme pasar secara transparan, tidak ada manipulasi,
tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta tidak ada
penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat. Untuk itu ada
beberapa kebijakan yang harus ditempuh pemerintah agar industri pertanian dapat
tumbuh dengan baik, yaitu :
Pertama : Negara harus menyediakan berbagai prasarana jalan, pasar dan
sarana transportasi yang dapat mengangkut hasil pertanian dan hasil industri
pertanian secara cepat dan dengan harga murah. Dengan
cara ini maka produk-produk pertanian dan produk-produk industri pertanian
dapat diperoleh dengan harga yang murah karena biaya transportasi yang murah.
Kedua : Negara
harus menjamin agar mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil
industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi. Untuk itu negara harus membuat kebijakan yang dapat menjamin
transparannya harga komoditi pertanian.Berbagai penipuan dalam bentuk
manipulasi harga komoditi pertanian dan hasil industri pertanian harus dicegah
dan negara dapat memberikan sanksi kepada siapa saja melakukan penipuan
terhadap harga tersebut. Upaya
memanfaatkan ketidaktahuan sekelompok orang agar dia dapat memperoleh
keuntungan yang sangat besar adalah adalah harus dicegah. Karena itu dilarang
untuk menghadang kafilah yang akan masuk pasar agar dapat memperoleh harga yang
sangat murah, kemudian menjualnya di pasar. Dalam
hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa :
“Rasulullah saw telah melarang melakukan penghadangan terhadap
para pedagang” (HR. Bukhari-Muslim)
Juga
diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Janganlah kalian hadang kafilah-kafilah (orang-orang yang
berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang
milik orang desa.” (HR Bukhari-Muslim)
Larangan
Rasulullah saw terhadap aktivitas ini, agar harga yang berlaku benar-benar
transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan satu pihak –baik
penjual maupun pembeli—.Dengan demikian harga yang berlaku adalah harga pasar
yang sebenarnya.
Ketiga : Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang
wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Mekanisme
pasar yang berjalan normal, perekonomian akan berjalan dengan sebaik-baiknya.
Begitu terjadi gangguan dalam mekanisme pasar, perekonomian akan goncang dan
distribusi kekayaan akan tersumbat. Maka, adalah sebuah kewajiban jika secara
preventif negara menjaga agar mekanisme pasar dapat berjalan. Negara juga akan
mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang
didasari rasa keridlaan. Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam.
Islam bahkan melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga
baik harga maksimum maupun harga dasar. Terdapat riwayat tentang hal ini.
“Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw.
menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik,
tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah lalu menjawab : “Allahlah yang
sesungguhnya Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rizki. Aku berharap
agar bertemu kepada Allah tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang
adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR.
Ashabus Sunan).
Berdasarkan
hadits ini, mayoritas ulama sepakat tentang haramnya campur tangan penguasa
dalam menentukan harga. Melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih
penting dibandingkan melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama
perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar
di atas keridlaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan tindak
kezaliman.
Meskipun
demikian pemerintah diperbolehkan bertindak secara langsung untuk menjual
maupun membeli barang-barang kebutuhan masyarakat jika itu dilakukan untuk
menjamin agar “mekanisme harga” yang berlaku menghasilkan harga keseimbangan
yang wajar. Artinya
pemerintah boleh melakukan intervensi secara tidak langsung dengan jalan
bertindak sebagai pelaku pasar (pembeli maupun penjual). Namun negara tidak
boleh melakukan penetapan harga, baik harga dasar (Floor Price) maupun harga
maksimum (Ceiling Price).
Keempat :
Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering
terjadi dalam perdagangan baik penipuan yang dilakukan oleh penjual maupun yang
dilakukan oleh pembeli. Penipuan
dilakukan oleh penjual dengan jalan mereka menyembunyikan cacat barang dagangan
dari pembeli. Dalam
hal ini Rasulullah saw bersabda :
“Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu, melainkan
hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut.” (HR. Ahmad)
Sedangkan
penipuan yang dilakukan oleh pembeli adalah dengan jalan memanipulasi alat
pembayarannya (baik berupa uang maupun barang).
