PERAN DAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL MUSLIM DALAM MEMBANGUN PERADABAN ISLAM
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Research Professor in Spatial Information System
Geospatial Information Agency
Jl. Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong-Indonesia
famhar@yahoo.com, fahmi.amhar@big.go.id
Geospatial Information Agency
Jl. Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong-Indonesia
famhar@yahoo.com, fahmi.amhar@big.go.id
Abstract
Muslim Intellectuals have submitted some proposals as solution for some problematics in the world. But some of them missed the whole system-framework and the islamic paradigm, so that their solutions are not yet effective. Islam gives inspirations to many aspects in science and technology. Islam gives the frame how research could be done. And Islam gives the guidence, how the technology should be applied. Technology without Islam will enslave, Islamic world without technology will be colonialized, but technology guided by Islam will liberate the world from slavery and colonialism.
The society is built by individual personality (taqwa); by public opinion which guided the social-control; and by state policy. Muslim intellectuals should take the responsibilty to improve the awareness of the umma and change the dominant opinion – which now is secular-liberalism one. And muslim intellectuals should aso change the opinion of political leaders. When the islamic awareness of leaders improved, then the leader can change the opinion of the umma so that they can be transformed to be a better society.
Abstrak
Cendekiawan Muslim telah mengajukan berbagai proposal sebagai solusi untuk beberapa problematika di dunia. Tetapi beberapa dari mereka masih belum menangkap kerangka sistem keseluruhan dan juga belum mendasarkan pemikirannya pada paradigma Islam, sehingga solusi mereka belum efektif. Islam memberikan inspirasi tentang banyak aspek dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam memberikan kerangka bagaimana penelitian bisa dilakukan. Dan Islam memberikan bimbingan , bagaimana teknologi harus diterapkan. Teknologi tanpa Islam akan memperbudak, dunia Islam tanpa teknologi akan dijajah, tetapi teknologi dipandu oleh Islam akan membebaskan dunia dari perbudakan dan penjajahan.
Masyarakat dibangun oleh kepribadian individu (taqwa), opini publik yang memandu kontrol sosial; dan oleh kebijakan negara. Intelektual Muslim harus siap mengambil tanggungjawab untuk meningkatkan kesadaran umat dan mengubah pendapat dominan – yang sekuler – liberal. Dan intelektual muslim harus dapat mengubah opini para pemimpin politik. Ketika kesadaran islam para pemimpin membaik, maka pemimpin dapat lebih mudah mengubah pendapat umat sehingga mereka dapat ditransformasikan untuk menjadi masyarakat yang lebih baik.
1. Pendahuluan
Populasi umat Islam di dunia saat ini ditaksir ada 1,5 Milyar manusia. Dari jumlah ini, estimasi kalangan akademisinya adalah 10% populasi (di Indonesia menurut BPS adalah 13.28%), artinya ada 150 juta akademisi. Mereka tersebar di berbagai disiplin ilmu, dan juga di berbagai negara.
Beberapa gagasan yang sering muncul di dunia Islam menunjukkan potensi besar Intelektual Muslim dalam membangun peradaban Islam. Mereka telah mengusulkan banyak sekali solusi dalam topik-topik seperti:
Politik global dan dampaknya di dunia Islam. Ini kajian yang cukup luas, mencakup geopolitik, hubungan internasional, interdependensi antar negara, hingga issu-issu militer dan keamanan. Mereka menyadari bahwa dunia Islam terletak pada posisi-posisi paling strategis di dunia, baik dari sisi sumberdaya alam maupun urat nadi ekonomi dunia.
Tantangan pembangunan kepemerintahan yang baik (good governance). Tidak dapat dipungkiri bahwa negeri-negeri muslim masih dibelit oleh isu-isu korupsi yang kronis, birokrasi yang tidak efisien, dan pelayanan masyarakat yang di bawah standar minimum. Di tingkat dunia bahkan ada sinyalemen bahwa tingkat indeks islamisitas negara-negara muslim ada di bawah negara-negara Barat (Rehman & Askary, 2010).
