Dinding Pemisah Memisahkan Banyak Keluarga Palestina
Berita Catatan Kesederhanaan-Keenam anak- anak Ahmad dan Roqaya Al-Khateeb berpindah-pindah setiap minggu diantara tempat tinggal kedua orang tuanya, sebagian tinggal menghabiskan waktu dengan ibu mereka di Yerusalem dan yang lainnya dengan ayah mereka di Tepi Barat.
Namun, kisah mereka bukan seperti kisah keluarga lain yang berantakan akibat perceraian.
Israel memberlakukan pembatasan pergerakan warga Palestina di Yerusalem Timur dengan dinding pemisah, yang terbuat dari semen yang menjulang tinggi, memisahkan antara keluarga dan antara rakyat Palestina; termasuk keluarga Al-Khateeb. Rumah- rumah orang tua Palestina, yang dibangun oleh nenek moyang mereka, dipisahkan oleh jarak kurang dari dua kilometer, namun setiap salah satu rumah itu terletak pada satu sisi dinding pemisah.
Roqaya dan anak- anaknya memiliki izin dari tentara pendudukan Israel, sehingga memungkinkan mereka masuk ke rumah mereka di Yerusalem melalui salah satu pos pemeriksaan keamanan di dinding pemisah, tapi Israel melarang suaminya masuk karena alasan keamanan.
Ahmad Al- Khateeb, 45 tahun, mengatakan:” Kami tidak memiliki kehidupan, kami ingin hidup sebagai sebuah keluarga; ini bukan hidup yang normal.”
Yerusalem merupakan jantung konflik antara pendudukan Israel dan Palestina yang berusaha merebut kembali kota itu dan mendirikan sebuah negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Kota ini telah diduduki oleh Israel sejak tahun 1967, dan sekarang mengklaim seluruh kota sebagai ibu kotanya.
Terdapat peringatan bahwa keadaan di Yerusalem tidak menopang kehidupan; karena tidak sedikit kehidupan dari puluhan ribu warga Palestina telah hancur oleh dinding pemisah itu dan rezim Israel.
Dengan banyaknya warga Palestina yang melihat Yerusalem Timur sebagai ibu kota spiritual, mereka juga tergantung pada kota itu untuk mendapatkan pekerjaan, perawatan kesehatan dan layanan lainnya.
Kisah keluarga Al- Khateeb dimulai di desa Hazma di Tepi Barat, dekat Yerusalem. Setelah pendudukan Yerusalem Timur pada tahun 1967, Israel melanjutkan untuk memperluas perbatasan kota ke Tepi Barat, dengan merebut tanah dari lebih 12 desa, termasuk tanah dari desa Hazma.
Pendudukan Israel kemudian berlanjut untuk memperluas Yerusalem sebagai ibu kota, sebuah langkah yang tidak diakui oleh sebagian besar negara di dunia. (middleeastmonitor.com, 1/5/2014)
Posting Komentar