Kelima :
Pemerintah harus mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian
dan kebutuhan pokok lainnya. Penimbunan
merupakan suatu cara bagi manusia yang dapat memperbesar harta kekayaannya.
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu
naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga
yang tinggi, sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk menjangkau
harganya. Cara seperti ini adalah cara yang telah diharamkan oleh Islam. Dalam hal ini rasulullah saw bersabda :
“Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim)
“Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun, jika
mendengar harga murah dia merasa kecewa, dan jika mendengar harga naik dia
merasa gembira.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)
Keenam : Pemerintah
harus dapat mencegah perselisihan yang terjadi akibat tindakan-tindakan
spekulasi dalam perdagangan. Banyak
sekali jenis-jenis spekulasi yang mengandung kesamaran yang dilarang oleh
Islam, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadits.
Jabir
meriwayatkan bahwa, “Nabi saw. telah
melarang muhaqalah, muzabanah, mukhabarah dan tsunaiya kecuali
diketahui.” (HR. Tirmidzi).
Anas
meriwayatkan bahwa, “Rasulullah saw.
telah melarang muhaqalah, mukhadarah, mulamasah, munabazah dan muzabanah. (HR.
Bukhari)
Sistem
muhaqalah merupakan panjualan komoditas pertanian yang belum dipanen untuk
memperoleh hasil panen yang kering. Penjualan secara munabazah berarti
seseorang menawarkan barang yang dia miliki kepada orang lain dan penjualan
tersebut dianggap sah meskipun orang tersebut tidak memegang atau melihat
barang tersebut. Hal ini berarti penjual langsung melemparkan barang kepada
pembeli tanpa memberi kesempatan kepada pembeli untuk memeriksa barang dan
harganya. Rasulullah saw. melarang praktek jual beli ini karena terdapat
kemungkinan unsur penipuan dan kesalahan.
Penjualan
secara mulamasah artinya seseorang menjual sebuah barang dengan boleh memegang
tapi tanpa perlu membuka atau memeriksanya. Hal ini dilarang oleh Rasulullah
s.a.w karena keburukannya sama seperti cara munabazah.
Abu
Said al Khudri meriwayatkan bahwa “Rasulullah
melarang penjualan dengan cara Mulamasah”. (Diriwayatkan pula oleh Anas
dan Abu Hurairah).
Kedua
bentuk perdagangan seperti ini dilarang oleh Rasulullah saw. karena keduanya
tidak memberi kesempatan pembeli memeriksa atau melihat barang yang dibelinya
dan dapat dengan mudah ditipu atau dikelabui.
Dalam
bentuk penjualan muzabanah, buah-buahan ketika masih di atas pohon sudah
ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk memperoleh kurma dan anggur
kering. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai menjual buah-buahan segar
untuk memperoleh buah-buahan kering. Rasulullah melarang cara seperti ini
karena didasari atas perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika perkiraan
temyata salah.
Sebenarnya,
jual beli buah yang ada pada pohon tidak termasuk pada jual beli majhul atau
jual beli barang yang tidak ada, sebab komoditasnya yaitu buah memang sudah ada
di atas pohon.Berkaitan dengan persoalan ini ada beberapa hal yang penting
diperhatikan. Pertama,
bila buah itu belum layak dikonsumsi maka tidak boleh memperjualbelikannya.
Jabir
menyatakan tentang Nabi SAW : “Rasulullah SAW
melarang berjual beli pohon hingga baik (matang)” (HR.
Muslim).
“Rasulullah SAW melarang berjual beli buah hingga nampak
kelayakannya.” (HR.
Imam Muslim)
Hadits-hadits
ini dan masih banyak yang lainnya menunjukkan larangan menjualbelikan
buah-buahan sebelum matang. Kedua,
dari hadits-hadits itu pula dapat dikatakan bahwa bila buah-buahan itu sudah
mulai nampak kelayakannya untuk dimakan maka boleh diperjualbelikan.Berdasarkan
hal ini, sistem ijon yang membeli padi saat masih hijau dan belum nampak
kelayakannya termasuk yang dilarang.