Tantangan berikutnya adalah ekonomi. Tingkat industrialisasi yang sangat tinggi di dunia Barat, juga di China dan India, telah membuat mereka justru mampu memproduksi jauh lebih efisien dari dunia Islam. Export utama dunia Islam masih didominasi oleh sumber daya alam mentah. Akibatnya dunia Islam masih sangat tergantung kepada peran di luar dunia Islam. Dari 20 anggota G20, tersebut Indonesia, Turki, dan Saudi Arabia. Namun perannya di dunia masih sangat minim. Mereka diambil lebih karena peranannya sebagai pasar terbesar, tempat asal migrant worker dan lumbung energi. Sebaliknya, dalam teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, dunia Islam masih sangat tergantung pada asing, padahal ini adalah teknologi kunci dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Tantangan berikutnya adalah kesehatan dan keamanan pangan. Berbagai indikator kesehatan seperti angka harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi di dunia Islam masih lebih jelek dari negara-negara Barat atau Jepang.
Manajemen energi dan sumber daya alam juga menjadi hal yang amat sensitif. Dunia Islam dikaruniai potensi sumberdaya migas, batubara dan geothermal terbesar di dunia (Amhar, 2007). Namun secara parsial keberadaan SDA ini justru sering membuat mereka berlaku tidak efisien, yang kemudian berimbas pada rusaknya lingkungan atau memunculkan konflik dan perang saudara di antara mereka sendiri.
Masalah wanita dan keluarga juga menjadi perhatian yang istimewa. Wanita dan keluarga menjadi benteng terakhir yang memperhatikan nilai dan budaya Islam, dan juga merupakan indikator yang baik untuk menilai tingkat keterikatan suatu komunitas dengan Islam. Namun kita harus mengakui, bahwa justru di negeri-negeri Islam, hak-hak yang diberikan Islam kepada wanita dan keluarga justru lebih sering diabaikan daripada di negara-negara Barat. Di dunia Islam, kapitalisme justru lebih sering memakan korban wanita dan keluarga, baik secara langsung, maupun tidak langsung melalui kemiskinan, keterbelakangan dan kekerasan.
Terakhir adalah masalah pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi. Kita tidak usah malu mengakui bahwa pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi kita masih tertinggal. Paper-paper ilmiah atau penemuan-penemuan teknologi masih belum banyak yang dihasilkan dunia Islam. Meski sudah jutaan anak-anak muda dari negeri Islam yang telah menuntut ilmu di negara-negara maju, mereka belum mampu mengangkat level sains dan teknologi negerinya. Sebagian dari mereka justru memilih tetap tinggal dan berkarier di negara-negara maju, karena iklim pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi di sana jauh lebih kondusif.
2. Permasalahan
Masalah-masalah seperti di atas telah banyak didiskusikan dan diseminarkan secara akademis, namun pada umumnya hanya secara parsial. Penyelesaiannya secara terintegrasi masih jarang didengar. Hal ini karena para intelektual di dunia Islam memang masih belum terbiasa melakukan sesuatu di atas atau di luar lingkup akademisnya. Para akademisi dididik untuk fokus hanya pada bidang kajian yang sangat sempit, sehingga justru sering kehilangan konteks atau framework yang melingkupi persoalan itu.
Selain persoalan ruang lingkup, para akademisi di dunia Islam juga sering belum memiliki paradigma keilmuan yang khas Islam. Fenomena-fenomena alam yang bersifat empiris memang memiliki hukum-hukum alam yang sama, lepas dari soal apa ideologi atau agama ilmuwan yang menelitinya. Namun seorang muslim setidaknya perlu memiliki paradigma keilmuan seperti ontologi, epistemologi dan aksiologi Islam yang khas. Akibatnya, sebagian dari mereka terjebak pada “islamisasi sains” yang tak lebih dari mencocok-cocokkan penemuan sains dengan ayat suci, “saintifikasi islam” yaitu mencari-cari sains di balik suatu ajaran Islam atau “sains ta’wili” yaitu menebak-nebak sains sebagai makna suatu ayat yang sebenarnya mutasyabihat (Amhar, 2012).