Politik Pertanahan Menurut Islam
Tanah
merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling
serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khsusus yang tidak dimiliki oleh
faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya
terbatas dan tanah bersifat tetap. Sifat
lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah
produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga
telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan pertumpahan darah di dalam
masyarakat atau antar masyarakat. Tanah juga memberi andil besar dalam
perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme maupun
sosialisme dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial
terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan
menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat.
Pemilikan
tanah dianggap suatu tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di
negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki oleh indivdu seluas-luasnya,
bahkan menyewakannya kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang
dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan
inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak.
Gerakan Henry George tentang pajak tunggal (1886), yang memiliki jutaan
pengikut di Amerika Serikat, berdasarkan fakta-fakta seperti itu ia berpendapat
bahwa pada prinsipnya penyewaan tanah akan memberikan nilai tambah dan karena
itu dapat dikenakan pajak tinggi tanpa perlu mengubah perangsang produksi.
Namun
pemilikan atas tanah secara individu justru tidak diakui dalam masyarakat
sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil
kerjanya, dan statusnya semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara
faktual menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis
gagal mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka
masih tergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Kebutuhan-kebutuhan Rusia dipasok oleh Amerika Serikat sedangkan kebutuhan
China didatangkan dari Australia dan Kanada.
Hingga
kini persoalan tentang kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh
ekonomi kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab
oleh sistem ekonomi Islam.
Mekanisme Penguasaan Tanah
Hingga
kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama
perekonomian. Di beberapa negara feodal dimana tanah banyak dikuasai oleh tuan
tanah, ketimpangan kepemilikan dipecahkan dengan land reform. Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan adalah negara paling intens dalam sejarah modern yang
menjalankan land reform setelah perang dunia kedua. Land reforms dijalankan
dengan tujuan menghapuskan, secara psikologis dan materiil¸tuan-tuan tanah yang
menjadi motor penggerak di belakang negara-negara ini untuk mengobarkan perang.
Reformasi ini berdampak sangat jauh dalam mempersamakan distribusi pendapatan
di pedesaan dan turut menjaga perbedaan pendapatan antara kota dan desa
sehingga menjadi lebih sempit daripada negara lain. Akibat reformasi ini,
kekuatan kaum feodal menjadi hancur, meniadakan persewaan tanah pertanian dan
membatasi kepemilkan tanah garapan.
Sistem
ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena
mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian
penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang
menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengijinkan
terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk
mengelolanya. Karenanya, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki
karakteristik yang khas dengan adanya perbedaan prinsip dengan sistem ekonomi
lainnya.
Sistem
ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu
apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapat kandungan
bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap sah
secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun
memindahtangankan secara waris, jual beli dan pembelian. Sebagaimana
kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa
ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara melindungi harta milik
warga negara dan melindunginya dari ancaman gangguan pihak lain.
Dengan
demikian, kepemilikan atas tanah dapat dilakukan dengan prinsip yang sama dengan
komoditas lainnya. Tanah dapat dikuasai dengan waris, hadiah, dan jual beli
sebagaimana komoditas lainnya pun dapat dilakukan dengan transaksi ini. Namun
demikian, sistem ekonomi Islam juga telah menetapkan mekanisme lainnya dalam
penguasaan tanah secara khusus yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh
negara.
Menghidupkan Tanah Mati
Menghidupkan
tanah mati (ihya’ul mawat) artinya mengelola atau menjadikan tanah mati agar
siap ditanami. Yang dimaksud tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki
oleh seseorang, dan tidak terdapat tanda-tanda apa pun, seperti pagar, tanaman,
pengelolaan, ataupun yang lain.Tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang
akan menjadi milik orang bersangkutan. Hak kepemilikan ini ditetapkan
berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw.
“Siapa
saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain,
maka dialah yang lebih berhak.” (HR. Imam Bukhari dari Aisyah)
“Siapa
saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.”