Memang ada persoalan-persoalan pengaturan manusia yang memerlukan sistem, dan itu memang sebagian diselidiki secara ilmiah. Muncullah ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan dan sebagainya, yang seharusnya harus dapat dipisahkan mana yang merupakan sistematisasi fenomena empiris, dan mana solusi yang muncul dari sebuah pandangan hidup. Ini mestinya menjadi “sains ijtihadi”.
Adapun terhadap fenomena alam seperti fisika, astronomi atau biologi, juga sains yang dibangun di atasnya, Qur’an bukanlah alat penguji kebenaran ilmiah karena memiliki domain yang sama sekali berbeda. Tetapi Qur’an memberikan ratusan ayat yang sebaiknya memotivasi dan menginspirasi ilmuwan muslim untuk meneliti. Pada saat yang sama Islam memberikan berbagai batasan syar’i atas metodologi ilmiah yang dilakukan. Ada beberapa cara pengungkapan ilmiah atau eksperimen yang dilarang karena akan melanggar syara’, misalnya experimen terhadap manusia. Dan di hilir, Islam memberikan arah, untuk apa sebenarnya sains dan teknologi itu ada. Islam tanpa sains dan teknologi akan terjajah. Sains dan teknolog tanpa Islam akan menjajah. Islam yang memandu sains dan teknologi akan membebaskan manusia dari penjajahan!
Setiap muslim seharusnya pernah mendengar hadits Rasulullah “Barang siapa bangun di pagi hari, namun tidak terpikirkan problem umatku, dia bukan bagian dari umatku”. Setiap orang yang diberi kapasitas lebih oleh Allah swt, tentu diharapkan memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada umat.
Demikian pula seorang akademisi. Setelah memerintahkan seorang muslim untuk mempelajari alam semesta (QS 88:17-20), Allah memerintahkan untuk memberi peringatan (QS 88:21-22). Ketika mulai muncul menjalankan peran tanggungjawab keumatan inilah, dia beralih dari sekedar seorang akademisi menjadi seorang intelektual. Cuma mulai dari mana?
Akademisi muslim yang telah merasa terpanggil tanggungjawabnya terhadap umat ini lalu mencoba ikut memunculkan solusi. Namun lack konteks dan paradigma membuat mereka sering terseret pada suatu jebakan “lingkaran setan”. Ini bisa berawal dari asumsi yang mendasari tentang apa sesungguhnya akar persoalannya. Tetapi tentu saja tidak masalah bila memang dia merasa hanya bisa menyumbangkan sesuatu yang terkait kompetensinya. Berikut ini adalah gambaran contoh jebakan lingkaran setan.
Ada yang menyangka bahwa umat ini terpuruk karena lemah dalam sains dan teknologi. Karena itu mereka fokus pada penguasaan teknologi, membangun lembaga-lembaga untuk meraih keunggulan teknologi, atau mengirim anak-anak muslim untuk belajar teknologi ke negara maju.
Apakah upaya ini berhasil? Berapa sarjana Muslim yang telah menguasai teknologi tinggi? Apakah ini berkorelasi dengan kemajuan umat secara keseluruhan? Setelah dianalisis, penguasaan teknologi tinggi tersebut ternyata tidak dapat diaplikasikan, karena kecilnya dana yang tersedia atau kesempatan yang ada untuk mewujudkannya menjadi industri dan lalu menjadi bisnis mandiri yang memicu pertumbuhan ekonomi.
Kalau demikian, apakah seharusnya lebih fokus ke ekonomi? Kalau demikian, maka yang diperbanyak adalah membangun sektor ekonomi dan keuangan untuk permodalan umat. Wujudnya antara lain berupa pendirian lembaga-lembaga pengembangan calon enterpreneur dan pengucuran kredit mikro.