(HR. Abu Daud)
“Siapa
saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak
miliknya.”(HR. Imam
Bukhari)
Seseorang
yang telah menghidupkan tanah mati, maka ia berhak atas kepemilikannya beserta
hak-hak lain sebagai konsekwensi kepemilikan. Pemilik tanah berhak memperoleh
manfaat tanah, mengelolanya, mendapatkan harga dari hasil penjualannya,
melakukan pertukaran atas tanah tersebut, mewariskan kepada ahli warisnya,
sebagaimana kepemilikan-kepemilikan yang lain.
Kepemilikan
tanah dengan mekanisme menghidupkan tanah mati dapat diberlakukan bagi Muslim
maupun Kafir dzimmi dalam negara Islam. Keduanya memiliki hak yang sama, tanpa
ada perbedaan sedikitpun. Dalam hal ini, negara sekalipun tidak dapat
membatalkan kepemilikan kafir dzimmi semacam ini karena alasan kekafirannya dan
demi kepentingan kaum muslimin.
Apalagi jika kemudian kepemilikan tanah dilimpahkan kepada Muslim.
Bentuk-bentuk kedzaliman berupa pemaksaan dan perebutan tanah harus dihindarkan
dalam sistem ekonomi Islam. Apabila ini terjadi, negara harus memaksa orang
yang merampas untuk mengembalikan kepada pemilik sah yang menghidupkan tanah
mati tersebut.
Mekanisme
menguasai tanah dengan cara menghidupkan tanah mati tidak memerlukan izin dari
negara. Sebab perkara-perkara yang dimubahkan tidak perlu minta izin dari imam
(khalifah).
Pemberian Negara
Pemberian
negara (iqtha’) adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan siap untuk
langsung ditanami, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh
seseorang. Dengan kata lain, mekanisme ini hanya berlaku pada tanah yang tidak
mati. Pemberian tanah oleh negara juga disertai dengan penganugerahan hak
kepemilikan secara utuh. Pemiliknya bebas menggunakan dan mengalihkan haknya
kepada orang lain. Baidhuri melaporkan bahwa pemberian Rasulullah kepada Bilal
ibn al-Harits oleh Rasulullah telah dijual oleh ahli warisnya kepada Umar. Hal
memberikan gambaran tentang jangkauan kepemilikan ini.
Pemberian
tanah oleh negara dalam pengertian di atas, memiliki pengertian yang berbeda
dengan sistem pemberian tanah (land reform) dalam sistem feodalisme. Karena
sistem ini bersifat khas dengan dilandasi semangat sosialisme yang tidak pernah
diakui kebenarannya oleh Islam. Sistem ini dilakukan negara dengan pemberian
tanah milik negara secara cuma-cuma. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal
AI-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah saw.
Tanah di Banu Quradza dan Banu Kanuka yang ditaklukkan dengan peperangan dan
tanah Banu Nazhir, Fidak dan Raim yang ditaklukkan secara damai dibagi-bagikan
oleh Rasulullah kepada kalangan Muhajirin dan Anshar yang miskin. Tanah-tanah
di Khaibar yang ditaklukkan melalui peperangan dibagi menjadi 36 bagian. 18
bagian disimpan untuk menanggulangi biaya negara dan sisanya dibagikan kepada
seratus orang kaum muslim. Rasulullah memberikan tanah kepada orang yang
dikehendaki sesuai dengan kebijakan yang tepat pada masa itu. Tentu, prinsip
pokok yang harus menjadi pertimbangan adalah mengutamakan kepada orang-orang
yang membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk mengelolanya.
Pengelolaan Lahan Pertanian
Konsepsi
kepemilikan tanah mengenai tanah mati dan kemudian dapat dimiliki secara
cuma-cuma bagi siapa saja yang menghidupkannya menyiratkan maksud tanah yang
dimanfaatkan lebih disukai dibandingkan tanah yang terlantar. Sistem ekonomi
manapun pasti menyadari hal ini karena peran penting tanah sebagai faktor
produksi bahan kebutuhan pokok manusia. Sistem Islam sendiri, dengan merujuk
berbagai hukum seputar tanah menunjukkan perhatiannya yang besar tentang hal
ini. Bahkan, pemberian tanah pertanian oleh negara dimaksudkan untuk dikelola
agar dapat memberikan kontribusi penyediaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya
yang dapat dihasilkan tanah dan bukan untuk ditelantarkan. Kasus Bilal al Muzni
dapat menggambarkan dorongan ini.
Yunus
menceritakan dari Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar berkata:
“Bilal bin Al-Harits AI-Muzni datang kepada Rasulullah saw., lalu dia meminta
sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran
luas kepadanya.” Ketika pemerintahan dipimpin oleh khalifah Umar, dia (Umar)
berkata kepadanya: “Wahai Bilal, engkau telah meminta sebidang tanah yang luas
kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memberikannya kepadamu. Dan Rasulullah saw.
tidak pemah menolak sama sekali untuk dimintai, sementara engkau tidak mampu
(menggarap) tanah yang ada di tanganmu.” Bilal menjawab: “Benar.” Umar berkata:
“Lihatlah, mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap, maka milikilah. Dan
mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami, dan kami akan
membagikannya kepada kaum Muslimin. ” Bilal berkata: “Demi Allah, aku tidak
akan melakukan sama sekali dan memberikan apa yang diberikan oleh Rasulullah
saw.” Umar berkata: “Demi Allah, engkau hendaknya benar-benar menggarapnya.”
Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu dia garap dari Bilal, lalu dia
membagikan kepada kaum Muslimin.
Negara
sebagai pihak yang mengontrol aktivitas ekonomi warga negaranya akan memaksa
para pemilik tanah pertanian untuk mengelola tanahnya secara optimal. Langkah
yang dilakukan oleh negara adalah mengambil hak kepemilikan tanah apabila orang
yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun. Tanah tersebut kemudian
akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan sanggup untuk mengelolanya.
Dengan demikian, pemilikan tanah pada hakikatnya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu. Tanah masih berhak untuk dimiliki dengan segala hak-hak yang
menyertainya selama yang bersangkutan mengelolanya sesuai dengan kegunaannya.
Islam hanya membatasi jangka waktu penelantaran selama masa tiga tahun. Sistem
pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadits-hadits
yang berkenaan dengan masalah ini.
Umar
bin Khaththab r.a. mengatakan: “Orang yang
memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarnya) setelah
(membiarkannya) selama tiga tahun.”
Yahya
bin Adam meriwatkan melalui sanad Amru bin Syu’aib mengatakan: “Rasulullah saw. telah memberi sebidang tanah kepada
beberapa orang dari Mazainah atau Juhainah, kemudian mereka mengabaikannya,
lalu ada suatu kaum menghidupkannya. Umar berkata: “Kalau seandainya tanah
tersebut pemberian dariku, atau dari Abu Bakar, tentu aku akan
mengembalikannya, akan tetapi (tanah tersebut) dari Rasulullah saw.” Dia (Amru
bin Syu’aib) berkata: “Umar mengatakan: ‘Siapa saja yang mengabaikan tanah
selama tiga tahun, yang tidak dia kelola, lalu ada orang lain mengelolanya,
maka tanah tersebut adalah miliknya.”
Hadits
ini tegas menjelaskan, bahwa bila pemilik tanah tersebut tidak mampu menggarap
tanahnya dan membiarkannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil
oleh negara dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab kepada Bilal AI-Muzni terhadap tambang
yang dimiliki oleh kabilahnya – yang terletak di sebelah Fara’ di daerah Hijaz.
Pengambilalihan
tanah yang ditelantarkan selama jangka waktu tiga tahun berlaku untuk semua
jenis tanah pertanian baik yang diperoleh dari pembelian, waris, hadiah,
pemberian negara maupun menghidupkan tanah mati. Hal ini karena illat (sebab
hukum) dicabutnya tanah adalah penelantaran selama tiga tahun tanpa memandang
jenis tanah tersebut. Jadi, tiap pemilik tanah yang membiarkan tanahnya selama
tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, dari
mana pun asal pemilikan tanah tersebut. Hal ini tidak bisa dianggap telah
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Sebab, syariah telah
menjadikan pemilikan tanah pertanian dengan cara dikelola. Semuanya ini adalah agar
tanah tersebut selalu ditanami dan dikelola secara optimal.