Namun, mengapa sudah banyak pakar ekonomi, tetapi negaranya termasuk negara miskin? Mengapa negeri kita sangat kaya raya, tetapi rakyatnya sangat miskin? Setelah dianalisis: kekayaan dan kepakaran ekonomi tidak berguna jika orang-orangnya tidak bermoral (berakhlaq), banyak yang KKN atau menjalankan bisnis yang tidak halal.
Kalau begitu apakah ahlaq lebih penting? Apakah fokus pada perbaikan akhlaq akan berhasil? Kalau demikian, maka diperbanyak pengajian-pengajian yang menyentuh hati. Diperbanyak kesempatan orang untuk beristighfar, berzikir, atau berdoa bersama. Diperbanyak siraman ruhani di televisi atau media lainnya.
Namun mengapa orang-orang yang semula berakhlaq baik, ketika masuk sistem negara (duduk di legislatif, birokrasi, penegakan hukum), atau dunia bisnis, malah lebih sering menjadi rusak, secara sadar maupun tidak? Kalaupun ada yang tetap baik, mengapa justru dia akan teralienasi dan tersingkirkan? Kalau ada yang mencoba sedikit memperbaiki sistem, mengapa mereka justru malah ditendang?
Apakah ini berarti kita perlu melahirkan lebih banyak manusia yang berakhlaq untuk mewarnai sistemnya? Sehingga, apakah mewujudkan pendidikan Islam menjadi fokus yang lebih penting? Apakah dengan mendirikan banyak sekolah islam dan pesantren akan berhasil?
Namun setelah pendidikan ini dirintis, sekarang sudah banyak sekolah islam, mutunya justru lebih rendah dari sekolah negeri? Mengapa yang didirikan sekolah islam, tetapi tetap memakai kurikulum yang sama dengan sekolah negeri? Mengapa sekolah islam yang baik iuran SPP-nya jauh lebih mahal dari sekolah negeri? Mengapa lulusan sekolah islam kualitas dan perilakunya tidak lebih baik dari sekolah negeri?
Apa Arti Dari Semua Ini?
Ternyata, berbagai upaya yang telah diupayakan intelektual muslim tersebut masih belum menyelesaikan masalah Umat. Setiap upaya yang dilakukan seakan-akan seperti masuk kedalam lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Lantas, apa yang seharusnya diupayakan oleh para intelektual muslim?
3. Pembahasan
Hambatan-hambatan yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi itu karena kita memahami sejarah Nabi belum dalam kerangka mencari inspirasi, bagaimana membangkitkan umat secara mendasar dan tuntas?
Akibatnya kita gagal melihat, apa yang hilang di tubuh umat ini, sehingga mereka sedemikian terpuruk di kancah pergaulan internasional? Padahal mereka masih merasa memiliki Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Kitab yang sama, dan Kiblat yang sama !
Ini karena ada sesuatu yang hilang, yaitu penerapan Islam yang sama!
Islam diterapkan di masyarakat oleh tiga pilar: ketaqwaan individu, kontrol sosial masyarakat, dan oleh negara. Setelah didalami, ternyata Islam memiliki lebih banyak kewajiban yang berupa fardhu kifayah daripada fardhu ain. Yang fardhu ain juga lebih banyak yang baru sempurna dengan suatu aktivitas kolektif.
Contoh: sholat adalah aktivitas individual. Tetapi bagaimana menciptakan suasana yang kondusif, agar orang termotivasi untuk sholat, misalnya dengan penyediaan fasilitas yang baik dan memadai, pengaturan jadwal kegiatan, dan pengumandangan adzan pada waktunya dll, adalah tanggungjawab kolektif.
Nah saat ini, dari dua pilar itu tinggal satu yang tersisa, yaitu ketaqwaan individu, itupun relatif sedikit dibandingkan populasi. Adapun kontrol sosial sekarang sudah sangat kabur. Sudah puluhan tahun, kultur yang ada hanya mentolerir pengamalan ajaran Islam, bukan memotivasinya. Yang mengabaikan kewajiban atau melanggar larangan agama semakin merasa biasa-biasa saja. Bahkan sebagian hal-hal yang diwajibkan oleh Islam masih memerlukan ijin untuk diterapkan. Inilah opini yang saat ini berkuasa.