Oleh
karena itu, seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alatnya,
benih, hewan dan pekerja-pekerjanya. Dia juga boleh mempekerjakan para pekerja
untuk menanaminya. Apabila dia tidak mampu untuk mengusahakannya, maka dia akan
dibantu oleh negara. Namun, apabila tanah tersebut tidak ditanami oleh
pemiliknya, maka tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain sebagai
pemberian cuma-cuma, tanpa kompensasi apa pun, lalu dia menggarapnya. Apabila
pemiliknya tidak menggarapnya dan tetap menguasainya, maka dibiarkan selama
tiga tahun. Apabila tanah tersebut dibiarkan – tanpa dikelola – selama tiga
tahun, maka negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan diberikan
kepada yang lain. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan
diberi sesuatu (modal) dari baitul mal, sehingga orang yang bersangkutan bisa
mengelolanya secara optimal.
Larangan Sewa Lahan Pertanian
Seorang
pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian. Ia
tidak diperbolehkan untuk menyewakan tanah untuk pertanian dengan sewa yang
berupa makanan ataupun yang lain, yang dihasilkan oleh pertanian tersebut, atau
apa saja yang dihasilkan dari sana, sebab semuanya merupakan ijarah. Menyewakan
tanah untuk pertanian itu secara mutlak hukumnya haram.
Rasulullah
saw. bersabda: “Siapa yang
mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan
kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR.
Imam Bukhari)
Di
dalam Shahih Muslim disebutkan: “Rasulullah saw.
melarang pengambilan sewa atau bagian atas tanah”
Diriwayatkan, “Rasulullah saw. melarang menyewakan tanah. Kami
bertanya: Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan menyewakannya dengan bibit.
Beliau menjawab: ‘Jangan. ‘Bertanya (sahabat): ‘Kami akan menyewakannya dengan
jerami. Beliau menjawab: “Jangan.” Bertanya (sahabat): ‘Kami akan menyewakannya
dengan sesuatu yang ada di atas rabi. Beliau menjawab: “Jangan. Kamu tanami
atau kamu berikan tanah itu kepada saudaramu.” (HR.
Imam Nasa’i)
Dalam
hadits shahih dinyatakan : “Bahwa beliau
(Nabi) melarang pengambilan sewa dan bagian atas suatu tanah, serta menyewakan
dengan sepertiga ataupun seperempat.” Imam Abu Daud meriwayatkan dari Rafi’ bin
Khudaij, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang mempunyai tanah,
hendaknya menanami tanahnya, atau hendaknya (diberikan agar) ditanami oleh
saudaranya. Dan janganlah menyewakannya dengan sepertiga, seperempat, maupun
dengan makanan yang sepadan.”
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar diberitahu Rafi’ bin
Khudaij: “Bakwa Nabi saw. melarang
menyewakan lahan pertanian.” Kemudian lbnu Umar pergi menemui Rafi’, lalu saya
bersamanya, dan kami menanyainya. Dia berkata: “Nabi saw. telah melarang sewa
lahan pertanian.” Imam Bukhari meriwayatkan dari Salim, bahwa Abdullah bin Umar
telah meninggalkan sewa tanah.
Hadits-hadits
di atas tegas menunjukkan larangan Rasulullah saw. terhadap penyewaan tanah.
Larangan tersebut, menunjukkan adanya perintah untuk meninggalkannya sekaligus
mengandung qarinah (indikasi) yang menjelaskan tentang adanya larangan yang
tegas. Alternatif Islam tentang hal ini, adalah mempekerjakan orang lain untuk
mengelola lahannya atau jika memang tidak mampu sama sekali, tanah hendaknya
diberikan kepada orang lain sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
Mereka
bertanya kepada Rasulullah, “Kami akan
menyewakannya dengan bibit.” Beliau menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya: “Kami
akan menyewakannya dengan jerami.” Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Mereka
bertanya lagi: “Kami akan menyewakannya dengan rabi’ (danau)”. Beliau tetap
menjawab: “Jangan.” Kemudian beliau pertegas dengan sabdanya: “Tanamilah, atau
berikanlah kepada saudaramu.”
Larangan
penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar
lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya
seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan sementara siapapun
yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan maka tidak dibenarkan untuk
menguasai lahan pertanian.
Penutup
Demikianlah
beberapa pandangan Islam tentang politik Pertanian. Kalau kita perhatikan ternyata pertanian sebagai salah satu bidang
tidaklah terlepas dengan bidang-bidang lainnya seperti industri, perdagangan,
pertanahan dan sektor lainnya. Lemahnya
pembangunan sektor pertanian selama ini terjadi karena sektor pertanian
dianggap sebagai sektor yang berdiri sendiri dan terpisah dari sektor lainnya. Padahal secara faktual ia sangat erat hubungannya dengan
sektor-sektor lainnya. Karenanya
adalah suatu keharusan untuk menjadikan sektor pertanian sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari berbagai sektor kehidupan lainnya.
Islam
sebagai sebuah prinsip ideologi telah menjadikan bahwa pertanian adalah bagian
integral dari persoalan manusia yang harus dipecahkan dan diatur dengan
sebaik-baiknya sebagaimana sektor lainnya. Untuk
itulah Islam ketika membahas pertanian maka ia dibahas sebagai bagian integral
dari dari berbagai bidang kehidupan lainnya. Dan yang lebih penting lagi bahwa
pembahasan Islam tentang politik pertanian diarahkan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pokok manusia dan upaya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.
Daftar Bacaan
Abdullah,
M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit
Darul Bayariq. Aman.
Al-‘Assal,
A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV. Pustaka
Setia.
Al-Baghdady. A. 1987. Serial Hukum Islam : Penyewaan Tanah Lahan; Kekayaan
Gelap; Ukuran Panjang, Luas, Takaran dan Timbangan (Terjemahan). Penerbit. Al-Ma’arif. Bandung.
Al-Badri,
A. A. 1992. Hidup
Sejahtera dalam Naungan Islam (Terjemahan). Penerbit
Gema Insani Press. Jakarta.
An-Nabhaniy,
T. 1990. An-Nizham
Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit
Darul Ummah. Bairut.
Arief, S. 1998. Teori
dan Kebijaksanaan Pembangunan. Penerbit
CIDES. Jakarta.
Az-Zein,
S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam
Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbadingan
(Terjemahan). Penerbit
Husaini. Bandung.
BPS. 1999. Statistik
Indonesia 1998. Badan
Pusat Statistik. Jakarta-Indonesia.
Chapra,
M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer
(Terjemahan). Penerbit
Risalah Gusti. Surabaya.
Magnis-Suseno,
F. 1999. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mannan,
M.A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Penerbit
PT. Dana Bhakti Wakaf.Yogyakarta.
Mubyarto. 1999. Reformasi
Sistem Ekonomi : Dari
Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan.Penerbit Aditya Media. Yogyakarta.
Qardhawi,
Y. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. (Terjemahan). Penerbit. Gema
Insani Press. Jakarta.
Rahman. 1995. Doktrin
Ekonomi Islam, Jilid II (Terjemahan). Penerbit
Dana Bhakti Wakaf.Yogyakarta.
Sukirno,
S. 1985. Ekonomi
Pembangunan. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Tjokroamidjojo,
B. 1976. Perencanaan Pembangunan. PT. Toko Gunung Agung. Jakarta.
Ya’kub,
H. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Cetakan
ke-3. (Terjemahan). Penerbit
CV.Diponegoro. Bandung.
Zallum,
A. Q. 1963. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Penerbit
Hizbut Tahrir.Baerut.
………………. 1983. Al-Amwaal
fi Daulatil Khilafah. Penerbit
Darul Ilmu lil Malayiin. Baerut-Lebanon.
Posting Komentar