Contoh paling aktual adalah jilbab. Dulu jilbab tidak boleh ada di pasfoto ijazah atau KTP. Sekarang sudah ditolerir, kecuali di kepolisian. Para polwan masih menunggu SK untuk jilbab sebagai pakaian seragam. Padahal justru di negara-negara sekuler seperti Amerika atau Swedia, sudah lama polwan muslimah di sana bisa berjilbab, walaupun juga tidak didorong.
Inilah opini umum yang sekuler dan liberal. Disebut sekuler adalah tatkala orang sampai beranggapan bahwa manusia lebih tahu urusannya dan tidak perlu membawa-bawa Tuhan ketika berbicara tentang pengaturan masyarakat. Setelah masyarakat memisahkan Islam dari persoalan kehidupan publik, maka yang terjadi adalah: di satu sisi muncul asketisme (ibadah yang berlebihan dan tidak peduli urusan dunia), dan di sisi lain muncul liberalisme (yaitu yang untuk urusan politik, ekonomi, peradilan, pendidikan, pergaulan dan hubungan luar negeri tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan).
Sedangkan negara, yang mestinya tinggal memaksa mereka yang ketaqwaannya ataupun kontrol sosial di lingkungannya belum mendorong menaati Islam, justru saat ini hanya mengikuti opini tadi. Demokrasi adalah doktrin bahwa hukum atau aturan bermasyarakat harus diambil dari kehendak rakyat. Ketika opini umum yang dominan di tengah rakyat masih sekuler dan liberal, otomatis demokrasi hanya akan menghasilkan hukum yang sekuler-liberal. Pemilu di beberapa negeri Islam membuktikannya.
Apalagi bila demokrasi ini sudah bias dengan kepentingan para sponsor dan pemainnya. Para sponsor ini mampu membayar media, pengamat, konsultan politik, LSM, hingga para penegak hukum yang bisa disuap. Para sponsor ini adalah kaum kapitalis hitam, baik domestik ataupun asing, dan mereka memandang aktivitas politik selayaknya investasi bisasa. Sebaliknya, para pemain ini memandang politik hanya sebagai petualangan untuk mencari keuntungan, bukan aktivitas untuk melayani urusan publik. Akibatnya demokrasi akan tersandera tiga kali: pertama oleh opini sekuler-liberal, kedua oleh dominasi para kapitalis hitam, dan ketiga oleh para petualang.
Kalau kita mempelajari sejarah Nabi dalam konteks transformasi masyarakat, kita akan melihat bahwa Nabi melakukan perubahan yang fundamental di tiga aspek tersebut. Nabi merubah individu dengan menanamkan tauhid. Selanjutnya Nabi membalikkan opini umum di masyarakat dengan menyodorkan ayat-ayat yang bertentangan dengan opini tersebut.
Oleh sebab itu, ketika pada masa kini, opini umum yang dominan dan bertentangan dengan ayat-ayat suci adalah sekulerisme dan liberalisme, maka tugas para intelektual juga untuk membalikkan opini ini. Sekulerisme-liberalisme sudah dari awal bertentangan dengan tauhid.
Proses transisi pembalikan opini ini tentu memerlukan proses yang panjang dan menyakitkan. Namun ini semua proses yang perlu dilalui, sampai didapatkan suatu “massa kritis” yang siap memanggul beban perubahan.
Setiap perubahan selalu dimulai dengan satu seorang dengan sekelompok kecil pengikutnya sebagai “pioner” yang tak akan lebih dari 0,5% populasi. Kemudian mereka akan diikuti oleh kelompok “early adopters”. Jumlahnya akan mencapai 5%. Selebihnya perkembangan akan bergulir cepat, sehingga sebagian besar populasi akhirnya akan mengikuti sebagai “early majority”. Di sinilah terjadi massa kritis. Total 50% lebih. Sisanya akan ikut sebagai “late majority”. Kemudian akan ada sedikit sisa yang ketinggalan (“laggard”), yang tak akan sampai 1%. Sepertinya sunnatullah di mana-mana memang begitu.
Massa kritis ini adalah mereka yang memang siap dengan segala risiko sebuah transformasi sosial. Tidak ada transformasi sosial yang langsung dapat dinikmati. Selalu akan ada masa-masa sulit, masa-masa kurang tidur, masa-masa penuh ketakutan, kekurangan dan ketidakpastian.
Di situlah peran dan tanggungjawab yang harus diambil alih para intelektual. Merekalah yang harus menginspirasi para pemimpin politis agar maju, mengambil alih tanggungjawab memimpin masyarakat menghadapi masa-masa yang berat.
Bila para intelektual ini lebih cinta dunia dan takut mati, maka para pemimpin pun akan menjadi lemah dan akhirnya rusak. Kala pemimpin rusak, maka umatpun akan rusak. Sebaliknya, jika para intelektual ini lebih mencintai Allah dan mati syahid, bila mereka tidak takut menderita, maka para pemimpin pun akan menjadi kuat, menjadi besar hatinya, dan berusaha menjauhi kerusakan. Dan jika ada pemimpin-pemimpin yang seperti ini, maka umatpun akan bisa diperbaiki, karena ada teladan yang bisa dipercaya. Umatpun akan bisa dibangkitkan, dan bisa diajak bergerak menuju tugas sejarahnya!
Dan sebagaimana sebuah pekerjaan raksasa, perubahan ini tidak bisa tidak kecuali secara bersama-sama dalam sebuah jejaring (network). Inilah dakwah berjama’ah, di mana para intelektual akan saling mengisi, saling memperkuat dan saling mengoreksi.
4. Penutup
Inilah saatnya kaum intelektual untuk memutus lingkaran setan itu. Lingkaran setan itu tetaplah akan menyesatkan manusia, selama tidak ada orang-orang yang memilih jalan taqwa daripada jalan durhaka.
Inilah saatnya intelektual muslim menyatukan Visi dan Missi hidupnya. Visi hidupnya yang pertama sebelum menjadi intelektual, adalah senantiasa menjadi hamba Allah, yang dihadirkan ke dunia, untuk menjadi yang terbaik, untuk menjadi rahmat seluruh alam.
Inilah saatnya, intelektual muslim menyadari, bahwa mereka adalah bagian dari umat yang terbaik, yang harus menghadirkan ke dunia ini karya-karya terbaik, yang memiliki tanggungjawab untuk mengingatkan manusia, menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar dan membuktikan keimanan kepada Allah.
Inilah saatnya mereka duduk bersama untuk mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh potensi yang mereka miliki, untuk menyelesaikan problematika umat tersebut.
Referensi
Amhar, F. (2007): Analisis Futuristik: Kekuatan Umat Islam Terkini Bila Bersatu. Majalah Al-Waie, edisi Maret 2007.
Amhar, F. (2012): Studi Komparasi Mazhab Riset Teknologi: Antara Ilmuwan Islam dan Sekuler. Suara Hidayatullah. http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html
BPS (2012): Indikator Pendidikan Indonesia.http://bps.go.id/tab_sub/view.phpkat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1
Scheherazade S. Rehman & Hossein Askariy (2010): How Islamic are Islamic Countries? Global Economy Journal Volume 10, Issue 2 2010 Article 2. Berkeley Electronic Press.http://www.ahmad-juhaidi.com/wp-content/uploads/2013/06/how-islamic-islamic-countries.pdf
Lubeck, P (1999): Antinomies of Islamic Movement under Globalization. Center for Global International and Regional Studies. http://escholarship.org/uc/item/0hn7r3q7
Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC). www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php
Posting Komentar